Part 4 : Lambaian Perpisahan

3K 177 23
                                    

Tak ada perpisahan yang menyenangkan. Di balik kebahagiaannya menjadi salah seorang pelajar Indonesia yang lolos program Türkiye Busları*, ada setangkup kesedihan mengisi dada Ayya ketika memeluk satu per satu penghuni panti. Terutama ketika tangan mungil Reyna bergelayut di tengkuknya sambil terisak. Gadis kecil itu memang sangat dekat dengannya. Perlu waktu agak lama bagi Ayya memberikan pengertian hingga Reyna mau melepasnya pergi.

Ayya pun susah payah menahan air mata saat CRV silver yang akan membawanya ke bandara perlahan meninggalkan halaman panti. Asih dan para penghuni lain mengikuti hingga pinggir jalan, melepas kepergiannya dengan lambaian tangan.

Melalui jendela belakang, dilihatnya Reyna menyusupkan wajah pada pinggang Asih. Ayya segera menyeka air mata yang bergulir jatuh saat wajah-wajah yang selalu dilihatnya setiap hari itu benar-benar hilang dari pandangan.

Mobil yang dikendarai Gunawan melaju pelan di tengah kemacetan. Beberapa pengendara sepeda motor mencoba menyelinap di antara kendaraan roda empat yang bergerak lambat. Ketidaksabaran para pengendara membuat bunyi klakson saling bersahutan. Angkutan umum yang terparkir di tempat yang tidak seharusnya memancing teriakan-teriakan berisi sumpah-serapah, lalu berujung saling memaki. Bising.

"Ya ampun, ini cowok nyebelin banget. Dasar kadal buntung!" Umpatan Sheila membuat Gunawan menoleh. Begitu pun dengan Ayya yang duduk di jok tengah.

"Anak gadis kok mulutnya gitu?" protes Gunawan, tak senang dengan tingkah laku sang anak.

Sheila meringis. "Astaghfirullah. Iya maaf, Pa. Habis Sheila kesal."

"Itu bukan alasan, Sayang. Kesempurnaan iman seorang mukmin itu terlihat dari kebaikan akhlaknya. Dan akhlak baik akan tercermin dari tingkah laku dan tutur kata." Gunawan kembali melajukan mobil setelah terhenti beberapa saat oleh nyala lampu merah. "Mau kesal, mau marah, kita harus berusaha mengendalikan diri. Daripada mengumpat, lebih baik kamu ucapkan a'uudzubillah."

"Iya, Papa Sayang. Maafkanlah kekhilafan anakmu ini!" Sheila memasang wajah memelas yang dibuat-buat sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

Gunawan tersenyum dibuatnya. Ayya juga ikut tersenyum melihat kelakuan Sheila.

"Itu tadi, siapa cowok yang bikin kamu kesal?" tanya Gunawan

"Si Bimo, Pa, yang kemarin aku ceritakan." Sheila menjawab tanpa menoleh. Jarinya bergerak lincah di atas layar ponsel. "Kamu lihat postingan instagram Meta deh, Ay!" pintanya seraya menoleh pada Ayya.

"Meta kenapa?" Ayya mengeluarkan ponsel dari tas di pangkuannya, lalu membuka aplikasi instagram. Alisnya mengernyit melihat postingan salah seorang teman sekelas mereka semasa SMU. "Ini maksudnya mereka jadian ya, Sheil?"

"Iya, tuh baca aja caption-nya!" sungut Sheila.

"Eh, kamu cemburu?" goda Ayya, membuat mata sahabatnya mendelik

. "Cemburu? Iiih, sorry, yaaa ...." Sheila mencebik.

"Terus kenapa bibirnya manyun gitu?" kerling Ayya.

"Soalnya tadi malam si Bimo masih usaha ngerayu aku, Ayya. Katanya nggak akan nyerah sampai aku nerima dia."

"Dan ternyata itu cuma gombal." Ayya terkekeh.

"Banget." Sheila masih bersungut. Bibirnya mengerucut.

"Jangan-jangan kamu suka ya sama Bimo?" Sambil memamerkan senyum jahil, Ayya mencodongkan tubuh ke arah Sheila yang duduk di kursi depan. "Kamu berharap Bimo beneran nunggu kamu, ya kaaan?" godanya lagi.

Mata Sheila makin mendelik. Sedetik kemudian, sambil tertawa Ayya berkelit menghindari bantal penyangga leher yang dilemparkan sang sahabat ke arahnya. Di belakang kemudi, Gunawan ikut tertawa mendengarkan percakapan kedua gadis itu.

MUSIM DINGIN DI IZMIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang