15. Mulai Terbaca

24.4K 1.3K 2
                                    

Bunga, Irfan, dan Gilang kini duduk di sofa ruang keluarga. Nina meminta izin untuk pergi membersihkan diri sebelumnya.
Bunga banyak bercerita tentang bagaimana bisa mendaftar beasiswa tanpa sepengetahuan Gilang. Sebelumnya, Bunga hanya mengatakan akan mendaftar sekolah kedinasan, jika tidak bisa maka ia akan mendaftar di kampus Gilang dulu, tapi di jurusan kedokteran. Gilang sendiri merasa lucu mendengar adiknya yang takut pada darah lantas memilih sekolah kedokteran. Dan, kini Bunga mengatakan bahwa dia telah diterima beasiswa kuliah kedokteran di Jepang.

Gilang melirik Irfan. Sejak tadi ia hanya diam. Bicara jika dia ditanya, sama halnya dengan Bunga. Tidak biasanya, pikir Gilang. Jika dua orang di depannya ini dipertemukan, yang biasanya terjadi adalah pertengkaran. Entah itu dimulai dari keisengan Bunga dengan maksud modus di dalamnya, atau Irfan yang jika melihat hal-hal yang tidak ia suka pada Bunga maka ia akan menceramahinya habis-habisan.

"Bunga," panggil Gilang. Seketika dua orang di hadapannya menoleh bersamaan.

Gilang membatin, ada sesuatu yang tidak beres pada Bunga juga Irfan kini. "Emangnya kamu yakin abang izinin kamu kuliah di luar?"

"Bang! Kok ngomongnya gitu sih?" Bunga panik seketika. Usahanya sudah begitu keras beberapa bulan terakhir, dan jika semuanya dibatalkan hanya karena izin Gilang, Bunga tidak akan pernah mau mendengarkannya.

"Abang aja nggak tahu kamu daftar beasiswa di sana. Kamu anggap abang apa? Emangnya kamu lagi hidup sendiri sekarang?"

Bunga memutar matanya kesal, "ya emang ada abang. Tapi rasanya kayak sendirian!"

"Kamu 'kan bisa bilang sama Nina."

Sebuah piring dengan ukuran cukup besar baru saja diletakkan Nina di atas meja. Gilang yang menyadari hal itu pun tidak segan-segan untuk langsung menarik tangan istrinya. Hingga Nina terduduk di sofa tepat di samping Gilang duduk.
Nina menyajikan tahu isi yang kelihatannya baru selesai ia goreng tanpa Gilang tahu. "Kenapa, Lang?" tanya Nina, seperti tidak tahu di mana letak kesalahannya.

"Kamu lagi, bukannya istirahat malah masak. Sama aja kayak Bunga, susah kalau dibilangin."

Irfan menyaksikan sahabatnya yang berbeda hari ini. Ia menilai Gilang jauh lebih bawel terhadap Nina dan Bunga. Tak hanya Irfan rupanya, Bunga pun ikut menatap kakak laki-lakinya itu dengan heran. "Kalau marah sama aku, nggak usah marahin mbak Nina juga kali, Bang," ucap Bunga. Tak tega melihat wajah polos Nina.

"Abang cuma mengingatkan. Dia saja yang susah, harusnya tadi itu kutinggal saja di rumah sakit."

Nina terlihat kecewa mendengar pernyataan suaminya barusan. Lalu tanpa aba-aba, Nina bangkit berdiri dan berjalan pergi ke kamarnya. Membuat Gilang harus merasa bersalah entah untuk yang ke berapa kalinya sekarang.

"Kasar banget sih lagian," cerca Bunga, melirik kesal Gilang.

"Abang belum selesai ya. Awas kamu kalau pergi!" Gilang lalu menatap Irfan, yang setelahnya dijawab anggukkan kepalanya. Sudah mengerti perintah Gilang untuk menjaga Bunga agar tidak pergi kemana-mana.

Sementara itu, Bunga mengambil tahu yang tadi dibuat Nina. Hingga Irfan berdeham, "emangnya kamu udah cuci tangan?" Irfannya memang perhatian, layaknya ayah Bunga.

***

Gilang bersyukur pintu kamar tidak dikunci oleh Nina. Jadi ia bisa langsung masuk dan melangkah pelan menuju tempat tidur. Gilang pun duduk di samping Nina, yang saat itu juga langsung menghapus air matanya dengan telapak tangannya.

Gilang lantas memeluk Nina, "maafin aku, ya?" Hingga Nina menangis lebih kencang di dada bidangnya.

"Kamu harusnya bilang kalau nggak ikhlas mengantar aku pulang."

Untouchable ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang