Beriringan dengan para awardee dan penumpang lain, Ayya menyusuri aisle hingga menemukan kursi bernomor sama dengan yang tertera pada boarding pass. Gadis itu mendapatkan tempat duduk di dekat jendela. Kesebelas temannya menempati kursi di depan, belakang dan samping kanannya. Saling berdekatan.
Ayya mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi whatsapp. Tanda centang pada pesan yang dikirimnya untuk Reza, belum berubah warna. Tadi ketika berada di boarding room, dia sempat menelepon, tetapi nomor lelaki itu sedang sibuk. Sebentar lagi, pesawat segera tinggal landas. Sudah saatnya dia mematikan ponsel.
Wajah Ayya menegang saat mendengar pemberitahuan bahwa pesawat akan segera mengudara. Jantungnya seketika berdebar lebih kencang. Dengan gugup, gadis itu menyeka keringat yang bermunculan di dahi.
"Are you okay?" tanya Iren. Dia sebenarnya mendapatkan kursi di depan, tetapi meminta bertukar tempat dengan awardee lain yang duduk di samping Ayya. "Kamu takut ketinggian?"
"Nggak, sih." Ayya menggeleng. "Cuma gugup. Ini pengalaman pertamaku naik pesawat," jawabnya sambil tersipu.
"Nggak apa-apa. Aku juga gitu, kok, waktu pertama kali naik pesawat." Iren tersenyum. Ditepuknya tangan Ayya perlahan. "Tenanglah, ini akan jadi pengalaman pertama yang menyenangkan."
Ayya mengangguk. Kedua tangannya mencengkeram lengan kursi saat pesawat mulai bergerak meninggalkan landasan. Dalam ketakutan, dia bertakbir dan melantunkan doa dalam hati.
Berdoa membuat hatinya lebih tenang. Setelah beberapa menit mengudara, ketegangan yang menderanya berangsur mereda. Dia sudah lebih santai saat Iren mengajaknya berbincang.
Setelah menyantap hidangan makan malam, Iren tertidur. Sementara Ayya memilih menyalakan monitor di depannya. Pilihan view map pada menu my flight memunculkan peta dan nama-nama wilayah yang dilalui.
Ratusan kilometer telah terlewati. Separuh hati Ayya tertinggal. Ketika matanya menatap gelap malam melalui jendela, keping-keping kenangan berkelebat silih berganti. Indahnya masa kecil dengan ibunya, masa-masa kelam di rumah sang paman, suka dan duka berada di panti bersama Asih dan adik-adiknya, persahabatan dengan Sheila, serta berbagai momen bersama Reza.
Jarak yang membentang tentu akan menumbuhkan rindu. Jangankan pada mereka yang sudah mencipta banyak kenangan. Pada seseorang yang belum pernah dijumpai pun, rindu itu selalu ada. Belasan tahun rasa itu terpendam. Apakah kepergiannya kali ini mampu melunasi kerinduan itu? Hanya takdir yang bisa menjawab.
***
Menu early breakfast adalah hidangan Turki kedua yang Ayya nikmati setelah dinner. Roti, kentang, telur dadar dan tomat, salad, keju dan irisan mentimun, serta sütlaç.
"Kamu menyukainya?" tanya Iren setelah mencicipi makanannya.
"Hhhmm, lidahku masih butuh penyesuaian, sih." Ayya tersenyum. Dia diajarkan untuk tidak mencela makanan, meskipun rasanya tidak enak sekalipun. "Kita nikmati saja, biar terbiasa. Nanti di asrama, kita pasti makan seperti ini setiap hari."
"Iya juga, sih." Iren mengangguk. "Makanan kesukaanmu apa, Ay?"
"Aku penikmat apa saja, Ren, asal halal. Di panti, kami dibiasakan untuk selalu menikmati apa saja yang terhidang sebagai bentuk syukur." Ayya menjawab setelah menelan potongan kentang yang dikunyahnya. "Tapi aku paling senang kalau panti dikirimi daging aqiqah."
"Daging kambing?"
"Iya, aku suka semua jenis masakan daging kambing," balas Ayya. "Sate, soto, sop, ... apa saja yang berbahan daging kambing."
Iren meringis. "Iiih, kok kamu suka? Kan, bau."
"Bau? Nggak, ah. Kambingnya yang bau, kalau dagingnya enak." Ayya menggeleng. Dia tersenyum geli melihat ekspresi wajah Iren. "Lagipula daging kambing itu punya banyak keberkahan, lho."
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIM DINGIN DI IZMIR
Novela JuvenilMusim Dingin di Izmir berkisah tentang perjalanan seorang gadis penghuni panti asuhan bernama Ayya Sophia mencari keberadaan ayahnya. Tak ada nama. Tak ada cerita. Namun, kerinduan yang tumbuh di hati gadis itu mengalahkan segalanya. Selembar fo...