Waktu terasa berjalan lambat ketika sedang menunggu. Itu pula yang Ayya rasakan. Libur musim dingin yang dinanti tak kunjung hadir. Tentu saja, karena memang belum saatnya. Musim gugur saja baru separuhnya berlalu.
Pergerakan waktu terasa semakin lambat karena rindu seringkali datang mengganggu. Kali ini, tak hanya pada sang ayah rindu itu tertuju. Berbagai kenangan yang membayang terkadang membuatnya ingin pulang, merasakan lagi kehangatan suasana panti. Teringat Asih, adik-adiknya, dan ... Reza.
Lelaki itu semakin sering mengisi pikirannya. Terutama ketika Asih berkirim pesan, ia tak mendapat kabar apa pun tentangnya. Tak ada gunanya mencari tahu lewat akun media sosialnya. Ada kesamaan di antara mereka, tidak terlalu senang berbagi tentang hal-hal pribadi secara gamblang di sana. Sesekali Reza hanya mengunggah sketsa goresan tangannya atau foto yang berkaitan dengan pekerjaan disertai caption singkat, seperti unggahan terakhirnya dua minggu lalu.
Dalam foto itu tampak beberapa lembar kertas berserakan di atas meja, sebuah pensil tergeletak sembarang, dan secangkir espresso di sudut meja. Ia hanya membubuhkan kata "kosong" sebagai caption.
Ayya meletakkan pulpen di atas modul bahasa Turki yang sedang dipelajarinya. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas kamus. Kedua ibu jarinya mengetik sebuah nama dalamkolom pencarian facebook, Viska Ardhana. Namun, sebelum menekan simbol 'kaca pembesar', ia segera menghapus huruf demi huruf yang sudah diketiknya. Bibirnya tersenyum kecut, merasa konyol dengan tingkahnya sendiri.
Gadis itu membuka aplikasi whatsapp. Berkali-kali mengetik, lalu menghapusnya lagi. Ia baru saja meletakkan ponsel di atas meja ketika benda itu berdering, membuatnya terkesiap. Ia sempat berharap nama Reza muncul di layar.
"Iya, Dit. Assalammu'alaikum," sapanya pada si penelepon.Di ujung telepon, Ditto menjawab salam, lalu menanyakan keberadaan sepupunya. "Tadi aku lagi di kamar mandi, waktu keluar Iren udah nggak ada. Ponselnya sih ada, lagi di-charge."
Ayya menuju balkon, melongok ke taman tetapi tidak melihat keberadaan gadis itu di sana.
"Oh, ya udah, nanti aku telepon aja lagi."
"Oke," balas Ayya. Ia kembali duduk, mengambil pulpen dan mengetuk-ngetukannya pada modul yang masih terbuka.
"Ay, aku lagi on the way ke flat Mbak Risma, teman-teman udah pada ngumpul mau pada bikin sate. Mau ikut nggak?" tanya Ditto. "Kalau mau, aku tunggu di halte, ya."
"Nggak deh, makasih. Aku lagi belajar buat kelas besok."
Ditto tertawa. "Oh iya, aku lupa kalau Ayya Sophia nggak suka acara dadakan. Semua harus terjadwal dan terencana."
"Begitulah kira-kira." Ayya ikut tertawa.
"Ay, aku usul buat konten vlog minggu depan. Gimana kalau kita percepat jadi tanggal 29?"
Ayya melirik kalender meja di depannya. Dua hari minggu sudah ia lingkari. Mereka sepakat untuk vlogging dua kali dalam sebulan. "Tanggal 29 itu Kamis, dong," katanya.
"Iya, tapi nggak akan ganggu kelas, Ay. Tanggal 29 kan libur nasional, malah dari Rabu aktivitas perkantoran dan sekolah hanya setengah hari," terang Ditto.
"Oh iya, peringatan Hari Republik." Ayya baru mengingatnya. "Oke deh, aku setuju."
"Aku ngerti kok, kamu nggak akan mau kalau harus ninggalin
waktu belajar," kata Ditto.
"Makasih, Dit." Ayya tertawa kecil. "Eh, selamat makan-makan ya," ucapnya sebelum lelaki itu mengakhiri pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIM DINGIN DI IZMIR
Teen FictionMusim Dingin di Izmir berkisah tentang perjalanan seorang gadis penghuni panti asuhan bernama Ayya Sophia mencari keberadaan ayahnya. Tak ada nama. Tak ada cerita. Namun, kerinduan yang tumbuh di hati gadis itu mengalahkan segalanya. Selembar fo...