"Kalau begitu tolong tinggalkan saja dia dan cari wanita lain, terimakasih sudah menjadi perantara diantara kami." ia tersenyum.
Pria pasangan blind date Sejeong berjalan terburu-buru kembali menuju mejanya dan menyambar semua barang-barangnya, tanpa permisi pun ia pergi meninggalkan Sejeong.
"Hey kau mau kemana?!"
"Aku ada urusan lain." jawabnya ketus.
"Ta-tapi kita belum sele-"
BLAM
Belum selesai bicara, pria itu sudah menutup pintu kafe terlebih dahulu. Sejeong tidak masalah pria itu pergi begitu saja, ia hanya ingin tahu apa alasannya. Apakah ada urusan yang lebih penting darinya atau ia sudah bosan dengan Sejeong? Apa mungkin Sejeong kurang menarik sehingga pria itu meninggalkannya.
Ia kembali duduk di kursinya dan mengubur wajahnya dengan telapak tangan, air mata turun seketika tanpa seijin si pemilik. Rasanya semua ini makin nyata, ia makin yakin bahwa orang-orang--lebih tepatnya laki-laki meninggalkannya karena ia tidak cantik.
Andai kali ini wajahnya bertukar dengan wajah Kak Seyeon, pasti lelaki itu sudah menyatakan cinta padanya, bukan meninggalkannya.
Sebuah tepukan di pundaknya membuatnya sesegera mungkin mengusap air matanya, ia tidak mau orang lain melihatnya menangis. Meski sudah terlanjur.
Cengiran khasnya menampak jelas dihadapan Sejeong yang kini tengah menghela napasnya kasar, seolah tidak mengharapkan ia datang.
"Wah lihatlah lihatlah lihatlah siapa yang menangis disini?" ujarnya seakan-akan ia baru melihat pertunjukan singa sirkus.
Sejeong membuang mukanya dan melamun, mengabaikan Doyoung.
"Apa yang kau lakukan disini ha? Menangis di kafe itu tidak keren." ia melepas jaketnya dan memposisikan tubuhnya agar lebih nyaman di sofa, gadis itu bungkam dan masih sibuk dengan lamunannya, "Sudah hampir satu minggu kau tidak tampak di kelas, oh kurasa di sekolah juga. Bahkan bila menggunakan anjing pelacak, ia tidak bisa menemukanmu disana." ia bermonolog.
Doyoung menopang dagunya menggunakan tangan kanannya dan menatap Sejeong yang masih acuh padanya, "Memendam masalah tidak baik loh untuk kesehatan." ujarnya santai.
"Aku jelek, tidak cantik. Makanya aku masih single."
Doyoung berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawanya, sebenarnya ada perasaan kasihan dan lucu dalam satu waktu yang sama. Dan ini sulit untuk dikendalikan.
"Siapa yang mengatakannya? Berani-beraninya mengatakan hal itu padamu. Siapa hah?"
"Manusia."
"Manusia juga punya nama." ujarnya sewot.
"Bibiku." nada bicaranya kini melemah, tatapannya lebih sendu dan menyakitkan ketimbang sebelumnya.
"Kau itu tidak jelek, kau itu cantik, sungguh kau itu cantik bagiku. Seperti seorang peri di dunia nyata, ya meski peri cantik yang bodoh. Bodoh, karena kau mau-maunya saja mendengar celotehan mereka yang menilaimu dari sisi buruknya saja. Selera cantik tiap orang itu relatif, aku, bibimu, pelayan toko ini punya standar yang berbeda juga."
Ini yang Sejeong butuhkan, semangat moral dari orang-orang. Ia berpikir bahwa ada benarnya juga pendapat Doyoung, tiap orang memiliki definisi cantik yang berbeda. Meski mayoritas memiliki standar yang sama, tapi masih ada orang yang memiliki taraf cantik yang berbeda. Hidup menurut 'pendapat orang' tidak akan membuatmu maju.
Sejeong menatap mata Doyoung intens dan tersenyum haru.
"Oh ya, aku sedang tidak berbohong, tidak bercanda dan tidak sedang menghiburmu jadi-jangan -lempar-tatapan-menjijikan-seperti-itu." ucapnya penuh penekanan disetiap katanya setelah melihat perubahan ekspresi yang Sejeong buat.
"Sudah kan minumnya? Ayo pulang."
"Doyoung-ah."
"Hm?"
"Gomawo." ujarnya imut dan berjalan mengekor dibelakang Doyoung seperti anak bebek yang mengikuti induknya.
"Berisik. Tadi kau kesini naik apa?"
"Bus." jawabnya masih sok imut.
"Sama." ia menarik lengan baju Sejeong agar berjalan lebih cepat karena langit mulai gelap dan mereka harus segera tiba dirumah.
Di trotoar Doyoung mendorong Sejeong kedepan, "Kedepan sana!" serunya.
Sejeong merajuk, ia menyilangkan kedua tangannya didepan dada, "Kau tidak mau berjalan denganku ya? Kau malu berjalan bersama orang jelek sepertiku?"
"Mulai lagi. Dibelakang sana ada sepeda, bisa-bisa kau tertabrak bodoh!" Doyoung mulai kehabisan kesabaranannya.
"Oh hehehe terimakasih."
"Aish!" ia pun mengacak rambutnya sendiri dengan kesal.
Memang sulit jika menghadapi gadis ini, tapi setidaknya ia kembali tersenyum. Anak-anak Haneul sudah merindukannya, mereka semua protes pada Doyoung kemarin saat ia mengunjungi Panti Asuhan sendirian. Tidak untuk mencari Sejeong, ia hanya bosan dirumah jadi ia memilih pergi bertemu anak-anak.
Tunggu sebentar!
Doyoung's POV
Tunggu sebentar!
Kim Doyoung, sebenarnya apa yang membuatmu bertingkah sejauh ini demi mengembalikan senyum Sejeong? Dan darimana kata-kata mutiara pedasmu itu keluar? Untuk apa hah?
Selama ini aku acuh pada orang-orang, tapi memang perubahan sikap Sejeong membuatku tidak nyaman dan penasaran. Hingga akhirnya kini aku tahu alasan gadis itu berubah 180° dari biasanya.
Fisik.
Memang mengatakan 'cantik' pada orang yang merasa 'tidak terlalu cantik' itu adalah hal ter-bullshit yang pernah ada. Tapi jujur, bagiku Sejeong cantik, semua wanita itu cantik. Dan dia memiliki pesona yang berbeda dari wanita lain.
Dan ku yakin kalian semua manusia yang memiliki kromosom XX pun memiliki pesona kecantikan masing-masing. Jadi jangan pernah merendah karena 'penilaian orang lain', toh mereka tidak memberimu hidup. Tuhan yang memberimu hidup dan kehidupan.
✨✨✨
"Bagaimana?"
"Terimakasih Ten. Kau banyak membantuku."
"Hanya aku?"
"Hanbyul juga, ucapkan terimakasihku padanya."
"Tentu."
✨✨✨
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Dumb Fairy [Kim Doyoung]
FanfictionWhatever people said For me, you're a fairy. Little fairy with a tiny brain. -Kim Doyoung