Pisang 14: Sesi Pertama

2.2K 248 68
                                    

Pskiater yang akan menangani Sean dan Kristal sudah cukup tua. Wanita yang seumuran dengan Maminya itu bernama Yuli. Sejak awal Sean dan Kristal masuk ke ruangannya pun, beliau sudah tersenyum lembut dan menenangkan, seakan mengerti ketakutan yang ada di benak kedua pasiennya sore itu.

Jumat ini, setelah menyelesaikan urusan masing-masing di kampus, Sean langsung mengajak Kristal untuk melakukan sesi pertama agar gadis itu tidak mencoba kabur. Bahkan dia tidak menghiraukan pandangan penuh tanya dari beberapa mahasiswanya yang melihat dia masuk ke mobil yang sama dengan Kristal.

"Selamat sore, Nak Sean dan Nak Kristal. Silakan duduk."

Sean menuntun Kristal yang tubuh nya menjadi kaku itu agar duduk berhadapan dengan Bu Yuli.

"Sebelumnya, saya ingin bertanya terlebih dahulu, siapa yang mau lebih dulu mengikuti sesi dengan saya?"

Sean menatap Kristal, seakan ingin memerintahkan agar gadis itu duluan.

Kristal menggeleng pelan. "Mas Pisang dulu. Aku tunggu di kantin aja. Aku ga akan kabur kok, aku janji. Nanti kalau udah selesai kabarin aja." Kristal meninggalkan ruangan itu dengan lemah, membuat pikiran Sean jadi bercabang.

Sean berjengit ketika tangan Bu Yuli mampir di lengannya.

"Ternyata cukup memprihatinkan. Hani sudah menceritakan sedikit soal dirimu dan istrimu, Nak. Keberatan menceritakan apa masalah mu?"

Sean mengangguk cepat. Dia mulai menjelaskan, dari kecil dia merasa takut berada di tengah lingkungannya yang penuh dengan ibu-ibu. Keseringan di cubit dan di colek-colek emesh membuatnya jadi merasa takut ketika berhadapan dengan mereka.

Sean mengaku waktu dirinya duduk di bangku SMP, dia mulai merasa tidak nyaman ketika ada gadis yang mau menyentuhnya, atau mendekatinya secara brutal. Sampailah ketika dia memiliki kekasih, yang ternyata menyakitinya karena menganggap kelainannya itu sangatlah mengganggu.

Bu Yuli mendengarkan Sean dengan seksama, dan baru berkomentar ketika Sean menyelesaikan ceritanya.

"Seperti apa rasanya ketika mereka meninggalkanmu karena kamu tidak bisa memberi mereka sentuhan?" Tanya Bu Yuli tanpa bermaksud menyakiti.

Sean menggeleng lemah. "Merasa tidak berdaya. Saya bisa beri mereka segalanya, kecuali yang satu itu. Bertahun-tahun sebelumnya, pengendalian diri saya tidak sehebat sekarang. Saya hanya perlu mereka bersabar, tapi malah pengkhianatan yang saya dapat.

Mau bagaimana lagi. Memang sudah kodratnya seseorang akan mencari di luar apa yang tidak bisa di dapat dari pasangan mereka."

Bu Yuli memasang senyum menggoda kali ini.

"Dan kamu tidak keberatan berdekatan dengan istrimu?"

Sean terdiam, kemudian mulai muncul kernyitan di dahinya.

"Awalnya dia juga menakutkan. Meskipun saya sudah mengusir dia jauh-jauh, dia tetap datang seakan ingin membuat saya gusar. Tapi di beberapa kesempatan, dia mengerti ketakutan saya, membantu saya lepas dari ketakutan saya, dan saya mengapresiasi hal itu. Dia jadi tidak semenakutkan mereka yang senang menghakimi saya. Dia seperti lintah. Susah lepas."

Keadaan psikis seseorang begitu rumit. Tidak ada yang bisa tahu persis bagaimana hati seseorang, sekalipun pskiater handal seperti Yuli. Dia hanya mampu mendengarkan pasiennya, memberikan saran semampunya, tentunya juga memotivasi mereka agar bisa sembuh.

"Saya tidak bisa membantu banyak, nak. Hanya saja kalau Nak Sean mau mendengarkan saya, saya pikir kamu akan sembuh dalam kurun waktu yang relatif cepat.

Menurut saya, hanya istrimu yang bisa membantumu untuk sembuh. Pasang mindset ini. Jika dia bisa bersabar untuk kamu, kenapa yang lain tidak? Jadikan saja dia sebagai patokan, bagaimana wanita-wanita di dunia ini seharusnya di posisikan dalam hati kamu. Mereka tidak perlu di takutkan, malah nanti Nak Sean akan terkejut betapa rapuhnya mereka, betapa mereka membutuhkan Nak Sean untuk melindungi mereka."

GynophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang