"Jadi, bagaimana pembicaraan adopsi dengan suamimu, hyung?" tanya lelaki dengan rambut berwarna cokelat balayage. "Kalian tidak sedang ribut lagi, kan?" lanjutnya mencoba memastikan.
Mereka duduk berhadapan di kedai kopi yang terletak tidak jauh dari studio foto milik pria dengan kacamata yang bertengger di atas rambut cokelat balayagenya. Dua frappucino hangat pesanan mereka baru saja tiba, begitu pula dengan dirinya yang baru saja selesai membalas pesan singkat dari suaminya yang menanyakan keberadaan dirinya.
Jeon Wonwoo menyandarkan tubuh kurusnya ke kaca. "Mmm... ada beberapa masalah yang kita hadapi, beberapa panti asuhan tidak menerima pengajuan adopsi karena kita bukan pasangan hetero."
"What a dick, eh?" kata sahabat yang telah ia kenal sejak kecil.
"Ya, masyarakat kita kan tidak semudah itu menerima perbedaan, Hao."
Xu Minghao meringis. "Kenapa tidak mencoba panti asuhan di luar negeri? Amerika misalnya? Kau kan pernah tinggal lama di sana, hyung."
Lelaki berkacamata bundar itu memainkan ujung blazer cokelatnya, menimbang-nimbang jawaban untuk pertanyaan tersebut tanpa membuat kesan bahwa suaminya rasis di depan orang lain.
"Nanti akan ada percekcokan. Aku tidak mau mendorongnya untuk hal-hal yang tidak dia suka lagi, kamu tahu sendiri kan kita berdua sama-sama keras kepala dan mengajukan adopsi ke luar negeri cukup sulit, lagipula dia tidak menyukai anak dari latar belakang negara berbeda." Wonwoo menjelaskan secara perlahan-lahan, sesekali tertawa garing dan menyesap frapuccino yang masih saja panas meskipun sudah 15 menit dia tidak sentuh.
"Meskipun dia pernah tinggal di Spanyol cukup lama, tetapi jati dirinya adalah orang korea. Kau tahu kan orang korea pada umumnya bagaimana." lanjut Wonwoo, menyunggingkan senyum sopan.
"Benarkah?" Minghao mengerjapkan matanya. "Aku tidak tahu dia orang yang seperti itu."
Wonwoo tertawa, kali ini sebuah tawa lepas keluar dari mulutnya. "Tentu saja kau tidak tahu, kau kan tidak dekat dengannya, Minghao."
"Hehehe, benar juga."
Minghao menatap gelas frappucinonya yang baru ia minum sedikit dan tidak menyukai rasa kopi tersebut karena terlalu manis untuk seleranya. Ia ingin mengatakan kepada Wonwoo hyungnya kalau dia dan Mingyu pernah berteman dulu saat masih sekolah menengah atas karena mereka teman sekelas, dan mungkin lelaki yang lebih tua setahun darinya ini lupa bahwa dirinya lah yang mengenalkan dia dengan Mingyu 11 tahun yang lalu.
Tetapi, ia tidak suka berdebat dengan seorang Jeon Wonwoo yang pintar bermain kata-kata, keras kepala tetapi mudah tersinggung. Lagipula, Kim Mingyu tidak terlalu berarti bagi dirinya.
"Ibunya juga membantu kami untuk menemukan panti asuhan yang cocok." ujar Wonwoo mengalihkan perhatian Minghao dari menatap cangkir frapuccino berwarna hijau lumut tersebut. "Ada panti asuhan di Iksan yang menerima pasangan non-hetero seperti kami dan akhir bulan ini kami akan kesana." lanjutnya dengan semburat kecil merah muda yang muncul di kedua pipinya.
Jeon Wonwoo tidak dapat menahan perasaan bahagianya kali ini. Meskipun dia sulit akrab dengan anak-anak, tetapi ia menyukai anak kecil dan ide membesarkan seorang anak bersama dengan Kim Mingyu merupakan salah satu impiannya.
Kening Minghao berkerut dalam. "Iksan? Di Jeolla? Jauh sekali."
"Memang."
"Tetapi aku turut senang, hyung." sahut Minghao dengan lembut lalu menyeruput frappucino tidak enak tersebut dengan berat hati.
Ketika mereka berdua sedang membahas topik pembicaraan lainnya karena sudah hampir setengah tahun tidak bertemu, pandangan Minghao teralihkan ke layar televisi yang terletak di dinding bagian samping dekat dengan deretan rak merchandise kedai kopi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Two of Us
Hayran KurguMenceritakan kehidupan rumah tangga dua orang yang memiliki sifat dan kesukaan yang sangat bertolak belakang. Jeon Wonwoo yang alergi dengan bulu anjing dan Kim Mingyu yang tidak menyukai kucing. -------------------------------- Marked as mature fo...