BAB 22

12.4K 1.4K 55
                                    

Sejak perbincangan di antara Ganesa dan Jean kemarin, keduanya terlihat begitu kaku, bahkan untuk saling menyapa pun mereka seperti orang yang saling tak kenal yang berusaha untuk memperkenalkan diri.

Ya, efek perbincangan serius kemarin memang berdampak begitu kuat terhadap keduanya.

Saat Ganesa berangkat kerja pun, Jean hanya menyiapkan keperluan yang akan dibawa oleh suaminya itu, tanpa ada sepatah kata pun. Dan itu sangat membuat Ganesa begitu risih. Ia tak suka dengan perubahan Jean yang berubah seolah seperti tak saling mengenal.

Ganesa menarik tangan Jean yang terlihat tengah sibuk. Atau sengaja menyibukkan diri? Entahlah. Yang pasti Ganesa harus menghentikan kelakuan Jean yang begitu mengganggunya.

"Je."

Jean menatap tangan Ganesa yang menggenggam lengannya, kemudian dengan lembut ia melepaskan pegangan itu.

"Ada apa, Mas? Ada yang kelupaan ya?"

Ganesa menggeleng kaku lalu menautkan tangannya dengan tangan Jean.

"Je, please. Jangan kayak gini. Aku... Aku nggak suka kamu kayak sekarang ini, aku seolah nggak bisa ngenalin istri aku sendiri. Aku seolah berada satu atap dengan orang yang aku nggak kenal," ujar Ganesa merasa frustasi.

Jean tersenyum tipis seraya mengelus pelan lengan Ganesa. "Aku nggak kayak gitu kok, Mas."

Ganesa melepas tautan jemarinya pada jemari Jean dan beralih memegang kedua bahu istrinya itu.

"Nggak, Je. Sejak pembicaraan kita kemarin, kamu berubah. Kamu bukan Jeanku, Jean istriku," aku Ganesa. Ia kemudian menunduk lemas, menatap ubin yang saat ini ia pijaki bersama Jean. "Je, aku mohon. Aku nggak mau kita pisah."

Dalam hati, Jean benar-benar merasa sakit. Melihat Ganesa terus memohon membuat egonya sedikit tersentil. Tetapi, kembali bayangan anak di dalam rahim Febi membuat Jean mau tak mau hanya bisa terdiam.

"Mas, udah hampir jam tujuh. Nanti kamu telat ke kantornya," ujar Jean seraya melepas pegangan Ganesa pada kedua bahunya. "Aku tunggu di bawah ya, Mas."

Jean berlalu, meninggalkan Ganesa dengan rasa sakit yang masih mendera hatinya. Apakah keputusan Jean sudah final dan tidak bisa diubah lagi?

"Ya Allah, aku nggak tau harus gimana lagi," ujar Ganesa seraya mengacak pelan rambutnya.

***

Saat Jean sedang menuruni tangga, ia melihat beberapa anggota keluarga dalam rumah itu sudah siap di kursi masing-masing. Hanya saja, Jean tak menemukan keberadaan mami, mbak Nina dan mbak Hana.

"Loh, Mbak Nina dan Mbak Hana mana, Mbak?" tanya Jean pada Yana yang kebetulan juga sudah bergabung bersama yang lain.

"Oh, mereka lagi ada di taman belakang, Je. Lagi main sama cucunya Mami," jawab Yana sambil tersenyum lembut. Jean selalu suka senyuman mbak Yana, adem dan bikin emosi seketika jadi hilang.

Jean mengangguk sebagai respon atas ucapan mbak Yana. Sementara ia sibuk menyiapkan piring, Ganesa kini ikut menyusul dan mengambil posisi duduk tepat di samping Jean.

Jean menyimpan piring tepat di hadapan Ganesa lalu kemudian mengambilkannya beberapa lembar roti yang sudah diolesi selai rasa cokelat.

Aura ruang makan yang tadinya biasa saja tiba-tiba berubah menjadi mencekam saat kedatangan Ganesa. Hanya ada dentingan piring yang beradu dengan garpu. Raka sampai mengernyit bingung dengan kecanggungan yang terjadi. Anak laki-laki itu bahkan sudah menyenggol lengan mbak Yana yang kebetulan sedang memberinya segelas susu.

Yana menutup kedua matanya selama dua detik untuk memperingatkan Raka agar sebaiknya dia diam saja. Namun yang namanya Raka itu tidak betah dengan kecanggungan dan ketegangan seperti sekarang ini. Apalagi keempat saudaranya itu memang terlihat khusyuk melahap makanannya, tapi mereka tidak bisa membohongi Raka dengan ekspresi masing-masing yang seperti sedang menahan amarah.

Raka berdehem pelan, membuat mbak Yana memelototkan kedua matanya ke arah anak bontot mami itu.

Raka menahan senyumnya dan kembali berdehem pelan. "Mbak Je, aku mau tambah rotinya tiga lembar dong. Satu lembar pakai selai cokelat, satu lembar pakai selai nanas, dan yang satu lembar pakai selai kacang. Tolong ya, Mbak," pinta Raka seraya melirik diam-diam ke arah saudara-saudaranya yang masih terlihat serius dengan sarapan masing-masing.

"Oh iya, bentar ya, Ka." Raka mengangguk pelan seraya menunggu Jean selesai mengolesi rotinya.

"Mbak Je. Mbak Je cantik banget deh hari ini. Tapi sayang, kok bawah matanya hitam sih? Celaknya nggak waterprof ya?" tanya Raka asal.

"Eh? Masa sih, Ka?"

Raka mengangguk pelan sambil menerima sodoran roti sesuai keinginan Raka.

"Ka, jangan godain Mbakmu," ujar mas Bagas dengan nada tegas.

"Akhirnya, Mas Bagas ngomong juga," ucap Raka seraya mengusap dadanya dramatis. "Lagian, kenapa pada diem-dieman sih? Pada nggak dapet jatah ya tadi malam?"

Mas Vano yang kebetulan duduk berdampingan dengan Raka pun langsung saja memukul pelan kepala adiknya itu.

"Ngomong kayak keran bocor. Sana kuliah," ujar mas Vano kemudian beranjak dari kursinya. Raka mencibir pelan.

"Pasti beneran nggak dapet jatah," gumam Raka.

Bagas dan Radit ikut berdiri, mengambil tas kerja masing-masing lalu berjalan menuju taman untuk pamit pada mami.

Ganesa pun telah selesai. Segera setelah meneguk air putihnya, ia pun ikut beranjak.

"Je, aku udah mau berangkat," ujar Ganesa seraya menautkan jemarinya pada jemari Jean. Ganesa kemudian mengajak Jean berjalan hingga mereka berdua tepat berada di samping mobil Ganesa.

"Mas, nggak pamit sama Mami dulu?"

"Oh iya." Ganesa berjalan meninggalkan Jean lalu berlalu menuju taman belakang.

Jean menggenggam tangannya yang tadi digenggam oleh Ganesa. Ada secuil rasa senang saat mengingatnya, namun kesenangan itu tak bertahan lama kala lagi-lagi bayangan perempuan lain yang tengah menghabiskan waktu bersama suaminya sewaktu berada di Bali kembali menyeruak dalam pikirannya.

Sementara asyik berkutat dengan pemikiran-pemikirannya, tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang.

"Mbak, kenapa ngelamun? Masih pagi loh ini."

Jean menggeleng pelan sambil tersenyum tipis ke arah Raka. "Hati-hati ke kampusnya. Salam sama temennya."

Kening Raka mengerut. "Temen? Siapa Mbak?"

"Itu loh yang waktu kita ke pasar bareng. Yang katamu kamu lagi suka sama dia."

Ucapan Jean sukses membuat wajah putih Raka sedikit memerah. "Wah, Mbak masih inget aja. Dia lagi sakit Mbak, jadi nggak ke kampus."

"Oh ya? Sakit apa?"

"Itu, dia lagi demam, Mbak. Soalnya kemarin katanya dia kehujanan waktu pulang nganterin nyokapnya ke pasar."

"Semoga cepat sembuh deh ya."

"Iya, Mbak. Rencana nanti aku mau jenguk dia."

"Sendiri?"

Raka menggeleng. "Nggak lah, Mbak. Sama temen-temen yang lain.

"Hmm, bawain buah atau apa gitu, Ka."

"Iya, Mbak," ujar Raka seraya memasang helmnya. "Jangankan bawa buah, bawa mahar aja aku siap kok, Mbak."

Jean terkekeh pelan mendengar ucapan Raka. Setidaknya, banyolan Raka bisa membuatnya sedikit melupakan masalah yang terjadi dalam rumah tangganya.

***

P.s: cek typo.

J E A N [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang