18. Rasa Kehilangan yang Semakin Nyata

29.3K 1.3K 10
                                    

Selama hampir dua minggu setelah Nina pergi, Raja dan Gita bertamu ke rumahnya. Wajah keduanya tampak tidak bersahabat. Terlebih Raja, wajahnya sama persis seperti saat ia datang ke rumah sakit delapan bulan yang lalu.

Bunga yang membukakan pintu tadi. Baik Raja maupun Gita masih bersikap ramah pada Bunga, terlebih saat Mia menghampiri kedua orang tuanya. Namun, saat bertemu dengan Gilang semua pandangan menatapnya dengan tatapan berbeda.

Berbeda dengan tatapan tidak menyenangkan dari Raja dan Gista. Bunga justru terlihat mengasihaninya, seakan tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Berbeda lagi dengan Mia, anak itu malah tersenyum lebar ke arahnya.

Kini mereka semua duduk melingkar di ruang keluarga. Hanya saja Raja langsung meminta tolong pada Bunga supaya menemani Mia bermain.
Tinggal lah Raja, Gita, dan Gilang. Sebagai lelaki, Gilang sudah harus siap menghadapi Raja. Karena ini murni salahnya, dan ia ingin meluruskan persoalan ini agar Nina kembali secepatnya.

"Di mana Nina?" tanya Gita. Ah, Gilang bahkan tidak menyangka Gita yang akan memulai perbincangan sengit ini.

"Nina pergi sejak dua minggu yang lalu," terang Gilang.

Raja menarik napas dalam, "apa masalahmu pada Nina?"

Saat itu juga, Gita menggeleng pelan sambil menatap Raja. "Kamu sudah tahu jawabannya, Mas," katanya.

"Ya. Kamu yang menjelaskan, bukan Gilang."

Gita sedikit merinding mendengar nada dingin suaminya. Namun, ia yakin jika suaminya hanyalah ingin bersikap tegas pada adik iparnya.
Sementara itu, Gilang mengambil napas sebelum mulai menjelaskan.

"Aku terus meragukan Nina, tadinya. Di mataku Nina selalu salah karena aku kira dia pembunuh Amira. Tapi, aku menemukan bukti-bukti kematian Amira yang baru. Nina tidak salah, sama sekali tidak salah. Aku yang salah."

Mata Raja seketika memanas, "sialan. Bersama adikku selama itu, kamu masih bisa meragukan dia?! Di mana otakmu, Gilang!" cerca Raja.

"Mas..." panggil Gita lirih sembari mengusap bahu Raja.

"Aku masih nggak nyangka, Ta. Kenapa Nina harus menikah dengan dia."

Gilang yang mendengarnya merasa tertohok. Perkataan Raja sama saja menyadarkannya bahwa ia memang tidak pantas bersanding dengan Nina. "Ini kali kedua kamu menyakiti Nina. Kalau Nina tidak juga kembali, aku pastikan hidup kamu tidak akan tenang, Gilang."

Gilang tidak terbawa emosi. Lagipula, apa ia punya hak untuk emosi dalam kondisi seperti ini? Jangankan untuk emosi, Gilang justru ingin menghilang saja beberapa saat supaya Nina mau kembali bersama orang-orang terdekatnya.

"Dan jika kamu ingin tahu, cinta adikku itu sangat besar kepadamu. Sayang sekali kamu memperlakukannya seperti ini."

***

Pagi ini, sebelum berangkat kantor, Irfan lebih dulu mengunjungi Nina di rumahnya. Setiap hari ia dihantui rasa bersalah. Terlebih ketika Gilang seolah-olah datang ke kantor tanpa nyawa. Irfan mengerti posisinya kini juga salah. Ia mengkhianati Gilang, sahabatnya. Namun, ia merasa kasihan pula mengetahui perasaan Nina yang sesungguhnya.

Irfan memarkirkan motornya di halaman kecil rumah Nina. Meski kontrakkan wanita itu tidak dapat dibilang besar, tapi setidaknya rumah kecil itu punya halaman.
Tidak ada tanda-tanda orang di rumah ini memang. Namun, ia mencium harumnya sup ayam dari saat ia menginjakkan kakinya ke pintu rumah Nina. Mengira Nina tengah memasak, maka Irfan memutari rumah karena ada pintu samping yang langsung menembus ke dapur.

Untouchable ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang