Bagian 11: HASNA DALAM PERTEMUAN TAK TERDUGA

386 36 3
                                    

Tidak pernah terpikirkan oleh Hasna kalau dia akan melihat sosok yang biasa dipanggil Diwangkara itu di depan pintu rumahnya. Hasna jadi berpikir-pikir tentang percakapan panjang dan akrab yang sepertinya tidak pernah ada di antara mereka. Di sekolah, walaupun berada dalam satu kelas dan duduk satu deret, mereka selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Menurut Hasna, lelaki sawo matang bermata abu-abu itu dingin dan ketus, jenis yang harus dijauhi kecuali jika ada urusan penting. Meski begitu, tidak dapat ditampik kalau pemuda bertubuh tegap itu adalah salah satu primadona sekolah. Diam-diam, Hasna juga menaruh hati terhadap si tukang tidur di kelas itu. Untuk beberapa saat, jantung Hasna sempat terhenti berdetak normal ketika per sekian detik tatapan mereka bertemu. Kalau tidak ada Bang Japri, tukang langganan Ayah, di antara mereka, Hasna sempat berpikir pemuda itu khusus datang menemuinya.

Syukurnya, Hasna bukan orang yang cepat gede rasa. Dia malah menjadi takjub setelah mengetahui teman sekelasnya itu bekerja sebagai kenek Bang Japri ditambah lagi ketika mengetahui penulis idola pemuda itu adalah ayahnya sendiri.

Hasna sempat menangkap pribadi lain dari sang pemuda. Mata dingin lelaki belia itu menjadi berbinar ketika menatap ayahnya. Pemuda berpanggilan Diwang itu berbicara panjang dan berapi-api. Tidak ada kesan acuh tak acuh, angkuh, apalagi ketus. Wajah Diwangkara menjadi ceria. Gerakan pemuda itu tiba-tiba berubah memancarkan kehangatan, yang biasanya menjengkelkan. Sepanjang pertemuan dengan ayahnya, Diwangkara mengumbar obrolan tak putus-putus seolah sepasang kawan lama yang sudah berpuluh-puluh tahun tidak bersua.

Hasna meraba pipinya yang merona karena terbersit rasa bangga. Bangga mengungguli gadis-gadis lain di sekolahnya yang tergila-gila dengan lelaki ketus tetapi baik hati tersebut. Hasna merasa yakin sekali bahwa dialah satu-satunya gadis yang rumahnya telah didatangi idola SMA 88 tersebut.

Bagaimana mungkin dia tidak memberitahukan seseorang mengenai hal hebat tersebut? Minimal dia harus bercerita pada teman dekatnya, Fitri. Dia membayangkan keterkejutan Fitri sebelum berita ini disampaikan. Selintas, bayangan Tania juga berkelebat di kepalanya. Hasna tersenyum penuh kemenangan pada bayangan itu dan mengimajinasikan seandainya kabar ini menyambangi sang anak kepala sekolah, entah bagaimana ekspresi wajah Tania. Selama ini, gadis jutek itu selalu berteori tentang daya tarik wajah yang pasti mengundang para lelaki bertamu ke rumah. Akan tetapi, tampaknya teori Tania terbantahkan kali ini. Ternyata ada faktor lain yang lebih menentukan, yaitu faktor keberuntungan daripada faktor wajah cantik.

Hasna tertawa puas dalam hati. Diraihnya telpon seluler yang selalu setia mendekam di kantong rok. Smartphone dengan kemampuan mumpuni itu diyakininya akan merekam dengan jelas semua peristiwa. Rekaman ini pasti bisa menjadi berita fenomenal yang akan menusuk-nusuk keangkuhan Tania. Diam-diam, percakapan Diwangkara yang masih berlangsung dengan ayahnya diabadikan Hasna. Lalu foto tersebut dikirimkan ke Whatsapp Fitri.

Fitri : Anjiirrrrrrr! Si Super Kulkas Diwangkara!!!!

Fitri : Ini drmhmu kan???

Hasna : [emoji smile dengan kacamata hitam]

Fitri : Sombong. Jwb Na! Ngapo dia krmahmu?

Hasna: Ngapelin aq dong!

Fitri : NGOTA. BOHONG LAH.

Hasna : Haahahahha
Fitri : JAWAB JUJUR!!!

Hasna : Nukang
Fitri : [emoji smile tertawa ngakak]

Hasna : Ih, jahat kmu, Fit! Kok ktawa?

Fitri : Srius?
Hasna : Yoi
Fitri : Aq mo nengok. Aq krmhmu yaaaaa

Hasna : E, JANGAAAAANNNN

Fitri : Pelit ih

Dua puluh menit kemudian, Fitri telah bertandang ke rumah Hasna. Dia tersenyum malu-malu menguntit Hasna menuju ruangan yang sedang direhab Diwangkara dan Bang Japri. Sesuai permintaan ayah Hasna, Bang Japri diminta merehab dapur di rumah mereka. Diwangkara mengenakan kaos buntung tanpa lengan tampak sibuk memukuli dinding salah satu sisi rumah yang hendak dihilangkan. Otot pemuda bersimbah peluh itu tampak jelas terbentuk.

"Kok pipi awak merah, Fit?" sahut Hasna setelah memperhatikan wajah Fitri.

"Serius?" Fitri memegangi kedua pipinya.

"Pake blush on?"

"Ih, ndak lah." suara Fitri meninggi.

"Kamu dandan buat ketemu Diwang?" Hasna tertawa sedikit sumbang.

"Ih, ndak lah!" suara Fitri menjadi lebih tinggi.

Diwangkara baru menyadari kehadiran Hasna dan Fitri. Dia menoleh sejenak dengan ekspresi dingin, lalu kembali mengayunkan godam ke dinding. Dia meneruskan pekerjaannya, tampak jelas tidak senang dengan keberadaan kedua gadis itu di sana.

"Ke kamar awak bae, Na. Buang-buang waktu jadi mandor cowok sombong." Fitri menggamit tangan Hasna.

"Lah, awak dewe kan yang tadi mau."

"Malas ah jadikan Diwang idola. Cari cowok lain bae yang lebih punya perasaan."

Hasna tertawa mengikuti langkah sahabatnya menuju kamar. "Memang ada cowok gagah di sekolah kita yang ndak sok jual mahal?"

Fitri mengerucutkan bibir. "Iya yah. Sok paling dibutuhkan semua orang. Apalagi Albert. Itu amit-amit nian belagunya. Mentang jago basket. Sering dielu-elukan cewek di lapangan. Jadi merasa paling elok nianlah. Aku pernah sekali berpapasan sama dia, coba-coba negur. Ampun, sumpah nian nak aku jambak rambutnyo! Masak mandang orang kayak nengok keset kaki?! Semenjak itu aku ndak mau lagi nyapa dia. Kalau ketemu malah kucari nian jalan lain!"

Hasna mematut wajahnya mendengarkan celoteh Fitri, tetapi pikirannya mengembara, mencari-cari sosok lelaki ketus yang sedang menukang di rumahnya.


Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang