×××
Jika ada dari sekian banyak hal yang Ravel tidak sukai, dia akan memilih pelajaran Fisika yang mana adalah satu diantara lainnya yang merupakan hal menyebalkan yang dia rasakan tepat saat ini. Menguras emosi bahkan pikiran yang dia paksakan untuk dimengerti. Demi apapun Ravel tidak berminat membahas tentang gaya gravitasi suatu benda atau jarak ini terhadap itu, sigma f y, percepatan maupun kecepatan. Ujung-ujungnya Ravel tidak akan bisa mengerti. Meskipun Einstein datang mengadakan privat dirumahnya sekalipun.
Kesialan lain juga adalah Fisika adalah jam pertengahan. Sudah panas, lapar, dibikin pusing juga, melihat rumus yang tak karuan bercakaran di papan tulis. Terakhir, guru yang super duper kiler yang entah punya kekuatan gaya listrik mampu membuat murid diam seperti patung hachiko.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Seakan saat ini dia berada pada pilihan hidup atau mati saat Bu Siska—guru mata pelajaran Fisika—tengah memelotinya dengan tajam lewat kacamata yang membingkai wajah tak mulusnya. Ravel meneguk ludah kasar. Dia mengutuk Axel di sebelahnya yang menjadi dalang dari masalah sekarang. Kurang ajarnya Axel mengajaknya untuk bermain game secara diam-diam karena Bu Siska sedang sibuk melihat-lihat isi ponselnya.
Ravel sudah membantah. Tapi akhirnya Ravel setuju. Toh ini sudah mau lonceng, jadi dia harus menyelesaikan permainannya yang tadi sempat mereka jeda karena bel masuk. Alasan lain karena Ravel berpikir mungkin Bu Siska lagi chatting sama suaminya, atau sama mantanya makanya dia senyum-senyum monyet seperti lagi kasmaran.
Jadi Ravel memastikkan lebih dari sepuluh menit juga Bu Siska akan setia sama ponselnya daripada menanyakan anak-anak perihal tugas yang sudah selesai dikerjakan atau belum sekitar lima menit lalu yang dia berikan. Halah semua guru emang gitu, Ravel berpikir.
Namun, pikiran negatif yang sedang menari di otaknya ternyata tidak seperti itu. Karena sedetik berlalu, Bu Siska mengadahkan wajahnya memerhatikan seisi kelas dan jatuh pada Ravel dan Axel yang menunduk vertikal pada lantai bukannya pada buku di atas meja mereka.
"Kalian berdua yang dibelakang ngapain?!"
Ravel terkaget dan mendorong bahu Axel karena sekarang Bu Siska sedang melihat mereka dengan ganas, serupa dengan singa betina yang melihat bongkahan daging. Apapun itu cukup membuat Ravel dan Axel bergidik dan meneguk ludah masing-masing.
"Saya menyuruh kalian mengerjakan tugas, lalu apa yang kalian lakukan sekarang heh?" Bu Siska mendekat.
"Ki—kita ngerjain kok Bu! Sumpah!" Axel tersenyum gugup lalu menunjukan bagian belakang bukunya yang terdapat beberapa cakaran. Tentu Ravel tahu itu hanya tipuan agar Bu Siska benar-benar percaya kalau dia mengerjakan walaupun tidak mendapat jawaban akhir.
"Kamu mencoba menipu saya?! Bagaimana mungkin semua itu berlawanan dengan rumus?! Gak ada yang bener sama sekali!"
"Yah Bu, tapi saya kan udah mencoba setidaknya Bu Guru hargai dong!" Axel membela diri. Tidak, bukankah Axel sedang mencoba membunuh dirinya sekarang?
"Dan jika kamu bermain hape di dalam kelas apakah saya harus menghargai kamu, Pratama?!" suara Bu Siska meninggi.
Bukannya diam, Axel justru bereaksi. "Buguru juga main hape tuh!"
Akibat dari perlawanan kata-katanya itu membuat Axel mendapat satu jitakan keras tepat di kepala.
"Aduh ini namanya penganiayaan Bu! Jangan main jitak-jitak kepala dong, entar saya geger otak gimana? Emang Ibu mau saya seret ke pengadilan atas kasus tindak kekerasan terhadap murid?"