PROLOG

590 55 0
                                    


Namaku, tidak ada. Aku tanpa nama. Aku dari langit dan diturunkan ke bumi bersama bulir-bulir air hujan yang terjun bebas ke bumi. Aku bukan manusia. Aku juga bukan dewa. Aku hanya semacam utusan untuk anak-anak dewa yang dikirimkan ke bumi.

Kalian pikir cuma di bumi, makhluk yang tidak punya hati berada dan beranak-pinak? Di langit, tempat tinggal para dewa, banyak juga semacam manusia, dikaruniai buah hati tetapi tidak menginginkan. Mereka lalu mengambil keputusan singkat membuang keturunannya ke bumi.

Semenjak maraknya kejadian tersebut, para peramal Kahyangan merasa khawatir terhadap nasib anak dewa dan memutuskan untuk menciptakan penyelamat yang disebut dengan istilah "Pendamping". Berbekal kemampuan mencarikan media bertahan hidup di bumi bagi para bayi dewa, tugas Pendamping terdengar sangat berguna meskipun sebenarnya tidak seberguna itu karena Pendamping tidak memiliki kekuatan untuk mengantar para anak dewa kembali ke Kahyangan.

Bagaimana cara kami menolong bayi dewa? Dengan memperhatikan hujan.

Hujan sebagai sebuah presipitasi berwujud cairan merupakan media penghubung bagi Kahyangan dan dunia fana. Hujan diibaratkan pintu langit yang terbuka, sehingga apapun dapat diantarkan dengan mudah dari Kahyangan ke alam manusia. Ketika hujan turun, biasanya Pendamping akan dititahkan untuk mengirim bayi-bayi dewa 'tersisih' ke bumi. Terkadang di dalam rinai hujan, aku juga menemukan bayi-bayi dewa yang dibuang. Sungguh mengenaskan melihat bayi-bayi tersebut musnah begitu saja setibanya di bumi tanpa mendapatkan pertolongan.

Pada saat di bumi, bayi-bayi dewa yang dibawa Pendamping harus berjuang mencari rahim berisi janin agar dapat terus hidup. Melalui janin, bayi dewa dapat menitis dan anak manusia yang dilahirkan itu akan menjadi anak titisan dewa.

Tugas para pendamping kadang kala hanya untuk mencarikan mereka rahim berisi janin. Setelah penitisan berhasil dilakukan, tugas Pendamping pun dianggap tuntas dan dapat kembali ke Kahyangan. Akan tetapi, sering pula Pendamping harus mendampingi si titisan dewa hingga waktu yang telah disepakati.

Kalian tidak percaya ceritaku?

Namun, begitulah adanya. Seperti itulah cara bayi dewa yang ingin hidup di dunia manusia. Bagi calon bayi manusia yang dititisi dewa, hal itu adalah berkah. Sebagai titisan dewa, bayi manusia tidak akan terlihat sebagai manusia biasa. Dia akan dikaruniai kelebihan. Bisa jadi wajahnya terlihat luar biasa memikat, tingkat kecerdasan otaknya melampaui batas rata-rata, memiliki bakat seni yang memukau, bahkan bisa jadi mendapatkan kharisma pemimpin yang sudah sangat kuat sejak usia belia.

Selaku pendamping, kami umumnya hanya mampu mengenali sebagian anak manusia yang disemayami oleh anak dewa, terutama titisan dewa yang terus ditemani Pendamping. Kami memang makhluk tak kasat mata bagi manusia, tetapi tidak bagi sesama pendamping. Kami bisa saling melihat fisik satu sama lain.

Dan, aku, adalah pendamping Dewa Balakosa, calon putra mahkota Kahyangan. Sosok yang sejak lama telah dinantikan kerajaan Surgaloka. Aku tahu betul perjuangan berat Permaisuri untuk mendapatkan Dewa Balakosa, bagaimana beliau harus dengan sabar melahirkan dan merawat empat belas kakak Dewa Balakosa yang seluruhnya dewi, menjalani berbagai macam saran dan nasihat dari peramal maupun tabib kerajaan untuk mendapatkan keturunan dewa, ataupun menahan diri terhadap tuduhan-tuduhan miring dari keluarga kerajaan terkhusus Dewi Aruna, saudari Dewa Astula.

Betapa besar rasa syukur Permaisuri, seolah-olah beban yang dipikulnya bertahun-tahun terangkat seluruhnya dari raga dan jiwa. Sungguh, kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Permaisuri dengan lahirnya putra mahkota. Akan tetapi, kenapa bayi Dewa Balakosa setelah lahir malah dikirim ke dunia?

Semua berawal dari ramalan Dewi Aruna yang menyebutkan bahwa kehancuran kerajaan Astula akan segera datang dengan lahirnya putra mahkota, kecuali putra mahkota segera diturunkan ke bumi untuk membuang kesialan yang dibawa. Dewi Aruna telah meyakinkan para peramal Kahyangan tentang pentingnya hal tersebut dilakoni. Setelah kesialan itu terbuang, Dewi Aruna berjanji akan menjemput Dewa Balakosa kembali ke Kahyangan.

Dewa Astula tampak keberatan mengikuti nasihat para peramal, tetapi raja yang bijak selalu mendengarkan harapan rakyatnya. Untuk itu, sebagai pendamping terbaik diantara ribuan pendamping, aku pun dipilih untuk menjalankan tugas ini. Sebuah kehormatan besar yang bisa berujung malapetaka apabila aku tidak berhasil mengurusnya dengan benar.

Ini adalah hari pertama aku dan Dewa Balakosa turun ke bumi bersama tetesan hujan. Dewa Balakosa yang masih merah tertidur pulas di dalam gelembung ekorku. Dia terlihat sangat tampan dan tenang. Kami mendarat di tumpukan sampah di pinggir jalan raya. Baunya luar biasa memutarbalikkan isi perut. Kuangkat kaki yang menapak di atas tumpukan sampah berlendir dan setiap kugerakkan langkah maka gelembung ekorku akan ikut bergoyang. Gelembung berisi Dewa Balakosa tersebut tak akan pernah terlepas dari ekorku selama energi hidupnya masih ada. Biasanya energi hidup rata-rata bayi dewa di bumi tidak lebih dari tujuh puluh dua jam. Oleh sebab itu, menemukan rahim berisi janin secepat mungkin merupakan solusi terbaik menyelamatkan nyawa anak dewa.


Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang