03. Salah Sangka

36.2K 1.8K 18
                                    

Menjelang sehari sebelum pernikahan Gilang dan Amira, suasana kantor sedikitnya telah berubah. Di kantin, para wanita saling bertukar cerita. Banyak yang tidak rela jika Gilang akhirnya benar-benar akan menikah. Sementara, tak sedikit pula yang tidak suka karena calon pengantinnya Amira. Dari mereka, Nina jadi lebih tahu persiapan pernikahan laki-laki yang hingga saat ini masih ingin ia miliki.

Meski hatinya sakit, Nina tetap tidak bisa melewatkan semua itu begitu saja. Nina bahkan masih berharap pernikahan mereka batal. Tetapi, tidak mungkin bukan?

Juga, Nina berniat tidak datang besok. Buat apa, semua itu hanya akan menambah luka hatinya saja. Saat Pak Revan menunjuk Mentari untuk lembur hari ini, Nina dengan senang hati merebut tawaran itu.

Meski tidak ada satu orang pun yang bekerja bersamanya, Nina tidak merasa takut. Ia lebih takut menghadapi hari esok. Ditambah siang tadi, meski dengan perasaan tidak enak, Pak Revan tetap meminta dirinya untuk siap siaga menyunting video pernikahan Gilang dan Amira. Nina benar-benar gila membayangkan semua hal tentang esok.

Setelah menelepon Gita meminta izin menginap, Nina merasa lega karena wanita itu tidak pernah gagal memahami perasaannya. Gita memang mengetahui perasaan tersimpannya untuk Gilang, pun dengan patah hatinya setelah tahu Gilang akan menikah. Dia berjanji tidak akan memberi tahu suaminya kalau Nina ambil lembur lagi.

Setelah memindahkan semua draft tugasnya, Nina memaksakan kakinya melangkah menuju dapur ruangan. Menyeduh secangkir kopi yang mungkin akan menemani kesedihannya. Sudah beberapa kali Nina menyeka air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Semakin malam, Nina merasa dirinya makin menyedihkan. Dia seperti sedang menghitung mundur pernikahan Gilang dan Amira.

Hingga derap langkah sepatu dari lorong depan sukses membuat Nina terperanjat. Ia meninggalkan kopinya yang hampir siap, lalu mengintip siapa yang lewat. Nina membatin, tidakkah dia salah melihat Amira berjalan gontai ke arah lift malam-malam begini?

Penasaran, Nina segera mencari alas kaki yang dia tinggalkan di bawah meja, lalu diam-diam mengikuti Amira. Jika wanita itu mau menemui Gilang, lantas mengapa dia berhenti di lantai lima belas? Hanya ada gudang utama dan rooftop di lantai itu. Sementara, ruang Direktur ada di lantai sepuluh.

Kedua mata Nina seketika menyipit. Terpaan angin yang cukup kencang malam ini menandakan bahwa akan turun hujan sebentar lagi, seperti yang sudah diramalkan sore tadi di televisi. Dan, begitu penglihatannya cukup jelas, Nina mendapati Amira sudah berdiri di ujung rooftop. Angin kencang yang sempat membuat bulu kuduk Nina berdiri tidak memengaruhi Amira sama sekali. Nina segera berlari menghampiri wanita itu.

"Mbak Amira, turun, Mbak. Bahaya." Kedua tangannya terulur menawarkan bantuan.

Amira tak acuh, sorot matanya kosong. Khawatir setelah ini Amira nekad menjatuhkan dirinya, Nina terus mengamati sekeliling. Tidak ada siapa pun kecuali mereka berdua.

"Mbak sedang ada masalah?" Mendengar apa yang baru saja Nina tanyakan, Amira kelihatannya tersinggung. Wanita itu tersenyum setengah hati.

"Percuma kamu ke sini," gumam Amira, mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Mbak bisa berbagi sama saya masalah yang sedang Mbak hadapi. Lebih baik Mbak turun, lalu kita cari jalan keluarnya bersama."

Sekalipun Nina cukup ragu oleh ucapannya, ia berharap Amira luluh.

Sekali lagi, Nina mencoba menyakinkan Amira. "Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk membantu Mbak Amira."

Tampaknya tekad Amira sudah bulat. Wanita itu menghela napas panjang. "Kamu tenang saja, Nin, pernikahan itu nggak akan terjadi."

Untouchable ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang