Jam dinding menunjukkan pukul setengah sepuluh. Satu jam lalu, kegiatan belajar bersama telah usai. Sekarang anak-anak panti tengah dibuai mimpi. Sudah jadi peraturan, mereka tidak boleh tidur larut malam agar bisa bangun di awal pagi untuk mengaji.
Di kamar yang dihuninya bersama enam remaja lain, Ayya masih terjaga. Dia sedang menata barang-barang bawaannya saat Asih melongok dari balik pintu sambil mengucap salam.
"Wa'alaikumsalam. Masuk, Mbak!" undang Ayya. Gadis itu duduk lesehan di atas karpet. Beberapa helai pasmina warna-warna netral baru saja dia tambahkan ke dalam koper.
"Bajunya dibawa semua?" Asih duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya tertuju pada koper.
"Nggak, Mbak, cuma bawa seperlunya. Sebagian aku berikan sama adik-adik," sahut Ayya. "Di sana sebentar lagi kan musim dingin, nanti aku perlu beli baju-baju yang lebih tebal."
"Tabunganmu kira-kira cukup nggak sampai uang beasiswa keluar?" tanya Asih. "Mbak ada simpanan sedikit, bawa ya buat jaga-jaga."
"Nggak usah, Mbak." Ayya menggeleng. "Insya Allah cukup. Asrama dan makan sudah ditanggung. Untuk pengurusan izin tinggal dan keperluan pribadi sudah kusiapkan dari tabungan."
"Baiklah, tapi kalau ada apa-apa, beri tahu Mbak, ya!" Asih memperhatikan barang-barang yang Ayya masukan ke dalam koper. "Dokumen yang harus dibawa sudah dicek lagi?"
"Sudah lengkap, Mbak. Aku simpan sama laptop di dalam tas punggung." Ayya menepuk tas punggung di atas kursi. "Tiket pesawat dan lain-lain aku simpan di tas ini biar gampang," sambungnya sambil memindahkan tas selempang berbahan kanvas ke atas kursi.
"Oya, besok ada donatur mau datang. Mbak nggak enak kalau menolak tamu," kata Asih. "Kamu gimana ya? Masak nggak ada yang antar ke bandara."
"Nggak apa-apa, Mbak. Ada Sheila dan Om Gun. Mbak doakan saja aku tiba di sana dengan selamat." Setelah menutup koper, Ayya menyeretnya ke dekat kursi, lalu duduk di samping Asih. "Doakan juga kuliahku lancar dan .... "
"Semoga Allah memudahkan semuanya ya, Ay." Asih mengusap punggung gadis itu. Dia mengerti maksudnya. "Sampai Istanbul, kamu ada yang jemput, kan?"
"Ada, Mbak. Di bandara, aku dan teman-teman tinggal cari stan YTB*. Nanti, ada juga perwakilan perhimpunan pelajar yang akan menjemput." Ayya tersenyum. "Kebetulan Iren punya saudara yang kuliah di Izmir dan aktif sebagai pengurus perhimpunan."
"Alhamdulillah kalau begitu." Wajah Asih menampakkan kelegaan. "Oya, Iren itu yang ... bertemu waktu wawancara, ya? Yang berambut ikal, kan?" tanyanya sambil mengingat-ingat.
Ayya mengangguk.
"Mbak lihat dia anak yang ramah. Semoga kalian bisa berteman baik."
"Iya, Mbak." Ayya mengangguk lagi. "Aku sering chat sama Iren. Dia juga yang memberi tahu untuk bawa obat-obatan yang biasa dipakai dan makanan instan. Katanya sih buat jaga-jaga, kalau-kalau lidah belum bisa menyesuaikan di hari-hari pertama."
"Jaga diri baik-baik di sana, Ay! Kamu akan dipertemukan dengan banyak teman baru. Jangan bergaul dengan orang-orang yang membuatmu lalai," ujar Asih. Digenggamnya tangan Ayya. "Ingat, bahwa teman itu saling mempengaruhi. Bukan berarti kita boleh membeda-bedakan teman. Akhlak baik harus ditunjukkan pada siapa pun, tapi berkariblah dengan teman yang memberi pengaruh baik."
"Iya, Mbak. Makasih sudah mengingatkan lagi." Ayya membalas genggaman tangan Asih. "Semoga aku juga bisa memberikan pengaruh baik buat teman-teman di sekitarku."
"Aamiin. InsyaaAllah." Asih menyentuh rambut cokelat Ayya yang tergerai hingga bahu. "Mbak sangat mengenalmu. Kamu anak baik."
"Anak baik yang waktu kecil pernah bikin Mbak jantungan, kan?" Ada tawa kecil di bibir tipis itu saat ingatannya terlempar ke masa lalu. Ketika dia seharian bersembunyi di dalam lemari dan membuat seluruh penghuni panti kelimpungan mencari-cari.
"Waktu cepat berlalu ya, Ay. Serasa baru kemarin, Mbak mendapatimu memeluk boneka beruang ini di dalam lemari." Asih ikut tertawa kecil seraya menyentuh boneka beruang di dekat bantal.
"Iya, Mbak. Kalau ingat, aku sama Reza masih suka tertawa, tapi merasa bersalah juga sama Mbak," ungkap Ayya.
"Waktu itu akting Reza meyakinkan banget, lho. Dia kelihatan paling bingung padahal dia sendiri yang menyembunyikan kamu," decak Asih sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Menyebut dan mendengar nama Reza, sejurus ada kesedihan yang berdenyar di wajah Ayya. Hanya sekilas, tetapi Asih menyadarinya.
"Mbak yakin sebenarnya Reza ngerti," katanya. "Dia masih butuh waktu menerima adik kecilnya yang penurut, sekarang sudah dewasa dan punya keputusan sendiri. Mbak nanti akan bicara lagi sama dia."
"Nggak perlu, Mbak. Memang aku yang salah, kok." Ayya menghela napas.
"Nggak ada yang salah. Kamu berhak tahu asal-usulmu," sanggah Asih. Ditatapnya Ayya dengan lembut. "Sayangnya, dulu Mbak nggak seberani kamu."
Ayya balas menatap wanita berwajah teduh itu. "Makasih ya, Mbak, sudah memberiku tempat di sini. Makasih juga untuk segala nasihat dan kebaikan Mbak. Hanya Allah yang bisa membalasnya."
"Nggak perlu berterima kasih. Allah yang menuntunmu ke sini, jadi bagian dari keluarga ini," tutur Asih dengan mata berkaca-kaca. "Mbak hanya berusaha menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya."
Tatapan Ayya mengabur. Ketika memeluk tubuh Asih, genangan di matanya terjatuh membasahi jilbab soft pink yang dikenakan wanita itu. Demikian juga Asih, dia tak mampu menahan tangis.
"Jangan putus mendoakanku ya, Mbak!" Ayya berkata lirih saat melepaskan pelukan. "Doa Mbak sangat berarti buatku."
"Pasti. Tanpa diminta pun, Mbak akan selalu berdoa buat kamu." Asih tersenyum. "Jangan lupa untuk selalu memenuhi hak-hak Allah, dengan begitu Dia akan selalu menjagamu."
Saat memeluk Asih lagi, tatapan Ayya tertuju pada kolase foto dalam bingkai di atas meja. Selain foto bersama seluruh penghuni panti, ada juga foto lama dirinya, Reza dan Asih. Bertiga. Mereka membuatnya dalam photobox beberapa tahun silam.
Ah, belum juga pergi, dia sudah diserang rindu.
*****
*YTB (Yurtdışı Türkler ve Akraba Toplulukanlar Başkanlığı) : Lembaga yang berwenang menangani urusan beasiswa pemerintah Turki******
Sampai part 10 yang saya unggah di sini, nama Arash belum muncul yaa. Harus baca novelnya sih kalau mau kenal sama cowok kece ini. Siapa tahu ikut baper 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIM DINGIN DI IZMIR
Teen FictionMusim Dingin di Izmir berkisah tentang perjalanan seorang gadis penghuni panti asuhan bernama Ayya Sophia mencari keberadaan ayahnya. Tak ada nama. Tak ada cerita. Namun, kerinduan yang tumbuh di hati gadis itu mengalahkan segalanya. Selembar fo...