BAB 19

11.5K 1.3K 166
                                    

Jean tengah sibuk memasak berbagai macam masakan bersama mami dan ipar-iparnya. Mulai dari sayur bening, ayam lalapan, ikan bakar, tumis udang dan kepiting. Semua masakan yang dibuat merupakan kesukaan suami masing-masing.

"Mami seneng punya mantu yang pinter-pinter masak," ujar mami sambil mengaduk sayur beningnya.

"Anak-anak Mami emang pinter-pinter sih cari istri," timpal Hana sambil nyengir gaje. Nina, Yana dan Jean sampai menggeleng pelan mendengar penuturannya.

"Iya doooong. Siapa dulu Maminya," kata mami menyombongkan diri. "Kalian udah buatin telur balado belum untuk cucu-cucuku?"

Ketujuh cucu mami itu entah mengapa sangat menyukai masakan itu. Telur balado. Mungkin karena rasanya yang tidak terlalu pedas dan ada manis serta asamnya sekaligus. Mungkin.

Saat tengah sibuk menyiapkan makanan dan peralatan untuk makan, tiba-tiba bel rumah berbunyi, menandakan sedang ada tamu yang datang.

Nina yang kebetulan sedang mengelap piring dan sendok pun menawarkan diri untuk membuka pintu.

"Biar Nina aja yang buka," ujarnya seraya berlalu.

Nina memutar kenop pintu dan melihat siapa yang tengah berkunjung di siang-siang bolong begini.

"Mbak Nina," sapanya sambil tersenyum.

Nina tertegun, antara ingin mengusir dan menyuruh perempuan itu untuk masuk. Ia bingung. Berbagai macam kemungkinan berkecamuk di dalam pikirannya. Takut kalau diusir ia terkesan jadi orang yang begitu jahat, tapi kalau menyuruhnya masuk, nanti mami dan yang lain marah. Nina tahu, seharusnya perempuan itu —Feby tidak boleh menampakkan dirinya lagi di rumah atau pun di hadapan keluarga Ganesa. Apalagi mengingat masa kelam di antara adik iparnya dan Febi semakin membuat Nina dirundung rasa galau.

"Siapa sih, Na. Lama banget bukain pintunya," teriak mami yang sepertinya saat ini tengah berjalan mendekat ke arah Nina. Nina otomatis merasa gugup.

"Feb. Aku lagi baik hati ini ya. Jadi sebaiknya kamu pulang deh ya, sebelum hal-hal yang tidak kamu inginkan terjadi," ujar Nina mengingatkan.

Namun, bukan Febi namanya jika ia gentar menghadapi keluarga Ganesa. Demi cintanya.

Febi menggeleng keras lalu tersenyum ke arah Nina. Ia tahu kalau niat Nina sebenarnya baik. Tapi saat ini ada yang harus segera ia selesaikan, dan harus mami dan keluarga Ganesa tahu. Karena cepat atau lambat, hal yang terjadi di antara Ganesa dan Febi belakangan ini juga akan terkuak. Dan perihal pembicaraan Febi bersama Ganesa saat ia datang menjenguknya di rumah sakit harus diperjelas. Dan pastinya Febi tidak rela dengan keputusan sepihak Ganesa waktu itu. Yang dengan tega mengakhiri hubungan keduanya. Febi benar-benar tidak rela dan tidak ikhlas. Meski Ganesa sudah menjelaskan bahwa ia sudah memiliki seorang istri, ia tidak akan lari, karena ada sesuatu hal yang harus Ganesa dan keluarganya tahu.

"Kamu?!"

Tubuh Nina menegang saat mendengar teriakan maminya yang sudah pasti melihat keberadaan Febi. Mau tidak mau Nina mendekat dan mencoba menenangkan mami dengan cara mengusap pelan kedua bahu maminya.

"Mi, tenang. Mami nggak mau kan tekanan darahnya naik?" ucap Nina mengingatkan.

Tapi mami seolah mengabaikan ucapan Nina dan justru menatap Febi dengan nyalang.

Mendengar teriakan mami yang menggelegar membuat Jean, Yana, Nina, Bagas, Vano dan Radit segera keluar. Dan betapa terkejutnya mereka saat menyadari hal yang membuat mami berteriak marah.

"Kamu?!" Bagas mendekat ke arah Nina dan mami, ikut menatap tak suka ke arah Febi.

Febi melangkahkan kakinya memasuki rumah itu dan ikut menatap keluarga itu satu persatu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Berani-beraninya kamu dateng ke sini?! Bukannya sudah saya bilang, kamu jangan berani muncul di hadapan keluarga kami lagi!" teriak Bagas kesal.

Febi menghela napas pelan lalu mencoba meraih kedua tangan mami. Namun, mami menolak dan menepis tangan Febi. Febi tak menyerah, selanjutnya ia berlutut di hadapan mami dan memohon maaf. Baik mami dan anak-anaknya pun menatap kelakuan Febi yang di luar prediksi.

"Mbak, jangan gitu," ujar Jean seraya berniat untuk membantu Febi berdiri. Sebenarnya Jean merasa kasihan dengan perempuan itu. Jean memang tak tahu apapun mengenai Febi sehingga ia diperlakukan seperti sekarang ini, namun jiwa kemanusiaan Jean selalu tersentuh kala melihat adegan-adegan yang menurutnya begitu keterlaluan.

"Jean! Jangan berani-beraninya kamu sentuh dia!" teriak mami menghentikan upaya Jean untuk membantu Febi. Kedua tangan Jean pun menggantung di udara, dan akhirnya kembali ke sisi tubuhnya.

"Mi, aku–"

"Jangan berani-beraninya kamu ngomong lagi. Pergi kamu!" sela mami sambil mengusir Febi dari hadapanya. Namun Febi seolah terpaku, tak sedikit pun ia berpindah dari tempatnya.

"Mi... Aku hamil anak Gaga!" ujar Febi dengan lantang.

Ucapan Febi sukses membuat orang-orang yang ada di ruangan itu membatu. Kedua bola mata mami bahkan sudah membulat kaget, wajahnya memerah, kedua tangan di sisi tubuhnya pun ikut terkepal erat.

"Cih. Jangan mengada-ada kamu ya! Gaga nggak mungkin melakukan itu!"

"Sumpah, Mi. Saat ini aku mengandung anak Mas Gaga!" elak Febi dengan lantang. "Mi... Maaf."

Semua ucapan Febi sukses menohok hati Jean, bagaimana bisa perempuan yang tengah berlutut di hadapan maminya itu tengah mengandung anak suaminya? Memangnya, apa hubungan keduanya? Kenapa perempuan itu sampai mengaku kalau di dalam rahimnya tengah tumbuh janin, calon anak mereka —suaminya dan Febi.

Tidak mungkin.

Kedua mata Jean yang sudah memerah menahan tangis pun akhirnya menangkap sosok laki-laki yang tengah berdiri di ujung ruangan dengan tatapan bingung. Seolah ia benar-benar tak tahu menahu mengenai kejadian saat ini. Kejadian bahwa ia punya anak dari perempuan lain.

Apakah kamu sedang berpura-pura, Mas?

***

Ciaaat! Apdet! Hihihi
Nggak papa ya, pendek. Biar end-nya lamaan dikit. Wkwkwk maksa deh ya.

Aduh, gimana ini. Mas Gaga punya anak sama Febi?
Gimana tanggapan kalian?
Beneran nggak sih dia anak mas-ku? Eh, mas-nya Jean maksudnya. Hahaha

Okay, lets vote, komen, kritik dan sarannya.

Ops! Cek typo juga ya guys. Soalnya aku ngetiknya di-hp, jadi rada-rada gimanaaa gitu. Nggak yakin. Heehe

Okay, see you ya!

Love,
Windy Haruno

J E A N [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang