THE MEETING

27.7K 1K 2
                                    


Rein hari ini sudah di sibukan dengan berbagai file file, baru satu hari dia tak masuk kerja file file sudah sebanyak ini. Bagaimana jika dia jadi mengikuti saran Papanya kemarin untuk bulan madu, pasti di meja kerjanya ini sudah jadi almari.

Tok,,, tok,,, tok,,,

Sekertaris Rein mengetuk pintu, biasanya ada informasi yang akan di sampaikan atau ada file file baru dari manager yan memerlukan tanda tangannya.

"Masuk" Ucap Rein, dia masih fokus pada file file di mejanya

"Maaf mengganggu pak, lima belas menit lagi anda ada meeting dengan tuan Thomas dari Ts corporate,di ruang meeting lantai dua puluh empat. Juga ini, proposal yang di ajukan manager perlengkapan mengenai pembaruan beberapa computer dan mesin print di divisi keuangan dan divisi perencanaan" Jelas Sela sekertaris Rein.

"Taruh disitu, urutkan sesuai dengan jamnya, saya tidak suka kamu menyela pekerjaan saya yang lain, walau hanya meminta tanda tangan" Akhirnya Sela menaruh map kuning itu di tumpukan map yang masih ada di meja Rein.

"Kalo begitu saya permisi pak" Sela undur diri. Dia bisa mati berdiri kalo lama lama di hadapan Rein, walau wajah Rein sangat sangata tampan tapi tetap saja aura dingin menyelimuti Rein.

Lima belas menit Rein menggunakan waktunya untuk membaca hal hal penting yang di diskusikan di ruang meeting nanti. Rein keluar dari ruangannya. Menuju lift. Meeting di lantai dua puluh empat berarti di lantai bawah ini. Karena ruang kerja Rein ada di lantai dua puluh lima.

Rein dan Sela sudah di tunggu Thomas dan sekertarisnya. Lagi lagi Thomas berganti sekertaris. Rein sampai pusing setiap dia meeting dengan Thomas, Thomas selalu berbeda sekertaris.

"Maaf menunggu lama" Rein duduk di kursi yang sudah di siapkan untukknya.

"Jadi bagaimana, apa ada masalah di pembuatan pertambangan?" Tanya Rein, sambil dia menatap Thomas yang menggoda Sela, karena Sela duduk di depan Thomas.

"Oh, ada beberapa masalah dari warga yang enggak mau di relokasi, walau mereka tau ada rumah susun yang sudah di siapkan perusahaan sebagai gantinya" Rein menghela nafas, apa dia lagi yang harus turun tangan membuat orang orang itu pindah dari tempat mereka saat ini.

"Apa perlu, aku yang turun tangan sendiri?" Tanya Rein pada Thomas

"Enggak, ini urusannya perusahaan aku, kamu hanya perlu sediain aja peralatan untuk pertambangan" Thomas merasa dia di remehkan Rein kalo masalah sepele gini Rein yang turun tangan.

"Jadi, kamu yang akan turun tangan sendiri ke tempat itu?" Tanya Rein

"Iya, mungkin, entah lah. Aku belum tau seberapa banyak mereka yang belum mau pindah" Rein hanya geleng geleng. Ini nih orang kalo hanya mikirin wanita pekerjaannya pun di nomer sekiankan.

"Sela, kamu bisa kembali ke ruangan kamu" Rein sudah harus turun tangan kalo tidak meeting ini, tak akan selelsai karena Thomas yang fokus pada Sela.

"Baik Pak" Sela juga satu pemikiran dengan Rein, dia juga rishi jika di lihatin Thomas terus terusan.

"Kenapa dia keluar?" Tanya Thomas

"Meeting ini enggak akan selesai kalo kamu hanya mandangin Sela terus terusan" setelahnya mereka hanya membahas apa kendala dari pembangunan baru pertambangan, juga pengadaan mesin mesin baru yang lebih canggih dalam pengeboran.

Rein menghela nafasnya, hari ini sungguh melelahkan, tapi file filenya ini masih banyak, kalo dia lebur dia males turun kebawah buat beli makan Ob sudah pulang satu jam yang lalu, hanya dia sendiri di lantai ini, tapi mungkin di lantai bawah masih ada beberapa karyawan yang mengerjakan deadlinenya.

Akhirnya Rein lebih memilih pulang dan membawa beberapa file file yang mungkin bisa dia kerjakan dirumah kalo dia enggak ke capekaan.

Rein sampai di rumahnya, dia melihat Vanya sibuk dengan buku sketsanya. Tapi setelah menyadari kalo Rein masuk dia langsung merapikan kertas kertas sketsanya.

"Rein, baru pulang, kamu mau makan atau mandi, semuanya udah aku siapkan" Rein hanya diam. Dia terus melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.

Vanya hanya bisa menghela nafasnya, mungkin saja Rein capek seharian kerja dari pagi sampai malam.

Vanya kembali melanjutkan beberapa sketsa baju yang ia buat. Masalah Rein biarkan saja mungkin dia mandi terlebih dulu. Vanya sedikit tau bagaimana sifat Rein yang pendiam. Tidak mau bicara kalo tidak ada hal yang penting untuk di bicarakan.

Setengah jam Rein kembali ke bawah sudah berganti baju dengan baju rumahan, walau begitu Rein masih saja tampan, bikin wanita wanita meleleh. Tapi, semua manusia tidak ada yang sempurna. Rein memang tampan, bisa di bilang sangat tampan tapi tetap saja dia tak sempurna dengan sifatnya yang pendiam, dingin, cuek. Mungkin kalo dia sedikit ramah ke orang di sekitarnya bisa menambah ke tampanannya.

"Rein, kamu mau makan?" Tanya Vanya. Sedangkan Rein hanya mengangguk.

Vanya mengikuti Rein ke meja makan, Vanya sengaja malam ini dia yang memasak. Dia juga sudah menyuruh para pembantunya untuk kembali ke paviliun bulakang. Yang khusus untuk mereka tempati.

Mereka makan dalam diam, baik Rein dan Vanya hanya diam menikmati makanan mereka.

"Rein, makasih untuk semuanya, aku bisa membuka butik sesuai impian ku" Vanya benar tulus mengucapkan terimakasih pada Rein.

"Hemm...." Rein hanya berdehem. Setelahnya Rein hanya diam begitu juga Vanya. Selesai makan Rein naik keatas ke ruang kerjanya yang bersebelahan dengan kamarnya. Tanpa memperdulikan Vanya yang membereskan meja makan sendiri.

Toh dia juga yang menyuruh para pembantunya kembali ke paviliun.

"Huh,, kalo seperti ini, sama saja aku hidup sendiri seperti di NY, aku kira menikah dengan Rein bisa menjadi teman untuk mengobrol tapi dia saja hanya diam, jarang bicara" Vanya membereskan semuanya sambil mendumel.

Vanya kembali ke kamarnya dengan membawa beberapa sketsa yang sudah jadi, juga membawa kertas yang masih kosong, mungkin malam ini dia bisa lembur menyelesaikan beberapa desaign baju yang akan dia pajang di butiknya.

Baiak Vanya dan Rein sama sama larut dalam kesibukannya mereka masing masing hingga pada lupa dengan waktu yang berjalan menuju tengah malam.

"Ahh, sial aku lupa bawa air minum" Vanya keluar dari kamarnya, dia sudah terbiasa minum sebelum tidur kalo enggak tenggorokannya besok pagi akan sakit.

Vanya perlahan menyusuri tangga, beberapa lampu sudah di matikan, hanya ada beberapa lampu berwarga orange yang di nyalakan. Tapi kenapa lampu di dapur nyala, dan ada suara beberapa benda jatuh.

Vanya bukannya takut tapi dia malah mendekat. Melihat sebenarnya ada apa dengan dapur.

"Rein, kamu ngapain?" Tanya Vanya setelah dia tau kalau ternyata Rein yang ada di dapur.

"Buat kopi" Vanya menghela nafas, bisa bisanya Rein mencari kopi di rak rak bumbu dapur, harusnya dia taukan mana letak kopi mana letak bumbu.

"Kamu duduk aja, biar aku yang buatin" Rein mengikuti ucapan Vanya, toh kalo dia membantah dia juga enggak tau dimana letak kopi.

"Ini" Vanya menyerahkan satu cangkir kopi hitam untuk Rein. Mereka menikmati minuman mereka. Rein dengan kopinya Vanya dengan air meneralnya juag beberapa buah yang sudah di potong potong. Tadi dia menemukannya di kulkas.

Seperti biasa mereka hanya diam tanpa obrolan. Tapi Vanya berusaha untuk mencairkan suasananya.

"Rein, kamu kenapa belum tidur?" Tanya Vanya. Sambil dia menyemil buah yang ia bawa tadi.

"Lembur" Rein hanya menjawab seadanya.

"Kan bisa kamu kerjakan besok, kamu bisa istirahat. Nanti kamu bisa sakit" Vanya bukan mengkhawtirkan Rein tapi dia kasihan aja sama Rein kalau Rein sakit. Ingat khawatir sama kasihan beda ya.

Rein bukannya menjawab dia malah pergi meninggalkan Vanya, baginya Vanya terlalu ikut campur dalam urusannya. Walau dia tau Vanya berhak tapi tetap saja dia butuh penyesuaian.


jangan lupa like and coment,

Bila Ku Pergi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang