Izmir barada di kawasan Anatolia, berjuluk "The Pearl of Aegean" karena letaknya yang berbatasan dengan Laut Aegean. Keindahan pantai dan sejumlah tempat bersejarah menjadikan kota ini sebagai salah satu destinasi wisata. Tak salah jika kemudian Izmir berkembang menjadi kota terbesar ketiga di Turki, setelah Istanbul dan Ankara.
"Akhirnya sampai juga. Izmir'e hoşgeldiniz, Arkadaşlar*," ucap Ditto, ketika bis jurusan Pamukkale yang mereka tumpangi telah tiba di terminal bis Izmir, Izotaş.
Lelaki berwajah oriental itu adalah sepupu Iren, juga pengurus perhimpunan pelajar di Izmir, yang telah menjemput ke Bandara Attaturk.
Sebagaimana terminal pada umumnya, suasana Izotaş malam ini terbilang ramai. Puluhan penumpang turun dari beberapa bis yang tiba hampir bersamaan. Sementara para calon penumpang mengantre di loket pembelian tiket. Pun, memenuhi ruang tunggu.
Izotaş merupakan terminal utama di Izmir. Dibangun di atas lahan seluas 145 ribu meter persegi, terminal ini melayani rute antar provinsi dan dalam kota. Selain loket penjualan tiket, di sekitar peron berderet kedai makanan dan minuman, toko seluler, serta berbagai fasilitas publik. Di sekitar terminal, terdapat pula banyak penginapan, sangat memudahkan para wisatawan yang membutuhkan tempat menginap.
Ayya dan keempat awardee lain mengikuti Ditto menuju ruang tunggu. Di sana, dua teman Ditto sudah menunggu. Mereka hendak menjemput dan mengantar tiga awardee laki-laki menuju asrama di Inciralti. Sementara Ayya dan Iren akan diantar oleh Ditto menuju asrama di Bornova.
Dari dua belas pelajar yang tiba di Istanbul, hanya lima pelajar yang melanjutkan perjalanan ke Izmir. Ayya, Iren, dan tiga awardee laki-laki. Tujuh orang lainnya diterima di universitas dan kota yang berbeda.
Matahari sudah tenggelam. Rembulan pucat menggantung di langit yang agak mendung. Sejumlah lampu menerangi langkah Ayya, Iren dan Ditto menuju shuttle bus yang akan ditumpangi hingga tempat yang dituju.
"Dari sini masih jauh ya, Kak?" tanya Ayya saat bis mulai bergerak.
"Nggak, sekitar tiga atau empat kilometer." Ditto menoleh. Diliriknya juga Iren yang duduk bersandar sambil memejamkan mata di sebelah Ayya. Lelah membuat gadis itu tak berhasrat menyalakan kameranya pada perjalanan kali ini. "Kalau lelah, kamu tidur aja!" sambung Ditto seraya mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya.
Sementara lelaki itu sibuk dengan ponselnya, Ayya asyik menikmati pemandangan yang tampak dalam remang malam. Kendaraan-kendaraan yang melaju berlawanan arah di lajur kiri. Deretan bangunan, juga pepohonan yang berjajar di tepi dan median jalan---pemisah jalur lalu lintas dari arah yang berlawanan---.
Pukul setengah delapan malam, mereka tiba di salah satu komplek asrama perempuan yang ada di Bornova. Cahaya bulan tampak lebih terang kali ini. Awan hitam yang sempat bergayut saat mereka tiba di terminal bis telah tersingkir oleh tiupan angin. Tanpa suara, Ayya dan Iren mengikuti langkah Ditto menuju gedung pengurus asrama, setelah sebelumnya berbincang dengan petugas di pos penjaga, dekat gerbang utama.
"Kalian baru dapat kartu asrama setelah daftar Tömer," terang Ditto setelah berbincang dengan petugas asrama.
Meskipun sudah mempelajari Bahasa Turki melalui internet sejak sebelum pengajuan beasiswa, Ayya tidak bisa benar-benar memahami perbincangan kedua orang tersebut. Mendengar orang Turki melapalkan kata demi kata secara langsung dengan hanya membaca, tentu saja berbeda. Hanya kata 'tamam*' dan 'evet*' yang terdengar jelas di telinganya. Tampaknya Iren pun begitu.
"Besok sudah bisa daftar, kan?" tanya Iren.
Ditto mengangguk. "Iya, jam sepuluh harus sudah siap, ya! Aku jemput."
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIM DINGIN DI IZMIR
Novela JuvenilMusim Dingin di Izmir berkisah tentang perjalanan seorang gadis penghuni panti asuhan bernama Ayya Sophia mencari keberadaan ayahnya. Tak ada nama. Tak ada cerita. Namun, kerinduan yang tumbuh di hati gadis itu mengalahkan segalanya. Selembar fo...