Bagian 2: TERUS BERBURU RAHIM

534 58 2
                                    


Sudah sangat malam ketika Pendamping masih tekun mengitari permukiman sekitar rumah Surti untuk menemukan sosok perempuan hamil lain. Dia sudah tampak lelah. Namun, usaha keduanya belum juga menemukan titik terang.

Pendamping memperhatikan dua orang muda-mudi yang kebetulan lewat di hadapannya menggunakan sepeda motor. Sebagai makhluk metafisika, tidak banyak mata yang mampu melihat keunikan dirinya di tengah dunia modern masa kini. Pendamping bergegas berpegangan erat di behel motor mereka sebagai penumpang gelap.

Berhasil keluar dari permukiman Surti, Pendamping pun terdampar di pinggir jalan raya. Ada pedagang pecel lele dan sekuteng. Ada pengamen bencong menyanyikan Hati yang Luka milik Betharia Sonata. Suara bencong itu sember melengking, semakin terasa pecah dan menyakitkan didengar setelah memasuki bait chorus lagu. Tidak seorang pun terlihat peduli. Orang yang sedang makan tetap menikmati makanannya dan yang tengah menikmati minuman, tetap mampu menelan dengan nikmat. Begitu pula yang sedang asyik bercengkrama dengan pasangannya, tidak peduli dengan nyanyian pengamen bencong.

Tanpa di duga, Pendamping menangkap sinyal yang dia cari. Tidak terlalu jelas, tetapi cukup meyakinkan baginya untuk bergegas mendekati pertanda tersebut. Tidak jauh dari penjual pecel lele, kurang lebih lima ratus meter, di dekat persimpangan, Pendamping mendapati perempuan cantik berbalut tank top dress merah. Bukaan atas pakaian perempuan itu sangat rendah sehingga membuat belahan payudaranya jelas terlihat. Begitupun potongan roknya, terlalu tinggi dan ketat. Dia tidak tampak kedinginan dengan suasana malam berangin. Mulutnya sibuk mengunyah permen karet sementara jari-jemarinya asyik memainkan tombol di smartphone.

Sinyal yang ditangkap Pendamping tidak mungkin salah. Dia sudah sangat ahli untuk urusan persinyalan. Sinyal itu jelas datang dari si perempuan berpakaian merah. Kalau melihat gelagat perempuan itu, Pendamping sangat yakin si perempuan cantik belum menyadari kehamilan yang sedang terjadi.

Sebuah mobil berhenti. Kaca mobil di sisi pengemudi terbuka. Si perempuan cantik menghentikan kesibukan lalu menghampiri mobil tersebut. Di jendela kaca mobil yang terbuka, si perempuan dengan anggun menopangkan tangan.

"Perlu kehangatan malam ini, Bang?" sapa perempuan dengan suara manja.

Mata lelaki di dalam mobil jalang menatap si perempuan. Tangan kekarnya terjulur dan menjalari ujung bahu hingga lengan si perempuan. Kulit cantik putih berkilau bak pualam tampak kontras dengan tangan hitam kasar milik si lelaki.

"Berapa?" Terdengar suara berat lelaki dari dalam mobil.

"Short atau long?" Si perempuan menyahut sambil mengunyah permen karet.

"Yang long berapa?" kembali si lelaki menyahut.

"Lima aja buat abang?"

"Lima apa? Lima juta atau lima milyar?"

Perempuan itu tertawa setengah menggoda. "Lima ratus ribu saja. Harga kaki lima dijamin rasa bintang lima, Bang."

"Awas ya kalau nggak bintang lima!"

"Awas juga ya kalau Abang nanti ketagihan," timpal perempuan mengedipkan mata menggoda.

Lelaki balas mengamit dagu si perempuan. "Ayolah naik!"

Si perempuan lekas mengikuti perintah si lelaki dan mobil itu pun bergegas meluncur dengan kecepatan tinggi meninggalkan persimpangan. Pendamping terbengong menatap kejadian yang baru berlangsung.

"Ya-e-laaa, dia pergi!" Pendamping menepuk wajahnya dengan keras.

"Dia ninggalin kita, Wa. Sementara kita belum melakukan apa-apa. Kita belum sempat mencoba. Lalu, gimana ini, Dewa?" Pendamping menutup mulutnya menahan panik. Matanya tidak lepas menatap ke arah mobil itu pergi.

Pendamping menarik napas panjang. "Tetapi ya, sudahlah. Mau diapakan juga. Kalau dipikir-pikir, tidak apa-apalah. Kenapa diambil pusing? Iya, kan? Toh, kita bisa mencoba cari lagi. Kita itu harus membiasakan diri menerima kegagalan sebelum menerima keberhasilan. Benar, tidak? Mengerti kan, Wa?"

Dewa Balakosa tidak menjawab.

"Syukurlah kalau kamu mengerti. Jadi, kita bisa istirahat sebentar malam ini di sini," timpal Pendamping dengan senyum lega dan berencana merebahkan tubuhnya di bawah lampu jalan tempat di mana si perempuan berbaju merah tadi berdiri.

Tanpa diduga, Dewa Balakosa menangis.

"Loh, kok nangis?" Pendamping membatalkan niatnya berbaring.

Suara tangis Dewa Balakosa bertambah keras.

"Jangan nangis dong. Katanya tadi mengerti? Nanti juga kita bakalan ketemu perempuan hamil lagi, kok!"

Dewa Balakosa tidak mau berhenti menangis.

"Wa, jangan gitu lah. Sabar, Wa!"

Dewa Balakosa makin kencang menangis.

"Ingat, Dewa, kesabaran itu bagian dari iman. Kita harus belajar mulai berlaku seperti manusia. Membiasakan diri sejak dini itu wajib. Perlu, Wa!"

Tangis Dewa Balakosa tidak juga berkurang.

"Dewa, aku juga mau secepatnya...."

Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh perut Dewa Balakosa. Pendamping seketika tercenung.

"Kamu lapar ya?"

Tangis Dewa Balakosa langsung mereda.

"Oh iya, pastilah. Sudah selama ini di bumi," Pendamping menepuk jidat. "Ayolah, kita cari makan! Susu Ibu atau susu formula?"

Dewa Balakosa tidak lagi menangis, dia mulai mengisap jempol.

"Kalau mau belajar jadi manusia bisa coba susu formula. Bagaimana?"

Dewa Balakosa terus menghisap jempolnya tanpa menghiraukan ucapan Pendamping.

"Susu Ibu agak susah dicari sekarang, Wa. "

Dewa Balakosa mulai menangis lagi.

"Ok. Ok, Dewa. Aku ngerti, dalam kondisi darurat kita perlu yang segera. Instan. Ok. Ok. Kita cari susu formula di supermarket!"

Waktu tersisa masih 42 jam.

***

Pendamping tersentak, tersadarkan dari alam mimpi. Matanya langsung tertuju pada gelembung Dewa Balakosa.

Mengapa begitu cepat menghitam? Apakah tidurku terlalu pulas sampai tidak menyadari waktu berjalan? Pendamping membatin dalam hati dengan kening berkerut. Dia mulai merasa ada yang tidak beres pada kondisi gelembung yang menempel pada ekornya.

Gelembung pembungkus tubuh Dewa Balakosa tersebut tidak lagi tampak sejernih saat awal mereka tiba di bumi. Pendamping mengangkat kedua telapak tangan. Keningnya semakin bertambah kerut. Jumlah garis-garis di tangannya tidak lagi sebanyak sebelumnya. Sudah berkurang banyak sekali. Tinggal sepuluh garis saja. Padahal garis itu mengisyaratkan sisa waktu hidup Dewa Balakosa dalam gelembung Pendamping. Semakin sedikit jumlah garis di telapak tangan Pendamping, semakin mendesak waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan jiwa Dewa Balakosa ke rahim perempuan hamil.

Sepuluh garis berarti tinggal sepuluh jam lagi!

Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang