3 months later...
Hubungan Ali dan Prilly semakin membaik. Tak ada lagi yang mereka masalahkan. Bahkan, Prilly kini sudah bekerja lagi di cafe Nadia. Tentu atas bujukan Nadia sendiri.
Saat tau Prilly bekerja di kafe milik kakaknya lagi, Ali semakin sering berkunjung ke kafe itu. Sekadar melihat kekasih hatinya. Seperti hari ini, Ali datang ke kafe tepat jam 15.00 WIB.
"Selamat pagi, mas Ali." Sapa salah satu karyawan. Ali pun tersenyum.
Sejak baikan dengan Prilly, Ali berubah total menjadi ke arah yang lebih baik. Ia bahkan sudah menghilangkan sikap cueknya. Setiap waktu ia bisa tersenyum terus.
"Pagi." Jawab Ali. Ia langsung mengambil meja langganannya. Nomer 15. Meja yang menjadi saksi bisu awal pertemuannya dengan Prilly.
"Choco latte, Sir?"
Ali menoleh ke sumber suara. Bibirnya tersungging membentuk senyuman manis.
"Kamu manusia atau bidadari, sih? Pake celemek sama rambut dikuncir ngasal aja cantiknya ga ilang." Puji Ali. Oh lebih tepatnya 'gombal'.
Prilly memukul pelan lengan Ali, "Gombal mulu setiap dateng kesini!"
"Emang salah? Kan fakta kalo kamu cantik. Banget." Jawab Ali dengan ekspresi seolah ia melihat bidadari turun dari khayangan.
"Jawab dulu pertanyaanku tadi, baru gombal."
Ali terkekeh, "Yes, please."
Prilly sedikit membungkuk sambil tersenyum. Itu sudah menjadi keharusan bila pelanggan telah memesan kopi atau makanan di kafe itu. Termasuk Prilly, meskipun Ali adalah pacarnya, ia tetap mengikuti peraturan di kafe tempatnya bekerja.
"Bisa ga sih gausah bungkuk gitu. Kamu kan juga bakal jadi istri aku. Iparnya pemilik kafe." Ucap Ali yang sedikit risih dengan sikap Prilly barusan. Ia tau, itu adalah sebuah keharusan. Tapi tidak dengan dirinya. Ia mungkin satu-satunya pelanggan yang tak suka bila ada pelayan yang membungkuk hormat padanya.
"Selama aku belum sah sama kamu, dan selama aku bekerja disini, aku akan terus ikutin rules nya." Kekeuh Prilly.
Ali pasrah. Ia akan kalah jika terus berdebat dengan Prilly yang sangat pintar membuatnya bungkam.
Prilly masuk ke dapur dan membuat pesanan Ali. Sembari menunggu, Ali bermain game untuk menghilangkan rasa suntuknya.
"Woi!"
Hampir saja ponsel canggih Ali terbanting karena kaget. Untung Ali menggenggamnya erat.
"Hp gue jatuh beneran, ganti!" Ucap Ali dengan nada kesal. Orang itu terkekeh.
"Yaelah, hp gitu berapa sih harganya? Ga sampe 20 kan? Paling 12. Bisa lah gue ganti." Ucap Fero sombong.
Ya, orang yang mengagetkan Ali adalah Fero. Tak hanya Ali, Fero pun jadi lebih sering ke kafe. Namun beda tujuannya dengan Ali. Fero ke kafe karena mengirit uang jajannya. Wajar, kafe Nadia memang sangat diperuntukkan untuk anak sekolah/kuliahan yang uang jajannya pas-pasan.
"Adek gue mana?" Tanya Fero. Ali menunjuk ke arah dapur tanpa melihat Fero.
"Prill!"
Prilly menoleh. Ia agak kesal dengan kakaknya. Masih banyak pelayan yang lain tapi kenapa hanya dirinya yang selalu dipanggil untuk menuliskan pesanan Fero?
"Pesen apa?" Tanya Prilly dengan nada ramah yang dibuat-buat.
"Jangan sok manis gitu. Gue tau lo kesel." Ucap Fero. Prilly menghembuskan napas kasar.
"Udah deh, lo mau pesen apa? Waktu gue ga banyak buat nungguin lo milih menu." Ucap Prilly kesal. Ali hanya terkekeh geli melihat kakak beradik ini.
"Sama kayak Ali, deh." Ucap Fero akhirnya. Prilly melongo tak percaya.
"Ngapain lo ngambil buku menu kalo ujung-ujungnya minta yang sama kayak Ali? Astaga."
"Yaudah sih tinggal buatin lagi."
Prilly melengos begitu saja. Ia menaruh kembali buku menu di tempat semula. Tangannya yang lincah segera membuat pesanan dengan cepat.
"Nih. 2 choco latte, bonus banana bread." Ucap Prilly sambil meletakkan pesanan satu-satu.
"Prill, makan bareng sini." Ajak Ali. Prilly menggeleng.
"Aku kerja, Li. Takut digibahin sama pelayan lainnya." Ucapnya dengan nada khawatir. Ali tersenyum.
"Selama sama aku, ga ada yang berani ngomong jelek tentang kamu. Percaya sama aku." Ujar Ali meyakinkan Prilly. Dengan segala pertimbangan, Prilly pun mengiyakan ajakan Ali.
Ditengah acara makan-makan mendadak mereka, Fero mengungkapkan pertanyaan yang ia pendam selama ini, "Kalian gaada niatan buat ke yang lebih serius? Tunangan gitu.".
Prilly tersedak. Ali segera menyerahkan minumannya untuk Prilly.
"Maunya sih gitu, Fer. Tapi ya takut Prilly kayak 'gitu' lagi." Ucap Ali serius.
Prilly hanya bisa tersenyum. Tunangan? Gila, gue aja masih 22! Ya kali semuda ini gue udah terikat. Nanti aja! Batin Prilly berbicara.
"Tapi kalo emang Prilly sendiri udah siap, gue pasti bakal lamar adek lo. Gue janji dan lo bisa pegang janji gue!" Tegas Ali.
Prilly menatap mata Ali. Berusaha mencari kebohongan disana. Namun hasilnya nihil. Ali serius dengan ucapannya.
Kira-kira Prilly bakal mau ga ya tunangan secepatnya sama Ali?
KAMU SEDANG MEMBACA
Caffe Love Story
FanfictionPrilly Agnesia Latuconsina adalah sebuah barista di salah satu cafe langganan Ali Leonard Syarief. Cantik, baik, dan pintar adalah 3 kata yang cocok untuk Prilly. Tak jarang banyak pelanggannya yang meminta untuk dijadikan pacar. Namun Prilly selalu...