Matahari sudah bergantian tugasnya dengan bulan, menyinari bumi ini. Walau habis hujan tadi siang, tapi saat ini bulan sangat cerah walau ada sedikit awan yang bergabung dengan bulan dan bintang menghiasi langit.
Kondisi Vanya belum membaik juga. Rein tak beranjak dari tempatnya, duduk di samping Vanya, menemaninya. Namun egonya tak negatakan jika dia mengkhawatirkan Vanya, dia hanya merasa bertanggung jawab dengan keadaan Vanya.
"Tuan, sebaiknya tuan makan malam terlebih dulu, sudah kami siapkan di meja makan" Rein memang belum makan sadari siang. Sebenarnya dari tadi perutnya sudah minta asupan tapi dia enggan untuk meninggalkan Vanya. Dua kali Rein membuat Vanya pingsan, dan itu tak membuat Rein belajar dari kesalahan.
Rein melangkah ke meja makan tanpa semangat. Walau di meja sudah tertata banyak sekali makanan tapi dia tak nafsu makan.
Ketiga teman Rein mengunjung Rein, tepatnya menjenguk Vanya. Mereka bertiga juga tak menyalahkan atau membenarkan Rein yang meninggalkana Vanya di butik ataupun Rein yang memukul Vanya. Meraka hanya bercakap cakap hal hal yang tak telalu penting.
Vanya merasa sangat pusing di kepalanya, rasanya dia sudah terlalu lama tidur tapi sulit untuk membuka mata. Perlahan tapi pasti dia mencoba membuka matanya. Dia meringis, bibirnya terasa sakit. Dia ingat tadi Rein menamparnya, setelah mereka beradu mulut gara gara wanita entah siapa itu. Vanya mencoba untuk bangun, namun kepalanya makin bertambah pusing.
Rein yang duduk menghadap ke tempat tidur Vanya, melihat Tangan Vanya yang bergerak gerak segela menghampirinya.
"Vanya.." Rein memanggil Vanya, tadi memang Vanya menutup matanya karena tak kuasa menahan pusing di kepalanya.
"Hemm,," Rein bisa bernafas lega sekarang, Vanya sudah bangun. Dia terlalu lama pingsan.
"Kamu mau minum?" Tanya Rein, Vanya hanya mengangguk. Syukur deh Rein tau kalo dia butuh minum.
Rein membangunkan Vanya, lalu mengambil air minum yang ada di meja samping tempat tidur. Huh kalau gini aja sok perhatian. Coba kalo Vanya sehat di cuekin abis abisan.
Selesai Vanya minum Rein membaringkan Vanya kembali namun Vanya geleng geleng, akhirnya Rein menumpuk beberapa bantal agar Vanya bisa bersender.
Ketiga teman Rein menghampiri tempat tidur Vanya.
"Gimana keadaan kamu Vanya?" Mike bertanya pada Vanya.
"Lumayan" jawab Vanya pelan, bukannya ingin irit bicara tapi Vanya menahan sakit di sudut bibirnya.
"lebih baik biarkan Vanya istirahat, kita bisa menjenguknya besok" Riko ada benarnya juga, Vanya butuh istirahat saat ini.
"Baiklah Vanya, Rein kita kembali ke kamar masing masing" Mereka bertiga pamit keluar.
Rein masih duduk di samping Vanya, walau tidak ada obrolan di antara mereka.
"Mau kemana?" Tanya Rein saat Vanya mencoba bangun.
"Kamar mandi" Vanya masih berbicara pelan, bibirnya masih sakit jika harus bicara seperti biasa. Rein sih nampar sekuat tenaga, coba lain kali kalo nampar pakai perasaan jadinyakan Cuma elusan.
Vanya ingin menjerit saat Rein dengan tiba tiba mengangkatnya, menggendongnya. Bilang dulu Rein, kalau mau ngapa ngapain anak orang. Ehh, maksudnya kalau mau ngendong anak orang biar enggak kaget.
Rein menggendong Vanya ke kamar mandi. Sambil Vanya memegang infus bahkan Vanya tak menyadari kalo tangan sedang di infus. Rein mendudukan Vanya di closet yang sudah di buka.
"Kamu mau ngapain?" Tanya Rein.
"Cuci muka" Ucap Vanya pelan.
Dengan telaten Rein membasuh wajah Vanya, tapi Hanya sedikit airnya. Rein menuruti permintaan Vanya saat Vanya ingin mencuci mukanya sendiri.
Jadi posisinya Vanya sedang berdiri di depan Rein. Rein menyangga Vanya, seperti memeluknya dari belakang. Setelah selesai membasuh muka, Rein mengeringkan wajah Vanya dengan handuk yang sudah ia siapkan di samping wastafel.
Dua hari Vanya hanya di kamar Hotel di temani Sela, karena gara gara Vanya sakit Meeting di undur, bukan permintaan Rein tapi permintaan ketiga teman Rein. Karena mereka berempat bekerja sama dalam pembangunan penthouse di Bali.
"Mbak Vanya mau jalan jalan?" Tanya Sela. Vanya memang selama dua hari ini hanya sendiri tidak ada yang menemaninya, apa lagi mengajak ngobrol, yaa walau terkadang Rein menemani Vanya tapi tau sendiri bagaimana Rein dinginnya pada Vanya.
"Boleh, aku pengen ke pantai belakang Hotel, tapi diam diam aja, aku gak mau Rein tau" Sebenarnya Vanya sudah sembuh tapi dia masih ingin sanatai santai di tempat tidur dan dilayani. Lagian Rein juga udah ninggalin dia, udah nampar dia minta maaf juga enggak.
Mereka pergi berdua, Vanya melepas infusnya, walau mereka berdua tadi sempat ribut gara gara Vanya yang melepas Infus asal asalan, walau tak mengeluarkan banyak darah tapi tetap saja Vanya masih butuh Infus. Tapi Sela tak bisa menang menghadapi keras kepalanya Vanya, ya yang sebelas dua belas dengan Rein.
Vanya menikmati semilir angin di pantai, sudah lama dia ingin ke pantai. Dulu saat kedua orang tuanya masih ada mereka sering jalan jalan walau hanya ke pantai di Jakarta. Tapi Vanya bahagia ada Papa dan Mamanya.
"Sel, kamu bawa uang enggak?" Vanya baru ingat kalo dia enggak bawa uang, padahal dia ingin sekali minum kelapa muda.
"Bawa sih, Mbak Vanya mau beli apa?" Untung Vanya jalan sama Sela, kalo dia sama Rein masa bodo pasti.
"Aku mau kelapa muda, kayaknya seger gitu, sore sore gini minum kelapa muda" Vanya sekilas kaya orang ngidam, jadi Sela menuruti semua yang Vanya mau, toh memang tugasnya menjaga Vanya dan menuruti semua kemauan Vanya.
Vanya lebih dulu jalan menuju stand penjual kelapa muda, Vanya memilih milih mana kelapa muda yang mau dia beli, walau dia enggak tau bedanya kelapa muda yang cokelat dengan yang hijau, yang penting asal pilih.
"Mari, silahkan non, mau beli berapa?" Tanya penjual dengan ramah.
"Sel. Kamu pilih aja mana yang kamu mau, aku udah pilih, sebentar bu, biar teman saya pilih dulu" Ucap Vanya.
"Terserah ibunya aja Mbak, aku enggak tau mana yang tua mana yang muda" Ucap Sela, dia enggak mau repot memilih kelapa muda seperti Vanya yang ujug ujungnya enggak tau bedanya kelapa muda.
"Kami pesan dua bu, kami duduk di sana" Sela sambil menunjuk sebuah kursi santai yang di sediakan di pinggir pantai.
Mereka berdua duduk di kursi santai yang berbeda, Vanya di kanan, Sela di kiri di tengah tengah ada sebuah meja kecil. Di atasnya ada sebuah paying besar yang menaungi mereka dari panas sinar matahari.
"Sela, kamu sering kesini?" Tanya Vanya pada Sela, mereka berdua sama sama melihat ke arah laut lepas.
"permah beberapa kali Mbak, menggantikan pak Rein dalam rapat atau ada penyambutan tamu penting" Jawab Sela, mereka kembali diam menikmati indahnya pantai di sore hari.
Tak lama pesanan kelapa muda mereka datang, Vanya langsung mengambil kelapa mudanya, dan meminumnya, sungguh segar sekali batinnya.
Vanya menikmati sore yang indah di pantai sebelum matanya terkontaminasi pada enam orang yang sedang duduk di sebuah gazebo yang jaraknya tak jauh dari tempat bersantainya saat ini.
Pantai yang tadinya indah sekarang tidak memiliki keindahan sama sekali di mata Vanya, kelapa muda yang tadinya segar sekarang menjadi pahit seperti obat. Matahari yang tadinya lumayan meredup karena sudah berada di peradan ini menjadi panas menyengat hati Vanya.
Dua bulan menjadi istri Reinaldo Xaviero baru kali ini Vanya melihat Rein tertawa setulus itu. Tanpa sadar Vanya meneteskan air matanya. Apakah dia bisa selamanya dengan Rein, apakah dia bisa menikmati tawa Rein seperti itu?
Vanya tak kuasa menahan tangisnya memilih untuk pergi, dia perlu menyendiri. Karena dia tidak tau mulai kapan jantungnya berdetak hanya untuk seorang Reinaldo Xaviero.
Sela yang tak tau apa apa, masih bersantai di kursinya, dia fikir Vanya perlu kekamar mandi atau jalan jalan di tepi pantai. Tapi setelah setengah jam Sela menunggu Vanya tapi tidak ada tanda tanda Vanya kembali ke tempat duduknya.
wahhh wahh,,, Rein kok gitu ya?? disini siap yang salah?? Vanya atau Rein??
KAMU SEDANG MEMBACA
Bila Ku Pergi [END]
Romancepenyesalan memang datang terlambat.. seperti aku yang menyadari perasaanku setelah kamu pergi..... semuanya sudah terlambat... Reinaldo Xaviero