Bagian 7: JUMPA PERTAMA

437 53 0
                                    


Akhirnya Hasna mendapatkan sepeda. Dia bangga sekali memperolehnya setelah lama "mengemis" pada Ayah. Hari pertama masuk SMA 88 tidak perlu lagi diselingi berjalan kaki ke Sanggar Rumah Adat, lokasi pelabuhan tempat ia biasa harus naik ketek untuk menyebrang ke pusat kota dan dilanjut mengendarai mikrolet untuk sampai ke sekolah.

Hasna mengayuh sepeda barunya dengan bahagia. Ia menyapa Wak Pia yang sedang sibuk mengupas buah pinang di teras rumah panggung kepunyaan wanita berwibawa itu. Tidak lupa ditegur pula Mang Cecep ketika melewati ladang sayur berukuran 4x10 meter. Bang Somad yang sedang mengepel teras masjid RW yang sudah terbuat dari beton pun tidak ia lupakan. Begitupun Nenek Khodijah yang masih sanggup berjualan sate keliling dengan mengusung barang jualan di kepala.

"Nenek Khodijaaah...," teriak Hasna panjang.

"E, iya, sepuluh tusuk! Sepuluh tusuk! Eh, iya, Hasna...," jawab Nenek Khodijah latah hampir terjatuh menuruni tangga rumah panggungnya.

Hasna tertawa di atas sepeda yang terus melaju. Hasna tinggal di lingkungan yang berisi orang-orang ramah. Senyum dan sapa adalah tradisi mereka. Satu sama lain saling tahu. Masalah baju kredit sampai urusan pertengkaran rumah tangga. Bahkan kebiasaan tetangga kiri kanan jadi hal penting untuk diperhatikan.

Seperti kejadian tempo hari, ketika tetangga Nenek Khodijah yang manula meninggal sendirian di rumah. Kalau Nenek Khodijah tidak hafal dengan kebiasaan tetangga tersebut, mungkin mayat manula itu sudah membusuk baru diketahui.

Nenek Khodijah berinisiatif menggedor pintu tetangga itu pukul sembilan pagi saat melihat lampu teras rumah tetangga tersebut masih terus menyala. Padahal biasaya pukul tujuh pagi sudah dipadamkan. Karena tidak ada sahutan, Nenek Khodijah memanggil Pak RT. Rumah tetangga Nenek Khodijah didobrak dan ditemukanlah janda itu terkapar kaku di lantai kamar mandi.

Besar di lingkungan demikian, menjadikan Hasna sebagai remaja yang tumbuh dengan rasa simpati tinggi. Larangan untuk menyinggung perasaan orang lain itu semacam aturan tidak tertulis dalam lingkungan mereka. Basa-basi menjadi pelajaran penting dalam pergaulan. Senyum tidak lagi sekedar bagian dari keikhlasan beribadah, tetapi kewajiban dalam lingkungan bertetangga.

Tak terasa, Hasna telah tiba di Sanggar Rumah Adat, tempat biasa perempuan Seberang berkumpul membuat batik Jambi. Bibinya adalah ketua pengrajin batik Seberang tersebut. Hasna menitipkan sepedanya pada sang bibi sebelum menaiki ketek yang biasa mangkal di pelabuhan depan Sanggar Rumah Adat.

Setibanya di pusat kota, Hasna memasuki pasar tradisional Angso Duo yang berdekatan dengan pelabuhan. Dia menjumpai sang ayah yang sedari pagi telah berangkat bersama pamannya berjualan ayam di pasar. Sang ayah bukanlah penjual ayam, hanya pamannya yang berjualan di pasar. Ayah Hasna seorang penulis. Ayah Hasna biasa melakukan riset sebelum menulis sebuah novel. Kata beliau, terjun langsung menjadi tokoh di dunia nyata adalah salah satu cara agar bisa lebih menghidupkan cerita.

Hasna sangat mengagumi dedikasi sang ayah terhadap profesinya. Walaupun banyak tetangga sering mencemooh karena dianggap tidak punya pekerjaan tetap padahal sekolah tinggi. Beberapa kali ayahnya ditawari menjadi guru honor, tetapi ayah memilih tidak menerima tawaran tersebut karena dia ingin tetap fokus menjadi penulis. Tidak ada tetangga yang memahami jalan pikiran ayah karena bagi orang Seberang, penulis bukanlah sebuah pekerjaan. Ditambah lagi, buku bukanlah barang yang menarik. Mereka tidak mengetahui kalau buku ayah Hasna sering menjadi best seller dan memberikan penghasilan yang bagus. Tetangga hanya memahami ayah sebagai pengangguran yang punya rumah bagus karena bunda sebagai anak tunggal keturunan orang Seberang asli punya banyak warisan tanah.

Hasna mencium tangan ayah dan pamannya sebelum pamit ke sekolah. Dia menaiki mikrolet dari depan pasar Angso Duo dan tiba di sekolah yang telah ramai didatangi anak-anak berseragam putih biru, anak-anak baru yang belum memperoleh seragam putih abu-abu dari sekolah.

Klakson mobil panjang merongrong Hasna dari belakang. Hampir saja dia tersungkur. Hasna segera merapat ke tembok yang membatasi jalan masuk dengan lingkungan luar. Hasna mendapati sebuah mobil city car berwarna orange berhenti di sisinya berdiri. Ketika kaca mobil diturunkan, tanpa diduga, sebotol air mineral disemprotkan ke wajahnya. Hasna gelagapan mengelap wajahnya yang kuyup. Tawa langsung membahana dari dalam mobil sebelum kendaraan itu melaju lagi. Hasna menunduk sedih, masih terbayang wajah Tania yang membuka jendela mobil tadi.

"Tania memang terkenal resek," sebuah suara menyahut.

Hasna menoleh ke arah suara. Seorang gadis berambut gelombang berparas ayu tersenyum padanya. Dia juga mengenakan seragam putih biru.

"Aku Fitri Apriyani. Panggil Fitri saja," sahutnya.

"Aku Hasna. Hasna Putri Alfian,"

Fitri tersenyum. "Nama yang cantik."

"Terima kasih," jawab Hasna tersipu. Mereka pun beriringan masuk ke dalam sekolah.

"Kemarin pas mendaftar ulang kayaknya aku sudah menengokmu, Hasna."

"Oh ya? Berarti awak sempat melihat aku dengan mereka juga?" tanya Hasna menatap Fitri. 

Fitri tersenyum mengangguk.

Hasna menelan ludah dan tidak melanjutkan cerita tentang kemarin. Dia memilih memperhatikan langkah kakinya. Hening menyela pembicaraan mereka beberapa saat.

"Sudah tahu bakal dapat kelas yang mana?" Fitri menyadari ketidaknyamanan Hasna dan mencoba mengalihkan pembicaraan.

Hasna menggeleng. "Belum. Tapi biasanya nama-nama bakal ditempel di pintu masuk, kan?"

"Iya. Aku rasa juga begitu."

Hasna dan Fitri melihat urutan nama yang di tempel di pintu-pintu kelas. Kegiatan mereka terhenti ketika menyambangi ruang kelas ketiga. Nama Hasna terdaftar di kelas X-3, Fitri juga. Mereka kemudian memutuskan untuk duduk satu bangku. Hasna tidak menemukan nama Tania dalam daftar kelasnya dan hal itu terasa melegakan.

Tepat pukul 07.10 WIB, bel tanda masuk memaksa siswa menempati bangku masing-masing. Wali kelas mendatangi X-3 dan memulai pelajaran. Wali kelas Hasna adalah seorang guru wanita berparas ayu dengan tutur kata lemah lembut. Beliau mengajar Bahasa Inggris.

"Perkenalkan, nama saya Ayu Putriningtyas. Panggilan saya, Ibu Ayu." sahut sang guru. "Sebelum memulai pelajaran, Ibu ingin kalian saling menyebutkan nama dan asal sekolah. Sekalian kita juga memilih ketua kelas dan susunan pengurus kelas lainnya."

"Baik, Bu...." Serentak para murid menjawab.

"Baik. Mulai dari ujung kanan, ya," perintah Ibu Ayu tersenyum.

"Nama saya Diwangkara." sahut siswa pertama yang ditunjuk.

Hasna langsung terpana melihat sosok tinggi besar yang sedang memperkenalkan diri tersebut. Kulitnya sawo matang bersih dan tubuhnya tegap. Hidungnya mancung dengan kedua mata setajam elang. Rambutnya ikal kecoklatan dengan alis luar biasa tebal. Walaupun namanya jelas dari bahasa Jawa, tetapi wajahnya bukan punya pribumi kebanyakan.

"Wah, badan kamu besar sekali," sahut Ibu Ayu. "Seharusnya kamu duduk jangan di barisan paling depan."

Ibu Ayu mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Dia lalu menunjuk bangku di belakang Hasna. "Kamu duduk di sana saja."

Dada Hasna langsung berdesir kencang. Kini wajah non pribumi itu duduk tepat di belakangnya. Hasna menoleh ke arah teman barunya tersebut dan memberikan senyuman. Pemuda pemilik bola mata abu-abu itu  hanya menatap Hasna dengan tatapan dingin tanpa selengkung senyum pun. 

"Selanjutnya...." Ibu Ayu meneruskan. Perkenalan kelas pun dilanjutkan, dan tiba giliran Hasna.

"Nama saya Hasna Putri Alfian."

Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang