27. Menikahi Siapa?!

32.2K 1.3K 27
                                    

Hujan terus mengguyur Pulau Dewata. Sudah satu bulan lamanya musim hujan datang, dan hampir setiap malam angin kencang menerpa. Setiap orang akan ragu untuk pergi ke luar rumah. Tak terkecuali dengan seorang pria yang tidak kunjung keluar dari persembunyiannya.

Tidak ada penerangan apapun, bahkan ketika hujan dan waktu berganti malam. Para tetangga mengira bahwa pemiliknya telah lama pergi dan belum kembali. Nyatanya, seorang pria kini tengah menggigil kedinginan dan kepanasan dalam waktu bersamaan di sudut tempat tidurnya. Matanya begitu berat sepanjang malam. Ia melihat beberapa botol berhamburan di lantai, sementara ia sangat menyayangkan isi dari botol tersebut yang berhamburan.

Mendapatkan barang haram satu itu tidak mudah baginya, hingga ia memungut satu per satu butiran-butiran bening yang tampak seperti garam mandi tersebut. Flakka telah menemaninya sepanjang malam.
Awalnya ia tertawa lirih, berpikir bahwa tidak akan ada seorang atau siapa pun itu dapat mengambil semua yang menjadi miliknya kini. Tapi, ingatannya berganti. Ia menangis lirih, mengingat masa-masa buruknya.

"Amira..."

"Amira..."

"Kapan kamu bisa ke sini lagi? Kamu tidak merindukanku?"

Panggilan demi panggilan yang menyayat hati, bila saja orang-orang menyadari suaranya. Sayangnya, suaranya masih tenggelam dalam petir yang bersaut-sautan. Ia tidak pernah sehancur ini. Setidaknya sebelum ia sadar kehilangan seseorang yang dicintanya.

"Anak itu harus meminta maaf dulu! Kenapa kamu langsung pergi saja?"

"Dasar bodoh! Gadis bodoh! Apa dia pantas melihat keputus asaanmu, Amira..."

Pria itu memukuli dadanya sendiri. Setiap kali menyebut nama Amira, dadanya akan sakit. Terlebih saat ia mengingat jabang bayi yang terakhir kali dilihatnya di dalam USG. Sosok bayi yang baru tinggal satu bulan di dalam rahim ibunya itu terpaksa harus pergi.

Ibunya tidak menginginkannya hadir di dunia.
Menyadari bahwa di dalam rahimnya lah ia tinggal, ibunya merasa jijik.
Ditambah dengan melihat atau bahkan hanya dengan mendengar nama ayah bayinya, ibunya merasa ingin mati saja.

Pada suatu malam, keinginan sang ibu terwujud. Ia pergi tanpa sempat mengucap selamat tinggal atau sekadar ucapan pamit pada lelaki yang menunggunya selama lebih dari lima tahun lamanya. Brian, pria itu, sangat terpukul atas kematian Amira.

Karena ia bukan hanya kehilangan seorang adik yang selalu ada di sisinya, tapi juga seorang wanita yang dicintanya dan calon bayinya.
Mengingat kesalahannya saat itu, Brian meremas rambutnya penuh kesal. Tidak seharusnya saat itu ia menolong Nina.

Karena terlanjur menyelamatkannya, Brian hilang akal. Menganggap bahwa anak yang ada di dalam rahim Nina saat itu adalah reinkarnasi dari anaknya. Maka ia akan terus berusaha mengambilnya dari Nina dan Gilang.

***

Sejak ungkapan cinta Gilang beberapa waktu lalu, hubungan Nina dengannya semakin membaik. Gilang juga sedikit lebih terbuka padanya. Bahkan saat kini Gilang mengunjungi makam Amira. Tentu saja, Nina tidak punya alasan untuk menahannya. Gilang sendiri mengatakan tujuannya bukan sekadar untuk berdoa di sana, tapi juga mencari keberadaan Brian. Karena setiap akhir bulan, keluarga Amira akan berkumpul untuk memberi doa di makam.

Sore ini hujan mengguyur Jakarta. Nina kedatangan Irfan sebelum hujan turun sederas sekarang.
Jadilah sekarang Irfan mengenakan pakaian Gilang. Ia tengah mengeringkan rambutnya yang sudah setengah basah di dapur. Dapat Nina lihat dari ruang keluarga di mana kini ia tengah menidurkan Ara, Jendra, dan Rama.

"Jangan bilang-bilang Gilang kalau aku ke rumah," kata Irfan begitu kembali ke hadapannya.

Nina mengerutkan dahi. "Kenapa, Mas?"

Untouchable ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang