Nadine, gadis itu sedang terbaring lemah di sebuah ranjang khas rumah sakit dengan beberapa selang berada di tubuhnya. Ia nampak sesekali meringis menahan sakit saat selang infus yang mengalirkan darah tidak sengaja tersenggol.
Nadine menatap tangan kirinya yang tidak ada infusnya di genggaman oleh Rio kakaknya, lalu beralih menatap wajah sang kakak yang juga kini sedang menatapnya.
"Kak apa nanti selamanya aku akan kaya gini terus? Atau mungkin nanti aku bakalan pergi." Ucapnya dengan suara lemah.
"Hus kamu ngomong apa sih dek. Kakak yakin kok nanti kamu bakalan sembuh."
Nadine menghembuskan nafasnya, selalu saja jawaban itu yang ia dengar. "Nantinya sampai kapan kak. Aku udah capek kaya gini terus."
Rio semakin menggenggam erat jemari adiknya. "Kamu nggak boleh nyerah gitu aja sayang. Kakak yakin nanti suatu hari bakalan ada donor yang cocok buat kamu, jadi kamu sabar ya."
Sabar? Berapa lama lagi ia harus bersabar.
Nadine menutup matanya memikirkan dirinya yang setiap bulannya Harus terbaring lemah di sini setiap bulannya, karena ia harus melakukan cuci darah.
Tetesan bening tanpa di sadari mengalir dari ujung matanya hingga pipi mulusnya.
Rio yang melihatnya langsung saja mencium punggung tangan Nadine yang telah di genggamannya, ia juga tidak tega melihat adiknya seperti ini.
Sudah lima tahun adiknya selalu menahan sakit, dan harus menjalani berbagai perawatan untuk penyembuhan setiap bulannya.
"Dek, kamu harus kuat, kamu nggak boleh nyerah." Ucap Rio dengan suara seraknya, air mata juga keluar dari ujung matanya. "Kamu nggak maukan ngecewain Mama. Mama bakalan sedih kalo liat kamu kaya gini, El."
Nadine tidak menjawab perkataan kakaknya itu, hanya saja suara tangisnya yang semakin pilu saat mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Rio.
Apa yang di katakan kakaknya benar, ia tidak menyerah. Ia harus bertahan demi orang-orang yang berada di sekitarnya, terutama sang mama yang sudah bekerja mati-matian untuk menghidupinya dan menyembuhkan penyakitnya.
* * * * *
Setelah pulang sekolah Yoga sengaja berada di rumah karena perintah adiknya, ia sedang duduk di sofa panjang ruang keluarga dengan memainkan sebuah game di ponselnya, di sebelahnya ada keyra yang sedang nonton drama Korea kesukaannya di laptopnya, sambil sesekali berdecak atau menggerutu sendiri.
Namun tiba-tiba seseorang duduk di bagian kosong di sebelah kanan keyra. "Keyra kalo kamu liat drama di laptop harusnya tv nya di matiin dong, kebiasaan banget."
"Bukan key ma yang nyalain tv tapi bang yoga." Ucap Keyra tanpa memalingkan tatapnya.
Yoga yang namanya di panggil pun tidak menanggapi sama sekali fokusnya masih pada game di ponselnya.
"Tumben Abang ada di rumah. Kalo kaya gini kan mama seneng liatnya." Indi menatap yoga dengan senyuman manisnya.
Memang dasarnya Yoga, ia tetap diam saja tidak menjawab ataupun melirik mamanya barang sedikitpun.
Yoga berdecak pelan saat game yang di mainkannya kalah. Kemudian ia bangkit lalu berjalan menuju tangga, tanpa pamit ataupun berbicara.
Indi yang melihatnya tentu saja sedih. Dari gerak geriknya saja, ia tau jika yoga tidak ingin memulai obrolan dengannya dan ia memilih pergi untuk menghindarinya.
Tanpa bisa dicegah air mata pun mulai menetes melalui sudut mata Indi, ia terisak menangisi sikap anaknya yang seolah menolaknya.
Keyra yang berada di dekatnya mendengar Isak tangis mamanya pun mengalihkan pandangannya. "Mama kenapa nangis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lovely Girl
Teen FictionTidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Bahkan hal hal yang tidak masuk akal pun akan terjadi jika di kehendaki oleh sang penciptanya. Seperti cinta yng tumbuh di hati Yoga untuk Nadine. Tetapi sayang jalan cinta mereka tidak semulus jalan tol. ...