Sudah terhitung tiga hari Ganesa terbaring di rumah sakit. Walau pun lukanya bisa dibilang tidak terlalu parah, nyatanya ia belum mendapat izin pulang dari dokter yang khusus menanganinya. Jean bahkan ikut menginap di rumah sakit demi menemani suaminya itu. Mami juga dengan bandel memaksa mau menemani anaknya dan menantunya itu, tetapi mas Bagas keukeuh melarangnya. Dan akhirnya, setelah dibujuk oleh Jean akhirnya mami manut, asal Jean rutin mengabari kondisi Ganesa, kalau bisa tiap menit. Sementara untuk keperluan harian Jean, Rakalah yang dengan senang hati membawa keperluan itu.
Saat ini Jean tengah membeli tiga bungkus batagor. Untuknya, untuk Ganesa dan untuk Raka. Ya, hari ini Raka datang sekitar jam sembilan pagi, menjenguk kakaknya dan tak lupa membawa beberapa buah pesanan mami untuk Ganesa dan Jean. Dan sepertinya anak bontot mami itu belum makan sedikit pun, karena setelah ia masuk ke ruangan Ganesa, ia tampak uring-uringan dan tak menolak saat Jean menawarkan untuk membeli batagor.
Setelah membeli batagor, Jean segera kembali ke ruangan Ganesa. Namun, saat di tengah perjalanan Jean bertemu dengan seseorang yang beberapa bulan yang lalu sudah menghancurkan hatinya, membuatnya kecewa sampai tak tahu harus bagaimana lagi, hingga harus menanggung malu karena keputusannya yang membuat dunia Jean seolah hancur pada saat itu juga.
Jean menelan salivanya susah payah. Kepalanya ia tundukkan sedalam-dalamnya, berusaha mengindar dari lelaki itu. Namun sialnya, orang yang paling ingin ia hindari itu menyadari gerak-geriknya.
"Je..." panggilnya.
Jean mempercepat langkahnya. Dalam hati ia terus berdoa agar laki-laki itu tak mengikutinya. Namun saat beberapa langkah lagi hingga Jean sampai di koridor letak kamar Ganesa, sebuah tangan menarik pergelangan Jean. Jean tersentak dan berusaha melepaskan pegangan orang itu.
"Lepasin." Desis Jean.
"Je..."
"Plis, Zaki."
"Je, aku mau bicara." Ujar Zaki dengan nada memohon.
Jean menggeleng pelan, berusaha menolak apa pun bentuk permohonan laki-laki berengsek di depannya itu. Ia bahkan terus memalingkan kepalanya, berusaha agar ia tidak menatap kedua manik Zaki.
"Nggak ada yang perlu kita bicarakan." Ujar Jean dengan nada tegas. "Permisi."
"Je... aku mohon. Dengar penjelasanku dulu. Je.."
Zaki terus mengikuti jejak Jean, hingga Jean berhenti dan memberanikan diri untuk menatap laki-laki itu dengan tatapan tajam.
"Aku ingatkan sama kamu ya, Zaki yang terhormat. Kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Dan kamu yang sudah membuktikan itu beberapa bulan yang lalu, saat kita AKAN menikah! Kalau kamu lupa, tepat hari itu kamu pergi! Dan menurutku, itu sudah cukup ngejelasin bahwa aku dan kamu memang cukup sampai di situ." jawaban penuh penekanan dari seorang Jean membuat Zaki mematung. Ia tak pernah menyangka jika seorang Jean yang dikenalnya penuh kasih sayang dan ceria itu akan mengucapkan kalimat yang benar-benar menohok hatinya. Namun, siapa yang peduli. Toh saat ia memutuskan untuk pergi, pernahkan ia memikirkan penghianatannya terhadap perempuan itu?
Jean mempercepat langkahnya, bukan menuju kamar Ganesa yang tinggal beberapa meter lagi, tapi lebih tepatnya ke sebuah taman yang menurut Jean bisa ia jadikan tempat pelampiasan kegundahan perasaannya saat ini.
Jean meremas ujung kantong kresek yang membungkus tiga batagor pesanannya. Buku-buku jemarinya pun ikut memutih. Kembali, kedua mata seorang Jean mengabur dan tak lama mengeluarkan cairan bening yang sudah berbulan-bulan ini ia tahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
J E A N [SUDAH TERBIT]
RomancePemesanan buku JEAN bisa ke Shopee @aepublishing . Semua orang mau menikah. Menghabiskan sisa hidup dengan orang yang dicintai dan mencintai kita. Suka dan duka berbagi bersama. Saling menguatkan dan saling menyayangi. Begitu pun dengan Jean, ia be...