Untuk ke sekian kali Ayya menekan tombol backspace, menghapus kata demi kata yang dirangkainya. Akhirnya layar monitor itu kembali bersih. Merasa tak akan bisa menulis apa pun, gadis itu menutup laptop, kemudian menatap bingkai foto di hadapannya. Satu per satu diamatinya hingga terhenti pada sosok Reza.
Wajah itu sudah sering ia lihat. Terlebih ketika mereka masih sama-sama tinggal di panti. Namun, entah mengapa semua terasa berbeda sekarang. Ada kerinduan yang terasa janggal saat ia mengingat lelaki itu. Ada debar tak biasa tatkala seminggu yang lalu ia membaca namanya tertera di layar ponsel, melakukan panggilan video.
"Assalammu'alaikum, Kak Ayya!" Ternyata Reyna. Gadis kecil itu yang menyapanya, bukan Reza. Di belakangnya, anak-anak lain berkerumun dan menyapa Ayya. Asih ikut melongokkan kepala sambil melambaikan tangan.
"Mbak ngobrol setelah anak-anak yaa," kata wanita itu sambil mengacungkan sebuah kantong. "Mbak mau ke dapur dulu, Reza bawain makanan buat anak-anak."
"Iya, Mbak," angguk Ayya s, lalu mengalihkan perhatian lagi pada Reyna dan teman-temannya. "Lhooo, kok Reyna belum tidur?"
"Iya, tadi udah mau ke kamar tapi dengar suara motor Kak Reza." Gadis kecil itu menyeringai. "Kak Ayya, kok di sana masih terang?"
Waktu itu Ayya sedang berada di Tarihi Asansör. "Iya, di sini masih sore."
Gadis kecil itu menggaruk-garuk kepala, bingung.
Ayya tersenyum. "Kak Ayya kan lagi di Izmir, ada selisih waktu empat jam dengan Jakarta."
"Lebih cepat di sini berarti ya, Kak?" celetuk salah seorang anak di belakang Reyna.
"Iya," angguk Ayya.
"Kak Ayya, kerasan nggak di sana?" tanya anak panti yang lain.
"Mmm ... ya harus kerasan," sahut Ayya. "Kalau nggak kerasan, nanti belajarnya nggak semangat."
"Reyna dan semua di sini kangen Kak Ayya," cetus Reyna. Wajahnya berubah murung.
"Jangan sedih gitu, dong, Rey! Kak Ayya jadi ikutan sedih, nih," balas Ayya. "Kalau kangen, kan masih bisa ketemu lewat video call kayak gini. Kak Ayya juga kangen sama semuanya."
"Kangen sama Kak Reza juga, kan?" Pertanyaan spontan Reyna membuat Ayya gelagapan.
Sebelum ia sempat menjawab, gadis kecil itu sudah memutar tubuhnya sehingga layar ponsel memunculkan sosok Reza di belakangnya. Lelaki itu sedang bersandar santai pada sofa. Ah, genderang rindu bertabuh di hati gadis itu.
"Assalammu'alaikum, Ay," sapa Reza sambil menegakkan tubuh. Ia menyingkirkan rambut ombaknya dari pelipis. "Gimana kabarmu?"
Ayya tersenyum kikuk. "Wa'alaikum salam, Za. Kabarku sehat, kamu gimana?"
"Alhamdulillah, aku juga sehat." Lelaki itu tersenyum, memamerkan lesung di kedua pipinya.
Senyum yang sama seperti yang selalu Ayya lihat sejak dulu, tetapi pada saat video call itu sanggup membuat dadanya seperti ditumbuhi rumpun bambu tertiup angin. Riuh bergemuruh. Seminggu telah berlalu. Rumpun bambu itu masih selalu riuh setiap kali ia mengingatnya.
"Allah, ada apa denganku?" keluhnya dalam hati. Tanpa sadar ia menghela napas dalam-dalam, membuat Iren yang baru saja keluar kamar mandi terheran-heran.
"Kamu kenapa, Ay?" tanyanya dengan alis mengernyit.
"Eh?" Ayya terperanjat. "Aku ... nggak apa-apa," kilahnya.
Bukan Iren namanya kalau merasa puas dengan jawaban seperti itu. "Kamu narik napas dalam sambil ngeliatin foto itu, lho," desaknya.
"Nggak, kok." Ayya masih berkilah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIM DINGIN DI IZMIR
Novela JuvenilMusim Dingin di Izmir berkisah tentang perjalanan seorang gadis penghuni panti asuhan bernama Ayya Sophia mencari keberadaan ayahnya. Tak ada nama. Tak ada cerita. Namun, kerinduan yang tumbuh di hati gadis itu mengalahkan segalanya. Selembar fo...