14. Cemburu

26.5K 1.3K 8
                                    

Gilang tidak menutup pintu ruangan Nina dengan rapat, sedangkan suara Mentari begitu terdengar jelas. Gilang sengaja duduk di bangku tunggu yang ada persis di samping pintu. Niat hati ingin mendengar suara Nina yang sudah lama tidak ia dengar, suara Mentari justru lebih membuatnya hilang fokus. Apalagi jika bukan dari apa yang sejak tadi ia ucapkan, bahkan beberapa kali Gilang dengar Mentari menyebut namanya dengan nada tak suka.

Tidak ada yang ia khawatirkan dari hal itu. Namun, tiba-tiba saja ada keinginan dari dalam dirinya untuk mengintip. Dari sela pintu, Gilang tertegun melihat apa yang tengah dilakukan Fahmi barusan. Mata Gilang seketika panas melihatnya. Tidak sampai saat di mana Fahmi menyuapi sebuah apel pada Nina, tapi juga saat Nina meresponsnya dengan begitu baik.

Tidak ada cemburu dalam kamus Gilang. Biasanya Gilang percaya seutuhnya pada kekasihnya, tapi beda hal dengan Nina. Bukan karena sampai sekarang ia menyangkut pautkan masalah Nina terkait kematian Amira, tapi lebih kepada rasa takut. Takut jika wanita itu malah menganggap lelaki lain lebih baik darinya.

Sebagai suami, Gilang tentu saja cemburu. Menyesal karena ikut membawa Fahmi menemui Nina.
Lama sekali menunggu, akhirnya Fahmi dan Mentari keluar. Fahmi mengangguk sopan dan pamit pulang, sementara Gilang membalas senyum dengan hati tak ikhlas.
Mentari berdiri tak jauh dari Fahmi, memandang Gilang acuh seperti tidak sudi berdekatan dengannya. Tapi Gilang tetap tersenyum, karena tanpa ada Mentari, mana mungkin Nina bisa tersenyum apalagi tertawa saat sedang sakit seperti sekarang.

Mata sinis Mentari menatap Gilang, "Bapak itu becus apa enggak sih jadi suaminya sahabat saya?"

Fahmi yang terkejut akan ucapan sahabatnya pun mendekat, menyembunyikan tubuh kecil Mentari ke belakang tubuh Fahmi yang tinggi. "Kami pulang dulu, Pak. Tolong jaga Nina dengan baik," ucap Fahmi. Berlalu pergi setelah akhirnya Gilang mengangguk.

Hati Nina cemas begitu Fahmi dan Mentari pulang. Sebelumnya, Nina mencegah keduanya untuk pergi karena tidak ingin kesepian. Tapi karena Fahmi ada janji dan Mentari pun harus segera kembali ke kantor, dengan berat hati Nina mengikhlaskan mereka pergi. Tidak sampai di situ saja kecemasan yang Nina rasakan, karena kini masih ada Gilang yang akan membuat mulutnya terkunci rapat. Memang semua itu keinginan Nina, tapi tetap saja ia ingin menyalahkan suaminya.

Seperti yang Gilang lakukan sejak kemarin, ia akan duduk di samping tempat tidurnya. Sekadar duduk, memperhatikan Nina terus menerus, atau mengajak Nina bicara meski tidak ada jawaban apapun dari Nina ketika Gilang bertanya.
Nina tidak bisa dikatakan marah, tapi ia kecewa. Bukan pada Gilang, melainkan pada dirinya sendiri. Nina menyesal tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk tidak lagi jatuh cinta pada suaminya sendiri.

Kedatangan Gilang beberapa menit lalu membuat Nina bertanya-tanya dalam hati. Pria itu hanya duduk diam dengan melipat kedua tangannya. Beberapa kali Nina melirik ke arahnya, rahangnya terlihat mengeras dan karena hal itu lah Gilang tampak seperti sebelum menikah. Gilangnya terlihat cuek kembali.

Nina yang tidak berani berbuat apa-apa hanya bisa ikut diam.
Namun tak berselang lama, Gilang memajukan tubuhnya ke arah Nina secara tiba-tiba. Menarik punggung tangan Nina yang kemudian diciumnya lama. Bibir hangat Gilang membuat hatinya bergetar saat itu juga. Setelah menciumnya lama, Gilang tersenyum getir sembari mengarahkan tangan Nina ke rahang tegasnya.

Dulu sekali, Nina berharap bisa menelungkup wajah Gilang ketika pria itu sedang marah. Mengusap lembut rahangnya yang tegas supaya tidak lagi terlihat menakutkan.
Kini, begitu semuanya telah terwujud, Nina hanya bisa menahan diri. Tidak ingin menyerahkan hatinya lagi kepada Gilang hanya karena getaran aneh di hatinya.

"Kira-kira kalau bayinya lahir, apa jenis kelaminnya?" tanya Gilang.

Senyumnya membuat hati Nina tenang. Jika Nina boleh jujur, ia akan menobatkan senyum Gilang sebagai senyum termanis sedunia.
Tidak mendengar Nina menjawab, Gilang tersenyum beda arti. Lalu wajahnya tiba-tiba saja berubah ekspresi. "Aku mau yang satu laki-laki dan satu perempuan," sahut Gilang dengan menirukan suara Nina.

Untouchable ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang