"Ben, lu yakin mau pakai premis zombie?" tanya Jean dengan wajah skeptis sambil membaca beberapa baris tulisan di layar laptop temannya.
"Emang kenapa? Masih zaman kok, bahkan film-film seperti Maze Runner masih bertebaran." Ben tetap lanjut mengetik beberapa kata hingga ia berhenti setelah titik. "Lagian keren aja sih, bikin deg-degan waktu kejar-kejarannya itu lho. Dan coba bayangin, kamu adalah bagian dari orang-orang terakhir yang selamat dari infeksi, dan akhirnya menjadi pahlawan karena bisa menemukan penawarnya dan menyelamatkan dunia. Atau, ketika tokoh hero yang mencintai heroine, yang mana si hero ini terinfeksi, dan ia pun berada pada dilema antara memperjuangkan hidupnya untuk melindungi si heroine dari zombie lain, atau menyerah dan berkorban, agar heroine tersebut tidak ikut terinfeksi, dan ia harus meninggalkan gerombolannya. Ugh! Itu pasti akan seru banget!"
Mata Jean malas memandangi sahabatnya yang sedang meletup-letup di depan laptop. Pemudi itu menyedot es jeruknya sambil rebahan di sofa di samping Ben. "Gue heran deh, kenapa harus zombie lagi, zombie lagi, yang jadi kultur pop? Bosen tahu dengernya."
"Ya udah, jangan dinamain Zombie." Ben berhenti sejenak memikirkan nama yang keren. "Kita kasih dia nama Zomblo."
"Itu mah penyakitnya elu," ucap Jean menoyor kepala Ben. "Sama aja, walaupun namanya diubah, atau bahkan nggak disebut pun wabah semacam zombie itu kaya selalu ada di fiksi ilmiah. Sampai-sampai ada teori konspirasi tentang nama Zombie itu sebenarnya adalah--"
"Pahlawan muslim Brazil?" tukas Ben, "Alah, itu paling cuma hoax. Kamu baca-baca lagi deh. Sumbernya yang jelas gitu. Lagian zombie diambil dari bahasa mana gitu, pokoknya artinya mayat hidup."
"Nah, itu dia. Mayat hidup. Sekarang lho, virus apa yang bisa bikin orang jadi kaya begitu? Tahu sendiri kan, penyakit akibat virus kebanyakan prognosisnya baik dan bisa sembuh sendiri. Kenapa nggak ambil etiologi bakteri, atau parasit yang lebih heboh?"
"A-a-a, jangan lupakan virus HIV, ebola, SARS, swine flu, cacar, dan yang menurutku paling mirip dengan zombie adalah rabies," tukas Ben tidak terima.
"Miripnya cuman karena menular lewat saliva doang?" Kemudian Jean membuka website WHO dari ponselnya. "Nih ya aku bacain. Rabies itu ditularkan lewat liur dan gigitan hewan, semisal anjing. Gejalanya juga sebenarnya ada 2 tipe. Tipe yang paling banyak memang yang agitatif. Jadi orangnya emang bisa ngamuk-ngamuk sambil ngiler. Tapi ya nggak sampai makan manusia juga. Lha wong beberapa hari aja dia bisa jatuh ke kondisi koma dan meninggal karena henti jantung. Nah, masalahnya lagi, masa inkubasi rabies itu lama, 2 sampai 3 bulan, bahkan bisa 1 tahun. Masa iya, habis digigit, kudu nunggu dulu 2 bulan biar bisa jadi zombie, durasi men."
"Iyaa, gue kan cuma bilang mirip. Ya nggak harus sama. Mungkin pencipta premis zombie pertama terinspirasi dari situ." Ben menggerutu sambil cari-cari di google. "Nah, ini nih. Ada penelitian yang menyebutkan bahwaToxoplasma gondii bisa menyebabkan perubahan perilaku tikus yang cenderung untuk membunuh dirinya sendiri."
"Mana sih?" Jean mendekat untuk membaca. Kebetulan ada si Memet yang lewat. Kucing belang itu kemudian lompat di pangkuan Jean sambil mengeong. Jean mengelus kepala Memet sambil menscroll artikel di internet.
"Ih, lu kok nggak jijik sih?" komentar Ben sambil agak menjauhkan kepala. Mendengar suara dengkuran kucing seolah sedang membaca alarm gempa bumi baginya.
"Lu masih takut sama kucing?"
"Nggak, jijik aja sih sama baunya." Ben kelihatan gengsi.
Tawa kecil Jean membesar ketika perempuan itu tiba-tiba melempar Memet ke pangkuan Ben. Pemuda tinggi besar di sampingnya langsung menjerit kaget dan melompat ke atas sofa. Membuat Jean terpingkal-pingkal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Et Medicina | Seputar Medis yang Perlu Kamu Tahu
SaggisticaSakit dan mati memang nggak akan bisa lepas dari kehidupan manusia. Terkadang di tengah sebuah jalan cerita, mau nggak mau penulis kudu bikin seorang tokoh sakit, cacat, atau bahkan meninggal dunia. Tergantung pakai sebab apa, tentu bukan yang menga...