L I E

864 166 36
                                    

Langkah tertatih Sejeong berhenti saat ia tidak berhasil mendapati Doyoung yang sudah pergi beberapa menit yang lalu. Cukup cepat sekedar untuk menghilang.

Tatapan Sejeong kosong, seperti manequin toko yang berdiri tanpa nyawa. Suara-suara kendaraan pun hanya menumpang lewat saja di indera pendengarannya. Ia masih tidak menyangka akan sikap Doyoung hari ini, semua ini benar-benar abu-abu. Tidak jelas.

Sejeong tidak mengerti apa salahnya pada Doyoung, apa salahnya dengan orang-orang hingga apa salahnya dengan dunia. Mengapa kejam sekali?

Eunsoo berlari kecil menuju Sejeong yang masih berdiri terpaku dengan pikirannya sendiri, Eunsoo menepuk bahu teman barunya itu dengan pelan, takut menganggu Sejeong.
Yang Eunsoo lihat adalah mata Sejeong yang makin sayu, dengan air mata sisa yang tertahan di matanya. Sejeong terlihat lebih buruk dari sebelumnya, ia tampak lebih menyedihkan.

"Sejeong-ah? Apa yang terjadi?"

Dengan satu kedipan, air mata Sejeong yang tadinya tertahan kini berhasil menetes. Sejeong langsung memeluk Eunsoo, ia butuh pundak untuk bersandar kali ini. Benar-benar butuh, apalagi saat teman baiknya menjauhinya tanpa sebab.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada takdirku hari ini. Semua orang tampak membenciku, begitu juga temanku. Lelaki tadi bernama Kim Doyoung, dia biasanya cerewet sekali. Tapi semenjak tadi pagi ia berubah mengacuhkanku, seperti saat kami belum saling mengenal. Menurutmu ia kenapa coba?" jelas Sejeong sambil berjalan pulang menuju rumahnya, trotoar sudah semakin sepi, hanya beberapa pejalan kaki dan kendaraan yang melewati jalanan dengan cukup kencang serta sayup-sayup lagu dari kafe-kafe yang mereka lewati mengiringi perjalanan mereka.

"Kau tidak boleh langsung menyalahkan temanmu itu, mungkin ada hal lain yang menganggunya. Bisa jadi itu bukan kau. Jadi lihat saja dulu apa yang sebenarnya terjadi padanya hingga membuatnya bungkam seperti itu. Kau harus tetap bersabar Sejeong-ah, aku akan membantumu sebisaku. Aku berjanji!" Eunsoo mengacungkan jari telunjuknya di udara, Sejeong yang melihatnya pun tersenyum dan memautkan jari telunjuknya pada Eunsoo.

✨✨✨

Paginya, Sejeong berjalan cepat membelah koridor sekolah yang sudah cukup ramai. Mengacuhkan segala tatapan buruk disekitarnya dan tetap teguh dengan pendiriannya. Ia-harus-menyelesaikan-masalahnya-dengan-Doyoung.

Ia benci jika Doyoung terus bungkam,

Ia benci jika Doyoung kembali acuh,

Ia benci jika Doyoung menyembunyikan masalahnya,

Ia benci jika terus bersalah.

Beruntungnya Sejeong, kini Doyoung sudah stand by di bangkunya. Mengobrak abrik isi tasnya, mencari name tag nya.

Brak!

Gebrakan cukup keras membuat Doyoung terlonjak kaget, Sejeong dengan peluh di dahinya tengah menatapnya intens dengan mata yang memerah.

"Kim Doyoung! Jangan seperti ini terus!" serunya. Membuat orang-orang di kelasnya ikut tertarik dengan apa yang terjadi.

Doyoung diam dan membuang tatapannya, ia kembali mencari name tag.

"Doyoung-ah!"

"Hei! Harusnya kau tahu mengapa Doyoung bungkam seperti itu padamu!" jawab Hanbyul yang saat ini ikut berdiri di samping bangku Doyoung.

Dahi Sejeong mengernyit, semakin bingung. Apa Hanbyul tahu?

"Aku tidak bertanya denganmu." ujar Sejeong ketus.

"Doyoung-ah, tolong beri tahu aku apa salahku?" kini nada bicara Sejeong melembut, mencoba membujuk Doyoung untuk membuka mulutnya.

"Hanbyul-ah!!!" suara flamboyan Ten menggema seantero kelas, seperti biasa ia akan menemui kekasihnya.

Sejeong yang notabenenya mengenal suara itu pun ikut menoleh ke sumber suara, ia berjalan cepat mendekat ke arah Ten dan mengguncang bahunya.

"Ten tolong katakan pada Do—" belum selesai bicara, lengan Sejeong sudah ditarik menjauh oleh Doyoung. Lelaki itu menggeretnya keluar dari kelas tanpa sepatah kata apapun.

Sejeong tidak menolak, ia berpikir bahwa mungkin Doyoung akan segera mengatakan alasannya menjauhi Sejeong akhir-akhir ini.

Doyoung terus menarik Sejeong tanpa mempedulikan bel masuk yang berbunyi.

Tiba lah mereka di lapangan basket, Doyoung melepaskan genggaman tangannya di lengan Sejeong. Ia pun menatap kedua manik gadis itu dengan tajam.

"Kau benar-benar tidak tahu apa salahmu?"

Sejeong menggeleng, "Tidak. Maka dari itu aku terus bertanya padamu. Tapi kau selalu bungkam."

"Sini ponselmu."

"Untuk apa?" tangan Sejeong yang membawa ponselnya tertahan.

"Sudah berikan saja. Mau tahu tidak?" ujar Doyoung ketus.

Sejeong pun segera memberikan ponselnya pada Doyoung, jari jemari lelaki itu dengan lincah meng-scroll up isi chat di salah satu sosial media.

"Dimana grup kelas?" ujarnya masih terus mencari keberadaan kolom chat grup tersebut.

"Aku left." jawab Sejeong lesu. Hati Doyoung mencelos mendengarnya, benar juga, Sejeong sudah left sejak ia absen dari sekolahnya seminggu yang lalu. Pantas saja gadis itu tidak tahu keadaan yang sebenarnya terjadi.

Matanya berkedip, lalu ia mengambalikan ponsel Sejeong pada pemiliknya kembali. Lantas ia membuka ponselnya dan menunjukkan berita yang ia maksud.

"Seseorang membuat berita buruk tentangmu."

Sejeong terkekeh,  "Lucu sekali. Siapa dia?"

Doyoung mengangkat bahunya tidak tahu.

Tawa Sejeong terhenti dan menoleh kearah Doyoung, wajahnya kembali serius, "Jadi ini yang membuatmu marah padaku?"

"Bukan. Ada berita lain." jawabnya datar, ia pun menghindar dari tatapan Sejeong.

"Apa itu?"

"Aku hanya akan mengatakan satu hal," Doyoung diam sejenak sebelum melanjutkan pembicaraannya, "Jangan dekat-dekat Ten, ak—mereka tidak suka." ujar Doyoung gugup.

"Apa? Memang kenapa?"

"Kau menyukai Ten?" tanya Doyoung yang berhasil membuat Sejeong termenung.

Memang ini salah, semua sudah terlanjur. Hati Sejeong jatuh pada Ten, dari perhatian-perhatian kecil yang diberikan oleh Ten, kebetulan-kebetulan yang tercipta diantara mereka, hingga tutur kata Ten yang melemahkannya. Entah kapan cinta itu datang, tidak ada yang tahu.

"Tidak." satu kata yang terucap di bibir Sejeong, sebuah kebohongan besar.

"Syukurlah."

The Little Dumb Fairy [Kim Doyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang