#05

203 126 59
                                    


Pagi hari keluarga Adhyasta sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Dhika keluar dari kamarnya sambil menenteng tas hitamnya. Cowok itu turun menuju meja makan saat dilihatnya Arka sudah duduk disana bersama Mama, terlihat mengobrol asik, ada Kayna juga disana yang sudah rapi dengan seragam sekolah nya.

Cowok itu dibuat mendengus tepat pada anak tangga ke lima, seperti enggan untuk turun, namun Mama lebih dulu melihatnya lalu memanggil anak laki-lakinya itu.

"Sarapan dulu, Ka."

Dhika bisa saja tidak menuruti Mama karena dia benci semeja dengan Arka. Dia bisa saja memberi alasan bahwa dia terlambat dan harus segera berangkat ke kampusnya. Tetapi kala Mama memanggil namanya seperti itu, seharusnya Dhika tidak membantah kan?

Akhirnya cowok itu memilih duduk tepat di sebelah Arka namun dia menggeser kursinya dan memberi jarak. Arka menatap nya hanya sekilas.

"Reza?"

"Masih mandi, Ma." jawabnya singkat sembari mengambil potongan roti yang sudah Mama oleskan selai.

"Kak, mau dituangin teh nya nggak?" Arka bertanya sambil memegang teko. Karena kebetulan teko nya tepat didekat cowok itu. Dia tersenyum tipis.

Dhika mendelik, matanya menajam. "Lo gak pernah ngerti juga kalo gue bilang nggak suka teh? Kenapa masih nawarin sih?"

Dikha memang yang paling mudah emosi untuk sesuatu hal yang tidak di sukainya. Sebab itu Mama harus cepat menghentikannya.

"Oke, sorry Kak."

"Kak, kenapa sih marah-marah mulu?" Kayna terlihat cemberut menatap Dhika.

Dhika mendelik pada Kayna. "Emangnya kenapa?"

"Kita itu sodara. Kakak kenapa nggak pernah baik-baik kalo ngomong ke Kak Arka? Padahal Kak Arka gak ngapa-ngapain juga." ungkapnya. "Nggak cuma Kak Dhika, Kak Reza juga sama aja sebenarnya."

"Cukup. Mama gak suka liat kalian berantem begini." langsung saja Mama menengahi ke tiga anaknya. Mama menatap Dhika lalu menghela napas dalam. "Ka..."

"Apa lagi, Ma?"

"Kamu tetap nggak bisa nerima itu Dhika? Yang Kayna bilang-"

"Mama masih bisa nerima Papa meskipun Papa udah berkhianat sama Mama?"

Arka meremas tangannya perlahan. Jika Dhika mengatakan hal seperti itu berarti dia sedang membahas tentang Almarhum Mamanya.

Mama menunduk sebentar demi menghela napasnya. "Mama udah bilang lupain masalah itu, Mama udah maafin Papa."

"Tapi aku enggak." Dhika menyahut lagi. "Lagian ya, sampai sekarang juga Papa masih aja sama tuh kayak dulu, jarang merhatiin kita yang dirumah. Apa mungkin alasannya nanti juga bakal sama lagi?"

"Kak Dhika, please!" Dhika tersentak saat Kayna menegurnya dari seberang meja. "Bisa nggak, jangan bahas itu?"

Oke. Dhika terlalu terbawa oleh suasana, dan dia bahkan tidak menyadari perubahan raut wajah Mama.

"Maaf."

Mama hanya menghela napas seraya tersenyum tipis. Perempuan itu berakting sebaik mungkin agar terlihat baik-baik saja. "Udah. Makan yang banyak, habis itu ke sekolah, Dhika jangan lupa anter Kayna ya."

Arka diam saja, dia sudah selesai semenit lalu. Cowok itu langsung cepat-cepat berdiri takut kalau dia akan terlambat soalnya dia biasa menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah berbeda dengan Kayna yang biasa diantar Dhika ataupun Reza. Mama kerap memaksa Arka untuk bareng saja sama saudaranya yang lain tapi Arka menolak dengan alasan dia lebih senang naik sepeda karena bisa sekalian olahraga juga. Mama tahu betul bahwa Arka masih sungkan sebab kehadirannya masih tidak di sukai dua anak tertua Mama tapi akhirnya Mama memuji anak itu dengan bilang bahwa Arka sangat mandiri, dia bahkan keras menolak Mama yang memberi usulan bahwa paling tidak Arka harus memiliki motor seperti anak cowok kebanyakan.

VELAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang