17. Pisah

32.1K 1.5K 6
                                        

Gilang membuka matanya begitu terbangun dari tidur panjangnya. Selesai membersihkan diri semalam itu, Gilang langsung tidur. Ia pulang larut malam sehingga Nina sudah tidur lelap di kamarnya.

Alih-alih ingin melihat wajah cantik Nina saat tidur, Gilang justru tidak melihat keberadaan Nina di sampingnya. "Na? Nina?"

"Bung, lihat Nina?" tanya Gilang begitu mendapati Bunga tengah menonton televisi di ruang keluarga bersama Mia.

"Mbak Nina lagi berjemur di belakang."

Langkah kaki Gilang berhenti di pintu pembatas halaman. Nina ada di depan sana dengan wajah penuh keringat. Gilang tidak bisa mengelak jika ia benar-benar melihat istrinya begitu cantik pagi ini. Dengan balutan dress selutut dan wajah tanpa make up apapun tentu membuat Gilang semakin betah berlama-lama memandangi istrinya.

"Kamu udah bangun, Lang?" Gilang terhenyak begitu Nina menghampirinya. "Kamu lagi ngapain?"

"Berjemur. Mataharinya bagus jam segini," jawab Nina. "Mandi dulu gih. Aku udah masakin opor ayam kesukaan kamu, Lang."

Gilang mengangguk. Masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan segera makan sesuai dengan titah istrinya. Ia ingin sekali melarang wanita itu untuk tidak memasak dulu. Toh ada Bunga dan dirinya sendiri yang jelas bisa memasak meski hasilnya tidak pernah senikmat masakan Nina.

Selagi menunggu Gilang selesai mandi, Nina duduk di sofa di mana Bunga dan Mia tengah duduk manis di sana. Tidak jauh-jauh dengan makanan, Bunga selalu menyiapkan makanan ringan atau pun berat setiap ia menonton tv. Begitupun dengan Mia. Asik menonton kartun hingga tidak menyadari Nina datang.

"Bunga, Mia, makan gih. Opor ayam sama sayur bayamnya sudah matang," ujar Nina.

Bunga pun menoleh, dan mengangguk pelan. "Nanti, Mbak. Tungguin bang Gilang aja. Lagian Mia nanyain bang Gilang terus dari semalam."

"Apa? Mia nanyain Gilang?" Nina terkekeh pelan begitu Bunga mengangguk dan Mia terkekeh saat melihatnya. Nina sangat senang mengetahui fakta bahwa suaminya dan keponakannya sudah akur.

Baru saja Nina mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan di atas meja, dering handphone tiba-tiba saja berbunyi. Nina dan Bunga mencari-cari keberadaan handphone yang berbunyi. Oh, di sana ternyata. Nina menemukannya di atas nakas.

"Kamu angkat, Bung. Mbak nggak berani."

Bunga menggeleng dengan wajah cemberut. "Enggak ah. Aku nggak mau angkat telepon dari mas Irfan. Lagi marahan."

Hanya Irfan. Nina 'kan kenal Irfan, jadi mungkin tidak ada salahnya Nina mengangkatnya. Ia hanya perlu mengangkat dan mengatakan bahwa suaminya itu masih mandi.

"Ha..."

"Lo gimana sih, Lang. Cari mati lo ya pake taruh bukti-bukti penting kematian Amira di kantor. Kalau ada yang datang trus salahgunain gimana?"

"Mending lo balikin aja lah ke Nina. Biarin dia usaha. Nggak usah lu ikutcampurin."

Deg.
Pandangannya tiba-tiba saja buram. Tak lama air matanya pun menetes. Nina segera menghapusnya sebelum Bunga atau Mia melihat. Kemudian memutuskan sambung teleponnya dengan Irfan tanpa bicara apa-apa.

"Mas Irfan nanyain aku nggak, Mbak?" tanya Bunga dari sofa.

"Nggak, Bung."

Nina meletakkan kembali handphone milik suaminya dan pergi ke kamarnya. Tangannya langsung mengobrak-abrik lemarinya. Mencari-cari bukti-bukti yang diberikan oleh Fahmi dulu. Tangannya sampai gemetar saat ia tak juga menemukan barang-barangnya.

Untouchable ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang