Akhirnya setelah berdebat di pinggir jalan, Rein mengalah, dia membiarkan Vanya ikut ke kantornya.
Berbagai macam alasan di ucapkan Vanya tapi Rein hanya diam. Dia masih banyak kerjaan kalo hanya meladeni Vanya di depan kantornya sampai nanti malam belum selesai.
"Rein, boleh enggak aku pesen makan?" Vanya sudah kelaperan, mana tadi pagi dia hanya sarapan roti tawar saja.
"Terserah" Jawab Rein. Vanya menghela nafas. Rein enggak di rumah enggak di kantor sama sama pendiam dan cuek.
"Tapi aku enggak tau mau pesen makan dimana, aku enggak tau restoran di sekitar sini" Rein menghela nafas, lagi lagi istrinya bikin buyar konsentrasinya.
"Terserah kamu mau makan dimana!, itu bukan urusan aku!, dan satu lagi jangan ganggu aku!, aku lagi kerja!" Vanya yang di bentak Rein hanya diam di tempat. Dia mengambil tasnya yang ada di sofa lalu pergi meninggalkan Rein.
Vanya memang enggak tau apa apa, sewaktu dia sekolah menengah pertama hingga atas Vanya lebih banyak menghabiskan waktunya di asrama. Jadi dia enggak tau menahu lingkungan diluar.
"Rein memang keterlaluan" Vanya sebenarnya enggak ingin menangis tapi dia enggak sanggup untuk pura pura tegar. Dia juga wanita lemah yang perlu di lindungi bukan di bentak bentak.
Vanya menghampiri supir Rein, menanyakan alamat rumah Rein. Setelah tau dimana alamat rumah Rein Vanya pergi keluar mencari taxi. Masa bodo dengan Rein, dia bersumpah tidak akan kembali lagi ke kantor ini.
Rein bukannya menggejar Vanya, tapi dia masa bodo, anak buahnya dimana mana mereka bisa menjaga Vanya tanpa sepengetahuan Vanya. Dia masih sibuk mengurusi perusahaan Papa Rehan, entah kenapa perusahaan itu masih saja mengalami penurunan, apa mereka enggak tau kalo perusahaan tempat mereka bekerja saat ini menjadi milik Xaviero Corp.
"Sela, bikin jadwal rapat dengan manager di Kusuma Oil. Sekarang juga" Perintah Rein, kalo sekarang berarti kerjaan Sela yang tadi di skip dulu, dan dia mengerjakan perintah Rein yang sekarang.
"baik Pak" Ucap Sela.
Vanya sampai di rumah, masih dengan air mata yang mengalir dari matanya menuju dagu.
"Ini Pak kembaliannya ambil aja" Vany langsung keluar. Supir taxi hanya mengucapkan terimakasih.
Para pelayan hanya melihat Vanya masuk ke rumah dan naik ke kelantai dua, mungkin ke kamarnya.
Mereka yang melihat hanya saling geleng geleng satu sama lain. Ada juga yang mengangkat bahunya tanda tak tau apa yang terjadi dengan nyonya mereka.
"kenapa Papa bisa mempercayakanku pada laki laki seperti itu. Kalo tau gini mending aku merintis karir aku di NY" Entah sampai jam berapa Vanya menangis yang ia tau, saat dia banggun kepalanya pusing juga matanya sembab.
Hhhh,,, lagi lagi begini.
Vanya hanya berbaring di tempat tidur, males mau ngapa ngapain. Kepalanya masih pusing, perutnya sakit. Vanya melihat jam di meja samping tempat tidurnya. Jam tujuh malam, itu rekor buat dia tidur.
Vanya paksain buat dia bangun, dia butuh makan, kalo enggak penyakitnya bisa kambuh lagi, dia enggak mau merepotkan orang lain.
Selesai mandi Vanya memoles liptick juga bedak agar wajah pucatnya dan juga sembab di matanya tidak terlalu kelihatan.
Rasanya menuruni tangga begitu berat untuknya, tapi Vanya paksa. Butuh beberapa menit untuk menuruni tangga. Bahakan Vanya tak tau jika di belakangnya ada Rein yang memeperhatikannya. Bahkan Rein sampai jengah menunggui Vanya turun satu persatu dari tangga.
"Ahh,,," Vanya memegangi perutnya, mungkin penyakitnya udah kambuh.
"Non, Vanya kenapa?" Tanya pelayan rumah ini, kalo enggak salah ingat namanya bik Ira.
"Enggak kok bik" Vanya berusaha berpegangan pada pembatas tangga tapi dia kehilangan keseimbangan.
"Non, ya ampun" bik Ira bisa menghela nafas saat tuannya Rein langsung menarik Vanya ke pelukannya, kalo enggak mungkin sudah terguling guling di tangga.
"Vanya?" Rein mencoba memanggil Vanya tapi enggak ada sahutan dari Vanya.
"Tuan, mungkin non Vanya pingsan" Rein langsung menggendong kembali Vanya kekamarnya.
"Panggil Dokter" Ucap Rein.
Rein membaringkan Vanya di tempat tidurnya. Menyelimutinya. Badan Vanya panas juga mengeluarkan keringat, hingga membuat bajunya basah.
Rein seperti mengalami flashback, dulu saat Celia sakit dia sering seperti ini, apa Vanya juga akan seperti Celia, batin Rein berkecamuk hingga dia tidak menyadari kalo sudah ada Dokter yang memeriksa Vanya.
"Tuan Rein" Ucap Dokter membuyarkan lamunana Rein.
"Eh, iya Dok" Rein gelagapan.
"Keadaan nona tidak apa apa, hanya penyakitnya kambuh saja," Belum Dokter selesai menjelaskan Rein sudha memotong ucapan Dokter.
"Memang dia sakit apa Dok?" Rein penasaran dengan sakitnya Vanya, karena dulu dia terlambat mengetahui penyakitnya Celia karena Celia dan Dokternya menyembunyikannya dari Rein.
"Nona hanya sakit maag, tapi penyakitnya ini sudah serius jadi kalo nona tidak makan teratur bisa membahayakan tubuhnya" Jelas Dokter.
Rein mungkin ikut andil dalam kambuhnya penyakit Vanya. Vanya tadi siang sudah datang ke kantornya baik baik ngajakin dia makan, tapi dia usir, Vanya menunggu di depan kantornya pas sampai di ruang kerjanya dia marah marahin habis habisan.
"Kalo begitu saya permisi dulu pak Rein, untuk obatnya bisa di tebus di apotek" Dokter menyerahkan resep obat ke Rein, sejak kapan Dokter menulis resep, bahkan Rein pun enggak tau.
"Bik, tolong suruh pak Hadi atau pak Ujang buat nebus resep ini" Rein menyerahkan resep tadi ke bik Ira.
Rein memang merasa bersalah pada Vanya tapi mau bagaimana lagi kalo Vanya sudah seperti ini. Toh dia bukan Dokter juga buka Dewa yang bisa sekali pegang langsung sembuh.
Rein menemani Vanya sepanjang malam, bahkan dia tidur di samping Vanya. Hingga pagi hari Vanya belum bangun dari tidurnya. Rein terpaksa meninggalkan Vanya. Hari ini dia ada rapat dengan perusahaan milik Papa Vanya. Juga ada beberapa pertemuan lainnya.
"Bik, nanti kalo Vanya bangun suruh minum obat dulu, baru makan" Rein hanya berpesan itu pada pelayannya. Dia sudah terlambat bahkan dia lupa untuk saran
Vanya bangun setelah Rein pergi. "Hah.,,, kalian berdua ini"
"Nona, sudah bangun?" Bik Ira, yang menjaga Vanya langsung mengambilkan air putih untuk majikannya, mungkin aja Vanya butuh minum.
"Non, minum obat dulu ya" Bik Ira memberikan obat yang di tebus mang Ujang tadi malam. Selesai meminum obat Vanya makan bubur yang tidak ada rasanya, hambar.
"Non, bisa istirahat, bibik mau mengembalikan ini dulu" Bik Ira membawa tempat makan Vanya tadi ke dapur.
Vanya hanya bisa menghela nafas, dia sekarang sendiri. Tidak ada orang yang menemaninya.
Apa selamanya dia akan seperti ini. Sendirian. Mamanya meninggalkannya, Papanya memilih pergi ke Kalimantan untuk merintis usahanya, dia disini sendirian, kesepian.
Vanya memaksakan dirinya bangun, dia enggak mau manja manja, sakit seperti ini sudah biasa untuknya. Toh tidak ada yang memperdulikan dirinya.
Vanya berendam di bathup lima belas menit dia berendam, itu sudah cukup, setelah membilas tubuhnya dengan air bersih Vanya keluar dari kamar mandi dengan kimono. Tadi dia lupa tak membawa baju ganti.
"Non. Bibik kirain non pergi kemana" Bik Ira langsung bertanya pada Vanya setelah Vanya keluar dari kamar mandi.
"Aku hanya mandi bik" Jawab Vanya. Bik Ira menghela nafasnya, lega nyonya tidak pergi kemana mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bila Ku Pergi [END]
Romancepenyesalan memang datang terlambat.. seperti aku yang menyadari perasaanku setelah kamu pergi..... semuanya sudah terlambat... Reinaldo Xaviero