Sinar matahari masih terasa hangat ketika Ayya tiba di depan gedung lima lantai itu. Pada dinding bangunan paling atas terpahat sebuah nama, Magenta Pictures. Setiap menggelar syukuran, Harlan---sang pemilik perusahaan---, selalu mengundang penghuni panti. Di lain waktu, dia pun pernah beberapa kali mampir ke sini. Jadi, sebenarnya dia sudah tahu ke mana harus melangkah. Namun, sudah beberapa menit berlalu, kakinya masih terpaku.
Keberadaan motor sport biru milik Reza di tempat parkir menandakan pemiliknya sudah datang, atau mungkin menginap untuk menyelesaikan pekerjaan. Kesibukan sebagai animator dan mahasiswa jurusan disain komunikasi visual memaksanya untuk menghabiskan waktu di dua tempat, kampus dan studio. Sekali dalam seminggu, lelaki itu masih mengambil kesempatan untuk melatih karate di sebuah dojo*.
Lelaki itu memang pekerja keras, tetapi hasil kerja kerasnya bukan untuk dinikmati sendiri. Dulu, ketika masih di panti, Reza sering meminta izin keluar pada hari minggu. Dia akan mengayuh sepeda berkeliling komplek, menawarkan jasa mencuci mobil atau pekerjaan lainnya. Saat pulang, dia membawa sekantong makanan untuk dinikmati bersama-sama.
Kalau Asih mengizinkan, kadang Ayya ikut dengannya. Namun, Reza tak pernah memperbolehkannya membantu.
"Duduk saja di sana dengan boneka beruangmu!" Itu yang selalu Reza katakan padanya. Dan, Ayya akan menyaksikan anak lelaki itu menyelesaikan pekerjaannya dengan riang.
Di antara semua penghuni, mereka memang paling dekat. Bagi Reza, kehadiran Ayya seperti pengganti seseorang yang hilang dalam hidupnya.
"Kamu mengingatkanku pada Mutiara," tutur Reza suatu waktu di masa kecil mereka.
"Mutiara?"
"Adikku. Kalau ada, dia seusia denganmu." Anak lelaki itu tersenyum. "Dia juga penurut sepertimu."
"Terus di mana dia sekarang? Kenapa nggak kamu ajak tinggal di sini?" tanya Ayya penasaran.
"Waktu kebakaran ...." Mata Reza menerawang jauh. Dia mengusap wajah muramnya. "Dia meninggal, sama Papa dan Mama," katanya. Anak lelaki itu menarik napas dalam.
Rasa kehilangan membuat mereka saling memahami kekosongan hati. Perlahan keduanya saling mengisi. Meskipun hanya terpaut usia tiga tahun, tetapi Ayya menemukan sosok pelindung dalam diri Reza. Itu yang dia rasakan sejak dulu hingga sekarang, tepatnya sebelum mereka berselisih.
"Mbak Ayya!"
Ayya menghentikan langkahnya menapaki tangga. Dia menoleh ke arah suara. Sambil menenteng kantong plastik, lelaki berseragam office boy berjalan mendekat.
"Mau ketemu Mas Reza?" tanya lelaki itu. Sebelum Ayya sempat menjawab, dia kembali bicara. "Tadi ada di ruangan Concept Art. Ini saya mau mengantar nasi uduk pesanannya."
"Boleh minta tolong nggak, Mas?" tanya Ayya setelah keduanya melewati pintu kaca yang bergeser secara otomatis. "Tolong sampaikan kalau saya nunggu di sini. Tadi saya telepon tapi ponselnya nggak aktif."
"Mbak Ayya nggak naik saja?"
"Saya nunggu di sini saja, deh," sahut Ayya, lalu mengucapkan terima kasih sebelum si office boy berlalu menuju lift.
Sepeninggal lelaki itu, Ayya beranjak menuju sofa di sudut ruangan. Setelah terlebih dulu membalas senyum ramah wanita cantik di meja resepsionis.
Tak seperti namanya, interior kantor ini lebih didominasi nuansa hitam-putih. Warna magenta hanya sebagai pemanis pada salah satu bagian dinding, beberapa bantal sofa dan taplak meja. Juga digunakan untuk kata 'magenta' pada papan nama perusahaan, yang terpajang pada dinding di belakang meja resepsionis.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIM DINGIN DI IZMIR
Teen FictionMusim Dingin di Izmir berkisah tentang perjalanan seorang gadis penghuni panti asuhan bernama Ayya Sophia mencari keberadaan ayahnya. Tak ada nama. Tak ada cerita. Namun, kerinduan yang tumbuh di hati gadis itu mengalahkan segalanya. Selembar fo...