Jean mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang ada di ruang makan. Jari telunjuknya mengitari sudut gelas dengan pelan.
Kembali bayangan saat perempuan bernama Febi itu datang dan mengacaukan semuanya terputar dengan jelas dalam ingatannya. Mulai saat ia mendengar teriakan marah mami sampai pengakuan tak terduga darinya. Semuanya seperti mimpi bagi Jean.
Saat tengah asyik melamun, Jean dikagetkan dengan tepukan ringan pada bahunya. Ia pun segera menoleh dan menemukan mami di sampingnya.
Jean tersenyum tipis dan mempersilakan mami untuk duduk di sampingnya.
"Haus juga ya, Mi?" tanya Jean sambil menyodorkan sebuah gelas dan menuangkan air ke dalamnya. "Ini, Mami minum dulu."
Bukannya mengambil gelas yang disodorkan Jean, mami justru mengambil tangan Jean yang bebas dan menggenggamnya dengan sedikit erat.
"Je..." Mami menghela napas pelan lalu menatap kedua mata Jean yang menatapnya bingung. "Soal Gaga..." Mami menggantungkan ucapannya. Jean bahkan sampai tak pernah mengalihkan tatapannya dari mertuanya itu.
Merasa mami belum sanggup untuk melanjutkan ucapannya, Jean pun berinisiatif untuk mengelus pelan punggung tangan mami yang masih setia menggenggam erat tangannya.
"Mi. Mami jangan banyak pikiran dulu ya. Sebaiknya Mami istirahat dulu." Jean menarik tangan mami dan bersiap untuk menuntunnya menuju kamar untuk beristirahat. Namun, baru saja Jean ingin melangkah, mami justru menariknya masuk ke dalam pelukannya.
Jean terkejut dengan perlakuan mami, namun sesaat setelah mendengar isakan tangis mami, Jean akhirnya membiarkan mami mengeluarkan semua perasaan kecewanya dengan memeluknya erat.
Jean menepuk pelan bahu mami yang sedikit berguncang. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Maka ia biarkan mami terisak di bahunya, semoga dengan begitu perasaan mami bisa jadi lebih baik.
"Je... Maaf ya, Nak."
Jean menggeleng pelan. "Kenapa, Mi? Mami nggak salah apa-apa. Kenapa Mami harus minta maaf?"
Mami melepas pelukannya dan beralih menatap kedua mata Jean. "Je. Mami nggak tau mau ngomong apa lagi soal Gaga. Mami... Mami malu sama kamu, Je. Mami kecewa, marah, kesal sama Gaga. Mami ngerasa gagal ngerawat Gaga, Je." Mami kembali terisak membuat Jean ikut merasa sedih.
Perihal kejadian tadi, sebenarnya Jean sendiri cukup kecewa. Bayangkan saja, jika tiba-tiba seorang perempuan datang ke rumahmu dan mengaku bahwa di dalam rahimnya saat ini tengah tumbuh janin, calon anak suamimu dengan perempuan itu. Kecewa. Sudah pasti. Bahkan Jean pun mati-matian menahan semua sesak di dadanya dan mencoba berpikir jernih walau pun cukup sulit.
Mau marah? Mau teriak-teriak sampai tetangga mendengar pun semuanya tidak akan kembali seperti semula. Hanya buang-buang tenaga, lebih baik jikalau ia berpikir, bagaimana cara mengatasi masalahnya saat ini, dan tentunya mencari bagaimana cara agar hatinya kembali menyatu dari kepingan-kepingan rasa sakit yang baru saja ditorehkan Ganesa padanya.
"Mi, Mami istrahat dulu ya, Mi. Soal Mas Gaga–"
"Nggak bisa, Je. Mami udah sesakit ini denger kenyataan kalau Gaga bisa sekejam itu. Gaga nggak pantas bikin kamu kecewa seperti ini. Mami kecewa, Je. Kecewa."
Jean mengangguk mengiakan ucapan mami. "Mi, jangan nyalahin diri Mami, ya. Pasti nanti ada jalan keluarnya kok, Mi."
Mami menatap Jean dengan tatapan penuh sayang. Kembali mami menggenggam tangan Jean. "Je, kamu boleh bilang apa pun sama Mami. Ayo Je. Mami tau kamu memendam semuanya sendiri. Terserah kamu sekarang, Je. Mau pukul Mami juga nggak pa-pa."
KAMU SEDANG MEMBACA
J E A N [SUDAH TERBIT]
RomancePemesanan buku JEAN bisa ke Shopee @aepublishing . Semua orang mau menikah. Menghabiskan sisa hidup dengan orang yang dicintai dan mencintai kita. Suka dan duka berbagi bersama. Saling menguatkan dan saling menyayangi. Begitu pun dengan Jean, ia be...