Part 11 : Guru Bermata Biru

909 56 6
                                    

Merhaba, arkadaşlar

Bulan Mei telah tiba. Dalam hitungan hari, masa PO MDdI akan segera ditutup. Sudah ikut PO, kan?

Hari ini masih berlaku harga promo, lhooo

Setelah tutup masa PO, masih bisa order sih tetapi dapat harga normal yaa.

Sebelum masa PO berakhir, saya mau menepati janji dulu nih, mengunggah separuh part "Guru Bermata Biru".

Iya, separuh aja. Versi novelnya part ini lebih panjang lagi.

Yang sudah menebak-nebak tentang sosok guru bermata biru, pada part ini akan tahu jawabannya, hehehe

*****

Ayya mendongak. Sekali lagi membaca papan nama di atas pintu, memastikan ia tidak keliru memasuki ruangan. Hari ini adalah pertama kalinya gadis itu masuk kelas Tömer. Sedikit canggung, kaki terbungkus sepatu kets itu melangkah masuk.

"Good morning," sapanya sambil melemparkan senyum pada seisi kelas. Ada tiga orang lelaki berperawakan tinggi besar tengah berbincang dengan suara nyaring. Dua di antara mereka membalas sapaannya, sementara satu orang lainnya hanya menoleh sekilas. Selain mereka, ada beberapa gadis yang juga berbincang dengan teman di bangku terdekat.

"Hai, selamat datang," sambut gadis bermata kehijauan yang menempati kursi persis di depan papan tulis. "Masih banyak kursi kosong, tapi kalau mau duduk di dekatku, aku akan senang sekali."

Ayya mengurungkan niatnya menempati bangku di dekat pintu. Ia tak enak hati untuk menolak. Sesudah menggantungkan jaket pada coat standing hanger di sudut ruangan, ia pun duduk di sebelah kiri gadis itu. Ia ternyata berasal dari Bosnia.

"Kamu sudah belajar bahasa Turki sebelum ke sini?" Si gadis Bosnia itu bertanya dengan aksen english bosnian-nya. "Hanya sedikit baca-baca di internet," jawab Ayya sembari melepas tas, lalu memasukannya ke kolong meja.

"Aku juga," kata gadis itu. "Sulit ya kalau mempelajari tanpa praktek?"

Ayya mengangguk.

"Malangnya, di asrama aku sekamar dengan gadis-gadis Turki yang tidak bisa bahasa Inggris," keluh Si Gadis Bosnia. "Bisa kamu bayangkan bagaimana sulitnya kami berkomunikasi, kan?"

Ayya tersenyum. Hal seperti itu juga ia lakukan dengan para penjaga kantin dan beberapa teman Turki-nya di asrama. "Akujuga mengalaminya."

"Akhirnya kami pakai bahasa isyarat." Si gadis Bosnia tertawa kecil. "Atau memakai aplikasi terjemahan," imbuhnya sambil mengacungkan ponsel.

Lagi-lagi Ayya tersenyum.

"Setelah tinggal di sini, semoga kita bisa cepat menguasai ya," harap gadis itu.

Ayya memiliki harapan yang sama. Sebelum musim dingin tiba, ia berharap sudah bisa berkomunikasi dengan lancar.

Lima belas menit berlalu, satu per satu teman-teman Ayya memasuki kelas. Dua puluh kursi yang tersedia di ruangan bercat putih ini akhirnya terisi. Satu sama lain saling berkenalan. Gaduh dengan suara obrolan. Beberapa di antaranya ada yang langsung akrab dan terbahak bersama. Ada pula yang masih tampak canggung dan malu-malu.

Gadis Bosnia itu masih mengajak Ayya berdiskusi tentang bahasa Turki ketika seorang wanita berjilbab biru keunguan memasuki kelas. Senyumnya semringah. Saat ia menyapa seluruh penghuni kelas, tak hanya bibirnya yang bicara. Mata birunya seolah ikut berbicara, sangat ekspresif.

Setelah menanyakan keadaan dan kesiapan murid-muridnya untuk belajar dengan bahasa Inggris, wanita itu mengambil spidoldan menuliskan kata TANIŞMA pada papan tulis. Kemudian, ia memulai perkenalan.

MUSIM DINGIN DI IZMIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang