Tuduhan

102 20 2
                                    

Ku buka pintu rumahku, untuk melangkah menuju sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ku buka pintu rumahku, untuk melangkah menuju sekolah. Dengan anggun ku ikuti jalan sunyi depan rumahku. Hari ini aku datang lebih pagi dari biasanya, dengan harapan aku bisa membaca buku pelajaran terlebih dahulu sebelum masuk belajar.
Setibanya aku disekolah, tak ingin membuang waktu. Ku naiki anak tangga perlahan-lahan. Ku buka sweater navy ku dan menaruhnya di kursi tempat dudukku. Sejenak ku pandangi kursi meja di sisi kiriku. Betapa riangnya hatiku, mengingat Bambam duduk disampingku.
Tapi semua buyar ketika perhatianku tertuju pada meja dan kursinya. Rasa iba itu mulai muncul kembali, tapi tak berlangsung lama. Langsung ku alihkan pandanganku dengan setumpuk buku pelajaran yang sempat ku pinjam di perpustakaan.
Ramailah kelasku itu, dalam waktu 20 menit. Gaduh, bising, dan ricuh mulai menemani.
Ku pikir hal ini adalah kebiasaan seluruh siswa di dunia. Semua sekolah melakukan itu, dam mereka bilang hal itulah yang membuat sekolahmu berkesan. Yah ku biarkan saja karena aku memang tak bisa apa-apa.
"aaaaaaa,,, siapa pencurinya?, hey kalian siapa yang mencuri dompetku?!!". Teriak salah seorang siswa wanita dengan tiba-tiba. Sontak saja membuat seluh siswa didalamnya terkejut dan beranjak dari tempat duduknya.
"Aku tidak bisa menerimanya, baru kemarin ibuku memberi atm baru padaku. Aku tak sengaja meninggalkannya dikelas, tapi biasanya kalung emasku saja tak bergerak dari tempatnya jika ku tinggalkan semalaman!". Teriaknya kembali, dan mulai menangis.
Aku tetap tak peduli, karna kupikir kekacauan ini bukan aku penyebabnya.
"Kau bisa tanya pada orang yang datang pertama pagi ini". Ujar yang lain disisinya."Ah kau benar, siapa diantara kalian yang datang paling awal pagi ini?. Ayo cepat katakan padaku!". Mendengar hal itu, perhatianku mulai tercuri.ku mengangkat tanganku dan berdiri dari tempat dudukku.
"Aku". Ucapku.
"Ahh,, jadi kau pencurinya! Kembalikan dompetku". Teriak wanita itu padaku. "He-eh,, apa maksudmu. Aku tidak mengambil apapun milikmu". Ujarku sedikit kesal. "Periksa saja laci dan tasnya!". Ujar yang lain.
Mereka semakin memojokkanku, tapi tak tersirat rasa takutpun padaku. Karena aku memang tak bersalah.
Mereka membongkar mejaku, dan membantungnya ke lantai, kemudian mulai menjarah ketasku. Hal itu mulai membuatku amat kesal, karena aku tak suka mereka menyentuh barang pribadiku.
"Apa ini?!, kau beraninya kau mengambil dompetku? Apa kau begitu miskin sampai harus mencuri?". Ungkap wanita itu. Mataku terbelalak melihat apa yang baru saja terjadu. Tidak, maksudku dompet itu. Bagaimana bisa ada dalam ranselku, aku bahkan tak tahu apa-apa. Aku mulai menciutkan nyaliku, air mataku hampir saja menetes. "Aku benar-benat tidak mencurinya. Ini jebakan. Bukan aku, sungguh". Ujarku mencoba menjelaskan. "Hey,, ku dengar kau sudah tidak punya ayah, dan kau masuk kesini karena beasiswa. Kau pasti kekurangan uangkan maka dari itu kau mencuri. Sudah keluar saja sana, jika kau tak mampu seharusnya kau tak mencoba. Aku tak mau satu kelas dengan pencuri". Ungkap salah satu dari mereka. Hal ini melukai harga diriku, tak pernah ku alami ini saat aku berada di Busan, ternyata hidup di kota itu memang kejam.
"Ini ambillah, kupikir isinya sudah habis kau makan. Tapi kau pasti belum sempat mengambilnya, karena kau malu. Untung aku baik hati jadi ku beri untuk ongkos pulang. Hahahah". Ujar wanita yang aku tak tahu siapa namanya. Sudah jelas mereka memang sengaja menjebakku.
"Kau tak bisa melakukan ini, aku bukan pelakunya". Ujarku membela diri. "Yayayya,, katakan itu pada kepala sekolah, karena melihat latar belakangmu kau pasti akan dikeluarkan!". Ujar yang lainnya.
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Habis akalku untuk bicara. Tak tahu harus apa, mungkin esok takkan lagi ku pijakkan kakiku di sekolah ini.
"Hentikan! Kalian pikir sandiwara ini bagus?, akting kalian sungguh buruk. Jika ingin menjatuhkan, jangan mengambil jalan pintas, berusahalah dengan kemampuan kalian sendiri. Tcih dasar sampah!". Ungkap lelaki jakung di sebelahku. Tatapan dinginnya, perilaku tak sopannya. Kali ini berubah bagaikan sesosok pangeran di mataku. Ya Mark, dia misterius tak dapat ku tebak. "
Akankah dia berada di pihakku?".

Bersambung

Long DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang