Satu bulan terakhir ini Nina terpaksa punya banyak jam lembur sebab tidak enak hati menolak permintaan Pak Revan, Kepala Editornya. Ruang redaksi kelihatan lebih sibuk dari biasanya, karena beberapa staf mengambil cuti bersamaan dengan alasan yang sama gentingnya. Jadi, tersisa orang-orang berwajah suram di ruangan ini yang bisa menjadi bala bantuan Pak Revan serta mengambil alih pekerjaan mereka yang sedang cuti.
Nina setidaknya masih cukup beruntung tidak mengambil kanal olahraga begitu melihat Fahmi kewalahan mengatur jam tidurnya. Laki-laki itu juga merangkul beberapa mahasiswa yang sedang magang. Sayangnya, mereka semua tidak begitu bisa membantu. Melihat mereka duduk diam saja Fahmi sudah merasa lega, dibanding melihat mereka histeris menyemangati atlet-atlet di lapangan.
Selain Fahmi, ada Mentari yang tampak santai mengetikkan sesuatu di komputernya. Senandungnya terkadang membuat Fahmi jengkel dan iri. Meski saling mengejek soal pekerjaan, mereka berdua bagai pinang dibelah dua di luar kantor. Mereka bersahabat dengan Nina sejak lama. Ketika jam makan siang tiba, mereka pun akan pergi ke kantin bersama.
"Nah, ambil ini." Pak Revan datang membawa es kopi, kemudian duduk di tengah-tengah mereka.
Fahmi yang hendak meraih salah satunya mendapat tatapan tajam Nina dan Mentari. Mungkin Fahmi lupa jika terakhir kali menerima traktiran Pak Revan, mereka ditugaskan menyambut kedatangan klien yang keras kepala. Yah, selebihnya dengan sifat tak mengenakan lainnya.
"Ini untuk kalian yang sudah banyak lembur akhir-akhir ini," ujar Pak Revan meluruskan pikiran buruk mereka.
"Makasih, Pak."
Suara mereka melantang bersama, masing-masing meraih satu gelas kopi. "Hari ini kalian bebas lembur. Istirahat dan pulihkan energi kalian untuk proyek kita bulan depan."
"Pak Revan yakin mengajak anak magang berpartisipasi?" Mentari mengalihkan pandangannya ke meja tempat anak-anak magang berkumpul untuk makan siang.
"Kamu lihat anak kembar itu?" Pak Revan memengaruhi Nina, Mentari, dan Fahmi hingga menoleh bersamaan. Hal itu membuat para anak magang mengangguk sungkan.
Kedua tangan Pak Revan mengusap wajahnya kasar, "berapa kali saya bilang jangan nengok barengan?" Mereka hanya terkekeh kompak.
"Mereka itu sepupunya Amira," Pak Revan melirihkan suaranya, "kalian bersikap biasa saja, toh wanita itu belum sah jadi istri Pak Gilang."
Entah bagaimana bisa kantin yang tadinya ramai cekikikan menjadi hening, seolah suasananya mendukung sekali agar Nina lebih serius mendengarkan segala hal tentang Amira, tunangan Gilang yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan.
Fahmi dan Mentari menatap iba Nina yang duduk di depan mereka. Pak Revan berdeham seolah mengerti keadaan. "Kamu nggak papa?" tanyanya.
Nina mengangguk-anggukkan kepalanya, "aku akan memesan kopi ini lagi untuk nanti." Ia segera bangkit dari kursi dan beranjak pergi memesan kopi yang sama. Fahmi dan Mentari melempar tatapan kesal pada Pak Revan yang kini mengejar Nina.
"Keterlaluan banget Pak Revan. Emangnya sakit hati bisa sembuh cuma pake kopi," Mentari mulai menggerutu.
"'Kan bisa gitu sambil beliin makan siang," tambahnya. Fahmi menghela nafas beberapa kali, mencubit kedua pipi Mentari hingga mulutnya tidak bisa menggerutu lagi.
•●•
Satu lagi beban terangkat. Nina menyelesaikan pekerjaannya sebelum jam pulang. Ia berjalan menuju meja Fahmi dan Mentari yang bersebelahan, wajah mereka semakin kusut.
"Kalau kamu nganggur, tolong bantu saya merealease berita acara ini." Pak Revan datang saat Nina baru saja ingin menyombongkan diri pada Fahmi dan Mentari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouchable Man
DragosteNina tidak pernah sedikit pun berpikir bahwa Gilang, laki-laki yang sudah sejak lama dia cintai akan membencinya separah ini. Meski statusnya sudah berubah menjadi seorang istri laki-laki itu, tetap saja, Gilang tidak bisa membuka hatinya untuk Nina...