Nina melihat ke arah jam, sedikit panik begitu melihat jarum jam menunjuk angka sembilan. Pantas sejak tadi Gilang sudah cerewet memanggilnya dari depan. Nina tahu Gilang akan terlambat, maka sejak tadi ia menyuruhnya untuk berangkat lebih dulu. Tapi bukan Gilang namanya jika mau diperintah begitu saja. Hingga kini Gilang tetap menunggu di luar, bahkan panggilan demi panggilannya masih terdengar jelas.
Lima belas menit kemudian, Nina keluar dari dalam kamar. Sementara Gilang sudah menunggu di dalam mobil. Klakson mobil yang lagi-lagi disebabkan oleh ketidaksabaran suaminya itu lah yang membuat Nina panik setengah mati, mengambil flatshoesnya yang sudah sempit dengan gerakan secepat kilat versi wanita, lalu berjalan cepat menuju halaman.
Gilang yang melihat istrinya itu berjalan dengan terburu-buru mulai merasa geram. Ia pun bergegas keluar dari dalam mobil, menggiring Nina masuk setelahnya.
"Perut udah gede banget gini masih belum sadar juga kamu lagi hamil?" sindir Gilang begitu Nina telah duduk di sampingnya.
Wanita itu terlihat terengah-engah meski baru berjalan dari dalam rumah. "Kamunya klakson mobil terus. Aku 'kan jadi panik," ungkap Nina jujur. Ia memang panikan dan Gilang pasti baru menyadarinya sekarang.
"Oh. Kamunya sih lama. Hampir satu jam aku nunggunya," ucap Gilang sembari menjalankan mobilnya keluar komplek.
Setengah perjalanan menuju kantor, Gilang dibuat resah oleh gerakan-gerakan Nina di tempatnya. Membuat dirinya menoleh dan memperhatikan baik-baik keadaan istrinya. "Kamu kenapa, Na?"
Nina tampak terkejut mendengar suara Gilang. Ia merapatkan blazernya yang sudah kesempitan. Meski semua orang tahu ia tengah hamil besar, tetap saja Nina tidak percaya diri di depan Gilang.
"Baju sama sepatu aku udah kekecilan, Lang. Nggak nyaman aja pakai yang ketat-ketat," ungkap Nina.
Gilang menganggukkan kepala, "iya emang. Udah kayak lemper badan kamu."
"Gilang!!"
Usia kandungan Nina memang sudah berjalan tujuh bulan. Wajar saja jika semua pakaian yang ia miliki sudah kekecilan semua. Bukannya Nina tidak ingin beli baju, tapi ia tidak akan membelinya jika barang sebelumnya masih ada alias masih pantas untuk dipakai dan dilihat orang. Tidak seperti pria kebanyakan, yang akan mencari solusi untuk istrinya bila ada dalam kesulitan atau menghiburnya meski hanya dalam ungkapan kata-kata. Gilang berbeda, pria yang sejak dulu Nina kenal sebagai pria terdingin sedunia sudah berubah menjadi pria paling menyebalkan yang kerjanya hanya mengejeknya sepanjang hari.
Benar kata Gita dulu, pasangan akan berubah setelah menikah. Buruk bagusnya suami maupun istri tidak bisa lagi ditutup-tutupi."Lagian sih, disuruh cuti aja susah." Gilang memang masih kesal pada Nina karena susah sekali jika disuruh cuti kerja.
Yang Gilang tahu saja, Nina sudah sempoyongan jika berjalan dari ruangannya menuju ruangan Revan."Minggu depan juga aku udah ambil cuti kok."
Nina kembali menoleh dan bicara, "kamu tahu nggak, Lang?"
"Ya nggak lah. Kamu aja belum kasih tau aku," sahut Gilang, membuat raut wajah Nina berubah kecewa. "Aku belum selesai ngomong, Gilang."
Gilang hanya mengangguk beberapa kali lalu mendekatkan telinganya seolah-olah meski matanya fokus pada jalanan, Gilang akan tetap mendengarnya. "Aku udah beli tiket kereta ke Bandung," ucap wanita itu dengan senyum penuh di wajahnya.
Beda halnya dengan Gilang. Ia bahkan langsung menghentikan mobilnya di pinggir jalan. "Maksudnya apa? Kamu mau ke Bandung ke rumah siapa? Sama siapa? Kenapa harus naik kereta?" tanyanya beruntun. Nina yang baru mengambil napas jadi menggeleng heran, "aku mau ke tempat mertuaku. Kamu bilang rumah papa kamu itu enak banget. Jadi cuti pertamaku nanti akan dipakai untuk liburan di sana sama kamu. Boleh 'kan, Lang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouchable Man
RomanceNina tidak pernah sedikit pun berpikir bahwa Gilang, laki-laki yang sudah sejak lama dia cintai akan membencinya separah ini. Meski statusnya sudah berubah menjadi seorang istri laki-laki itu, tetap saja, Gilang tidak bisa membuka hatinya untuk Nina...