Part 13 : Kisah Kelabu Anak Berwajah Sendu

479 36 4
                                    

"Mert?" Ayya menatap anak itu. Wajah sendunya tampak sangat kontras dengan keceriaan teman-temannya yang sedang berlarian di halaman Karşiyaka Yetimhane.

Anak itu menoleh, sedikit terkejut dengan keberadaan Ayya.

"Kamu masih ingat padaku?" tanya Ayya seraya duduk di sampingnya. "Dua minggu lalu, kita bertemu di atas kapal."

Mert mengangguk. Raut wajahnya tampak sangat berbeda dengan waktu pertama

kali bertemu. Ia tampak sama sekali tidak berminat bergabung dengan teman-temannya.

"Ternyata kamu tinggal di sini," kata Ayya hati-hati.

"Mert baru tinggal satu minggu di sini," sahut salah seorang petugas panti yang sedang mengawasi anak-anak bermain.

Ayya mengangguk. Pantas saja pada kunjungan pertamanya dua minggu lalu, ia tak melihat keberadaan Mert.

"Mert, kamu suka menggambar nggak?" tanya Ayya. Sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tetapi khawatir membuat anak itu semakin sedih. "Tadi aku bawa perlengkapan untuk menggambar," lanjutnya saat Mert menoleh.

Mata kehijauan itu berpijar.

"Bagaimana Abla tahu kalau aku suka menggambar?" tanya Mert. Perlahan kemurungan di wajahnya memudar.

Ayya mengangkat bahu. "Sewaktu kecil, aku suka menulis. Salah seorang temanku suka menggambar," jawabnya. Ia teringat Reza kecil yang senang sekali menggambar. "Kupikir, kamu sama dengan temanku."

Mert tersenyum. "Yeah, aku sangat suka menggambar."

"Kalau mau, ambilah di dalam! Tanyakan pada Zeynep Abla, tadi dia yang menyimpannya," kata Ayya.

Anak itu tampak sangat senang. Setengah berlari, ia masuk ke panti. Pada kunjungan kali ini, Ayya hanya membawa perlengkapan menulis dan menggambar, tetapi benda tak seberapa itu ternyata mampu mengubah suasana hati seorang anak.

Setelah beberapa menit, Mert kembali dengan perlengkapan menggambar. Ayya membiarkan anak itu asyik dengan aktivitasnya sambil memperhatikan anak-anak lain bermain dengan riang dalam pengawasan petugas. Tempat ini sedikit mengobati kerinduannya pada panti.

Berbeda dengan panti yang ditinggalinya dulu, tempat ini jauh lebih besar. Selain direkturpanti, ada beberapa perempuan yang bertugas untuk mengurus keperluan para penghuninya. Mereka juga mengawasi saat anak-anak bermain. Seorang petugas berjaga di pos dekat gerbang. Ia memeriksa siapa pun yang datang berkunjung.

"Ibuku harus bekerja," cetus Mert di sela-sela aktivitasnya. "Dia nggak diperbolehkan

bawa anak-anak, jadi aku tinggal di sini."

"Dulu aku juga tinggal di tempat seperti ini," balas Ayya.

"Abla pernah tinggal di panti asuhan?" Mert menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap Ayya, kaget.

"Iya." Gadis itu mengangguk. "Tinggal di panti itu menyenangkan lho, Mert. Kita jadi punya banyak teman. Jadi kamu jangan sedih, ya!" pesannya sambil mengacak rambut

pirang anak itu.

Mert menjawab dengan anggukan. "Abla nggak ingin tanya tentang ayahku?" tanyanya kemudian. "Dia menghilang."

"Menghilang?" Alis Ayya mengernyit.

"Maksudku ... orangtuaku bertengkar, lalu ayahku pergi," papar Mert. "Ibu bilang ayahku bekerja di Konya."

"Mungkin ayahmu sibuk, jadi belum sempat pulang," hibur Ayya, mencoba membesarkan hatinya.

"Aku tahu ibuku berbohong, ayahku nggak kerja di Konya." Mert tersenyum kecut. "Aku pernah melihatnya dengan perempuan, menggendong bayi cantik. Ibu melihatnya, lalu menangis sepanjang waktu."

MUSIM DINGIN DI IZMIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang