Bagian 17: USAHA PENCARIAN PENJEMPUT

341 34 4
                                    

01:45 WIB. Dini hari.

Dewa Balakosa di atas dipan tak berkasur terbaring berbantal kedua tangan. Satu kakinya menopang di kaki lain yang menekuk. Kaki itu terus bergoyang mengikuti irama otaknya yang berpacu dengan bunyi detik di jam dinding. Matanya belum terserang kantuk. Malah memperhatikan langit-langit rumah tanpa dek. Sawang laba-laba menggantung di beberapa balok kayu penahan atap. Sawang itu susah dibersihkan karena atap rumah milik Koko Aliong itu dibangun setinggi enam meter. Diduga dulu sekali rumah ini direncanakan untuk sebuah gudang, bukan sebuah rumah. Ukurannya besar dengan bentuk serupa kotak sepatu, tidak ada sekat. Sekat dibuat selanjutnya setelah bangunan jadi. Triplek bekas alakadarnya disusun sebagai pembatas antar ruang.

Sebagian kecil bangunan dibuat untuk tempat tinggal Dewa Balakosa dan neneknya. Selebihnya dibuat untuk menampung barang bekas pemulung. Terkadang ruangan mereka pun harus dijadikan tempat mengepul barang kalau bagian yang dikhususkan sebagai tempat penyimpanan sudah penuh.

"Dewa, belum tidur?" terdengar suara Pendamping menyahut.

Dewa Balakosa menoleh ke arah Pendamping yang terbaring mengawang. Tanpa menjawab, dia kembali menatap langit-langit kamar.

"Siapa yang dipikirkan?" tanya Pendamping mengubah posisinya menjadi duduk bersila sambil menguap.

"Tidak siapa-siapa," jawab Dewa Balakosa sambil masih mengayunkan kakinya dan meniup-niup kecil rambutnya yang mulai gondrong menjalar ke wajah.

"Tania?" tanya Pendamping.

Dewa Balakosa tidak bereaksi.

"Hasna?"

Dewa Balakosa mengerutkan kening. "Hasna?"

Pendamping mengangguk cepat sambil tersenyum lebar.

"Ndak!" jawab Dewa Balakosa tak kalah cepat.

"Lalu?"

"Mikirkan rumah ini dan nenek. Sempat juga lah selintas cewek cantik yang ketemu di mall."

"Alah, cewek itu lagi. Enggak masuk hitungan, Wa!"

Dewa Balakosa langsung mengubah posisinya. Kini dia duduk menghadap Pendamping.

"Masa dirimu juga harus menentukan seleraku sama cewek sih, Ping?"

"Bukan begitu, Wa. Aku hanya ingin mengingatkan bahwa ada hal penting yang lebih harus kita pikirkan dibanding memikirkan cewek untuk saat ini."

"Penjemput, kan, maksudmu?"

"Iya, Wa."

"Lah, karena itulah aku sempat memikirkan cewek cantik di mall itu."

"Makanya tadi aku bilang nggak masuk hitungan, Wa. Bukan aku mau ngatur seleramu. Kalau untuk pacar itu terserah dirimu. Tetapi Penjemput itu menyangkut hajat hidup Negeri Kahyangan."

"Lah, darimana kau bisa menilai dia ndak masuk hitungan?"

Pendamping terdiam.

"Jangan suka subjektif lah kalau menilai."

"Maaf, Wa. Kalau pendapat kita agak berbeda. Menurutku, Hasna yang lebih tepat kita duga sebagai Penjemput."

"Darimana bisa menyimpulkan begitu?"

"Kita bicara seorang dewi, Dewa Balakosa."

"Lah kenapa dengan cewek di mall itu?"

"Kita tidak pernah bergaul dengan cewek itu sehingga aku tidak bisa menyimpulkan apakah dia pantas atau tidak sebagai Penjemput. Untuk sementara, pradugaku jatuh pada Hasna."

Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang