Pagi pertama di asrama. Pukul delapan pagi, Ayya dan Iren menuju kantin di lantai dasar. Suara piring, sendok, dan garpu yang saling beradu terdengar saat keduanya memasuki ruangan luas itu. Keberagaman ras dan suku bangsa tampak dari karakteristik fisik dan bahasa yang digunakan untuk berbincang oleh para pengunjung kantin di sela-sela aktivitas makannya. Penghuni asrama---selain warga Turki---memang berasal dari berbagai negara. Selain penerima beasiswa, tidak sedikit yang kuliah secara mandiri.
Setelah mengantre di pantri, kedua gadis itu beriringan menuju deretan meja dan kursi yang tersedia. Alih-alih memilih bangku yang masih kosong, Iren justru menghampiri meja panjang, tempat beberapa gadis menghabiskan sarapannya sambil mengobrol. Di sana, ada dua kursi yang belum ditempati.
Mereka mempersilakan keduanya untuk bergabung. Dalam hitungan menit Iren sudah terlibat percakapan seru dengan gadis-gadis itu. Sesekali Ayya ikut menimpali, meskipun lebih sering menanggapi dengan senyuman,.
Andai tidak bersama Iren, pastilah tadi dia akan memilih meja kosong. Dia butuh waktu mengenali sekelilingnya sebelum kemudian berbaur dengan yang lain. Pertemanan dengan Iren ternyata membuatnya lebih cepat menyesuaikan diri, lebih cepat pula mendapatkan teman-teman baru.
"Ditto bilang kalau mau cerita ke teman-teman Turki di asrama bahwa kita kuliah di sini karena dapat beasiswa, sebaiknya kenali dulu orangnya." tutur Iren setelah tinggal berdua saja.
Teman-teman barunya menghabiskan sarapan lebih dulu dan kembali ke kamar masing-masing. Sementara hidangan kedua gadis itu masih tersisa separuhnya. Roti, menemen---makanan berbahan dasar telur, irisan tomat, paprika, dan rempah-rempah---, irisan mentimun, buah zaitun, keju, dan çay---teh turki---.
"Maksudnya?" Ayya menyobek roti lalu dijejalinya dengan menemen.
"Katanya sih, sebagian ada yang suka sensi aja, mempertanyakan kenapa pemerintah Turki memberikan beasiswa ke orang luar," jawab Iren sambil mengangkat bahu. "Ya ... nggak semuanya kayak gitu, yang welcome banget juga banyak."
Sesaat obrolan terhenti. Kedua gadis itu sama-sama melempar senyuman pada tiga gadis berkulit hitam yang baru saja menempati salah satu meja, tak jauh dari tempat mereka menikmati sarapan.
"Cerita Ditto soal orang-orang Turki seru, lho," kata Iren. "Ada yang kurang ramah sama pendatang, ada juga yang baiiik banget."
"Sama kayak di Indo aja kali, Ren. Itu sih, gimana karakter orangnya," ujar Ayya.
"Iya juga, sih." Iren membenarkan. "Trus nih, Ditto bilang rata-rata mereka itu kepo, antusias banget kalau nanya-nanya."
"Kayak kamu, dong," tukas Ayya sambil menahan tawa.
"Eh iya ya, kayak aku." Iren menepuk keningnya sambil terbahak.
Sambil bersantap, Iren masih meneruskan ceritanya dengan antusias. Ayya pun mendengarkannya dengan senang hati. Tawa gadis itu berderai saat Iren bercerita tentang kenakalan-kenakalan masa kecilnya.
"Aku sama Ditto itu partner in crime sejak kecil. Kuajak dia berkomplot buat jahilin Erin," tutur Iren.
"Rumah kalian berdekatan?"
"Iya, masih satu komplek. Hampir setiap hari main ke rumah, terutama kalau ibunya nyiapin makanan yang nggak dia suka. Diam-diam dia beli jajanan trus dihabiskan di kamarku." Iren terkekeh. "Aku sama Ditto suka naik sepeda keliling komplek, sengaja ninggalin Erin jerit-jerit di depan rumah."
"Ya ampun, kalian jahil banget." Ayya membeliakkan mata. "Semoga di sini aku nggak jadi korban kejahilan kalian," imbuhnya.
Iren terkikik. "Dulu aku emang nggak mau punya adik, makanya sebel banget sama Erin. Tapi setelah gede malah pengen punya banyak sodara."
"Kalian mirip banget, lho."
"Nggak cuma mirip secara fisik. Aku dan Erin sama-sama senang ngobrol," kata Iren."Semoga kamu nggak sakit kepala dengan ocehanku."
"Tenang saja, aku seorang pendengar yang baik," sahut Ayya sambil menjejalkan lagi menemen pada roti yang sudah disobeknya. "Di kelas atau di panti, aku biasa jadi tempat curhat. Nggak tahu ya, mereka percaya aja cerita sama aku. Kadang yang rahasia sekalipun."
"Mungkin karena kamu pendiam ya, Ay? Mereka percaya kamu nggak akan ember, jadi rahasianya aman sama kamu," ujar Iren.
"Mmm, mungkin." Ayya menyahut. "Eh, iya gitu aku pendiam? Kayaknya biasa aja, deh " tanyanya diiringi senyum kecil.
"Ih, nggak ngerasa," ledek Iren. "Kamu tuh, kalau ngobrol lebih sering mesem-mesemnya daripada ngomong."
"Masak?" Ayya tertawa.
"Nah tuh, ketawa aja volumenya cuma segitu," seloroh Iren, membuat Ayya tertawa lagi. "Eh, Ay, cerita lagi dong tentang panti asuhan!"
"Mmm, cerita apa, ya?" Kening Ayya mengernyit. "Sama aja sih, dengan anak-anak lain. Pagi pergi sekolah, siang main, sore ngaji, malam belajar. Gitu-gitu aja, sih."
"Kalian suka berantem?"
"Namanya sama sodara yaa pastilah. Rebutan makanan, rebutan bantal, sampai rebutan kakak. Seru!" Ayya tersenyum. Matanya menerawang, mengenang masa-masa indah selama tinggal di panti.
"Kamu kayaknya punya kehidupan yang bahagia ya di sana?" Iren menyingkirkan nampan ke sisi kirinya. Sarapannya sudah habis. Teh yang tinggal separuh, dia teguk hingga tak bersisa.
"Alhamdulillah, Ren. Meski pada awalnya karena nggak punya pilihan lain." Ayya kembali mengulas senyum. "Bahagia itu akan tumbuh ketika hati dipenuhi rasa syukur. Sayangnya, seringkali kita lupa bersyukur dan merasa paling menderita karena hanya melihat ke atas, ke arah orang-orang yang hidupnya tampak lebih bahagia, lebih menyenangkan ..., padahal kalau mau menunduk, penderitaan yang kita alami mungkin belum seberapa."
Iren mengangguk setuju.
"Dibandingkan anak-anak lain yang punya orangtua, mungkin aku kurang beruntung, tapi dibanding dengan anak-anak yang berkeliaran di jalanan, aku jauh lebih beruntung, kan?" kata Ayya sembari memindahkan irisan mentimun yang tidak dia makan ke dalam mangkuk bekas menemen, lalu menumpuknya.
"Aku tuh sempat ngeri dengan pemberitaan soal perdagangan anak-anak, terus pernah ada juga kan kasus anak-anak yang disekap atau diperkerjakan oleh pemilik panti."
Ayya menaikkan alis, lalu menghela napas. "Iya, kasihan mereka."
"Aku yakin pemilik panti tempat kamu tinggal, mmm ... maksudku Mbak Asih, nggak seperti itu."
"Tentu saja. Mbak Asih itu baik, sabar, dan ngerti banget gimana memperlakukan anak-anak yang karakternya emang beda-beda. Mungkin karena dulu Mbak Asih juga tumbuh dan besar di panti." Mata Ayya berkaca-kaca mengenang kebaikan Asih. "Di panti, aku kayak punya keluarga besar. Aku punya Mbak Asih sebagai ibu, punya adik yang banyak, juga punya kakak yaitu, Reza."
"Ah iya, Reza." Iren melipat kedua tangannya di depan dada. Mata kecilnya menyipit melihat keharuan di wajah Ayya tak lagi berjejak, berganti semburat bahagia saat menyebut nama Reza. "Dia pasti laki-laki yang sangat istimewa sampai bikin wajahmu berseri-seri," godanya, membuat Ayya seketika salah tingkah.
*****
MasyaaAllah. Alhamdulillah.Harapan saya ketika MDdI terbit adalah bukan sekadar bikin baper, tapi membawa manfaat bagi siapa pun yang membacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIM DINGIN DI IZMIR
Teen FictionMusim Dingin di Izmir berkisah tentang perjalanan seorang gadis penghuni panti asuhan bernama Ayya Sophia mencari keberadaan ayahnya. Tak ada nama. Tak ada cerita. Namun, kerinduan yang tumbuh di hati gadis itu mengalahkan segalanya. Selembar fo...