Part 5 : Keberangkatan Tanpa Pelukan

2.9K 181 14
                                    

Jam menunjukkan pukul setengah enam ketika Ayya menjejakkan kaki di area keberangkatan internasional, Terminal 2, Bandara Soekarno-Hatta. Lima belas menit menjelang Magrib. Bersama Sheila dan Gunawan, gadis itu bergegas menuju musala. Setelah menunaikan salat, barulah menuju ruang tunggu. Di sana, para peraih Türkiye Busları telah berkumpul.

Dari dua belas awardee* yang akan berangkat, baru separuhnya yang datang. Selama menunggu, mereka bercengkerama dengan keluarga masing-masing. Sementara Ayya, sepeninggal Sheila dan Gunawan, menyibukkan diri dengan pulpen dan buku kecil, menulis.

"Hai, Ayya." Seorang gadis berambut ikal duduk di samping Ayya.

Ayya menoleh. "Hai, Ren! Assalammu'alaikum," sambutnya riang sambil menerima uluran tangan Iren. Mereka berjumpa pertama kali berjumpa saat wawancara di kantor Keduataan Turki.

Gadis itu menjawab salam. Keduanya saling menempelkan pipi kiri dan kanan. "Kamu nulis apa, sih? Kayaknya asyik banget dari tadi."

"Cuma bikin catatan kecil aja buat bahan nulis," jawab Ayya. Dia menutup buku, lalu menaruhnya ke dalam tas. "Kalau nggak ditulis begini, biasanya suka lupa."

"Oh iya, aku lupa kalau kamu suka nulis.." Iren menepuk pelan dahinya. "Setelah tinggal di Izmir pasti banyak banget yang bisa kamu tulis, Ay."

"Insya Allah," ucap Ayya.

"Tulisanmu dikirim ke media?" tanya gadis bermata kecil itu.

"Beberapa ada yang kukirim." Ayya mengangguk. "Honornya lumayan buat nambahin celengan," imbuhnya.

"Asyik banget ya, punya hobi yang menghasilkan," decak Iren sambil membenahi letak bowler hitam di kepalanya. Topi bulat ala Charlie Chaplin itu berwarna senada dengan t-shirt yang dikenakannya. Serasi dengan jaket kuning dengan aksen hitam pada bagian lengan. "Bahagianya berlipat kalau kayak gitu."

Ayya tersenyum.

"Eh, ibumu mana, Ay?" Iren celingukan.

"Ibu?" Alis Ayya mengernyit.

"Iya, yang nganter wawancara. Itu ibumu, kan?" tanya Iren.

"Oooh, itu sih Mbak Asih. Pemilik dan pengelola panti tempat aku tinggal." Ayya tersenyum kikuk. "Yaa, bisa dibilang ibu juga, sih. Ibu bersama."

"Panti?" Giliran alis Iren yang mengernyit.

"Iya, panti asuhan." Ayya mengangguk. "Aku tinggal di sana sejak usia tujuh tahun," tuturnya. Ada nada ragu dalam suaranya.

Sejujurnya dia tidak pernah malu mengakui statusnya sebagai penghuni panti asuhan ketika berkenalan dengan teman-teman baru. Hanya saja, terkadang dia takut menghadapi pertanyaan yang berkaitan dengan kedua orangtuanya.

"Anak panti asuhan bisa kuliah di Turki," decak Iren. "Kamu keren banget, Ay."

"Semua kehendak Allah, Ren."

"Nanti dibikin buku, deh. Aku yakin bakal menginspirasi," saran Iren. "Banyak lho, anak yang masih punya orangtua, dikasih fasilitas lengkap, tapi sekolah malas-malasan. Sering bolos malah."

"Temanku ada juga yang kayak gitu. Sayang banget, sih," balas Ayya. "Sementara banyak anak-anak lain yang putus sekolah atau harus cari orang tua asuh buat sekolah."

"Aku juga sempat kayak gitu." Iren menyeringai. "Sampai diomelin sama Mama tiap hari."

"Kamu beruntung masih punya Mama yang ngomelin." Sekelebat Ayya mengingat mendiang ibunya. "Ngomelnya orangtua pasti karena sayang."

"Pastinya." Iren mengangguk. "Oya, Mbak Asih nggak ke sini?"

"Nggak." Ayya menggeleng. "Kebetulan ada donatur yang mau datang, pastinya harus lebih diprioritaskan."

Iren mengangguk-angguk. "Eh, aku baru mau nge-vlog, nih," katanya sambil mengacungkan kamera kecil di tangannya. "Nanti sesekali aku nge-shoot dan tanya komentarmu, boleh ya?"

"Boleh, sih. Semoga aku nggak demam kamera." Ayya tertawa kecil.

"Nggaklah, kan calon jurnalis." Iren merengkuh bahu teman barunya. "Cocok ya, hobi nulis, kuliah jurusan jurnalistik. Aku ambil manajemen keuangan, karena hobi belanja," candanya, yang ditanggapi Ayya dengan tawa.

Pembawaan Iren yang selalu ceria dan supel membuat kedua gadis itu cepat akrab. Beberapa kali mereka tertawa di antara suara langkah, derit roda troli, obrolan dan semua keramaian di sekitar mereka. Sesekali terdengar merdunya suara announcer, membahana menyampaikan berbagai informasi melalui pengeras suara.

"Kalau dengar ceritamu, aku bayangin kehidupan di panti itu seru banget."

"Ada suka dan dukanya, Ren," balas Ayya. Dia tersenyum ketika dalam benaknya bermunculan berbagai peristiwa yang pernah dialami selama berada di panti. Dua belas tahun memang bukan waktu yang sebentar. Begitu banyak kenangan yang terukir.

Iren menyampaikan rasa simpati melalui sentuhan tangan. Tak lama berselang, dia berdiri. Tangannya melambai pada tiga sosok yang sedang berjalan sambil mencari-cari keberadaannya.

"Bentar ya, Ay. Orangtuaku baru datang, tuh." Iren menghampiri ketiganya. Mereka berbincang beberapa saat sebelum berjalan bersama ke arah Ayya.

"Ay, kenalin ini Mama, Papa." Iren memperkenalkan kedua orangtuanya yang masih mengenakan seragam kerja. "Dan, ini Erin, adikku," sambungnya sambil merengkuh bahu gadis di sebelahnya. Keduanya tampak sangat mirip. Sama-sama berambut ikal yang tergerai hingga bahu.

Ayya mengangguk dan menyalaminya. Kurang lebih lima belas menit kelimanya terlibat obrolan hingga tiba saatnya check-in.

Suasana haru terasa ketika para awardee berpamitan pada keluarga masing-masing, memohon doa diiringi uraian air mata. Sementara keluarga yang ditinggalkan menggumamkan nasihat sambil mendekap erat, seolah enggan melepaskan.

Ayya tersenyum tipis ketika Iren menghampiri. Gadis berjaket kuning itu merengkuh bahunya. Dia memberi usapan ringan, seolah ingin membesarkan hati teman barunya yang berangkat tanpa pelukan siapa pun.

Bagi Ayya, hal seperti ini sudah biasa. Ketika teman-teman sekolahnya menghadiri acara dengan orangtua, dia harus berbesar hati jika Asih tak bisa menemani. Dia sangat mengerti, ada sembilan belas anak lain yang juga membutuhkan wanita itu.

Sejak Reza duduk di bangku SMA, biasanya dia yang datang menggantikan Asih. Namun kali ini, lelaki itu tak melakukannya, padahal Ayya sangat berharap bisa melihatnya sebelum waktu keberangkatan tiba.

Ketika para awardee beriringan menuju security checking, Ayya sengaja berjalan paling akhir. Beberapa kali gadis itu menoleh, mengamati orang-orang di sekitarnya. Dia sungguh berharap salah satu dari mereka adalah Reza. Namun, hingga gilirannya melintasi metal detector, lelaki yang diharapkannya tak juga muncul.

Tanpa Ayya sadari, seseorang mengawasinya dari kejauhan sejak satu jam lalu. Sesekali jemari lelaki itu menyisir anak-anak rambut yang jatuh di pelipis. Kakinya bahkan masih terpaku, meskipun gadis itu telah hilang dari pandangan. Reza baru terusik oleh dering ponsel di dalam saku jaketnya. Viska, nama itulah yang tertera di layar.

*****
*awardee : peraih beasiswa

Bahagia rasanya ketik pembaca bisa menikmati MDdI dari awal sampai akhir. Beberapa orang bertanya, bakal ada jilid kedua nggak?

Mendingan jangan ya, nanti saingan sama sinetron Tukang Bubur Naik Haji panjangnya 😂

Mendingan jangan ya, nanti saingan sama sinetron Tukang Bubur Naik Haji panjangnya 😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MUSIM DINGIN DI IZMIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang