BAB 14

11.8K 1.3K 94
                                    

                 


Sejak kepergian mas Radit, mbak Hana dan juga Jean, Ganesa mematung. Menatap meja yang tadi berisikan kotak bekal untuknya dan kini sudah kosong melompong. Kejadian beberapa menit yang lalu tak pernah terbayang di benaknya. Sungguh. Bukan ini yang ia inginkan, bukan. Bukan kemarahan mas Radit dan tatapan yang tak bisa ia artikan dari Jean.

Ganesa menjambak rambutnya menggunakan kedua tangannya dengan sangat keras. Sampai dua tangan seseorang memegang erat kedua tangan Ganesa agar melepaskan cengkeraman menyakitkan itu. Ganesa lupa, bahwa sosok Feby ternyata masih setia menemani kegamangannya saat ini.

Ganesa mendongakkan kepalanya, menatap Feby yang juga ikut menatapnya dengan tatapan iba.

"Mas, jangan begini." Ujarnya pelan.

Ganesa menutup kedua matanya lalu menarik napas dengan pelan. Kembali, kedua matanya terbuka, menatap Feby yang masih setia di sampingnya.

"Feb, ini salah." Gumam Ganesa dengan nada pelan.

Kening Feby mengerut. "Maksud, Mas?"

Perlahan, Ganesa melepaskan genggaman Feby pada tangannya lalu memberi jarak antara dirinya dan juga perempuan itu. "Ini salah, Feby. Seharusnya tidak begini."

Feby kembali mendekat, namun Ganesa buru-buru menahannya. "Mas, tenanglah. Ada aku di sini." Ujarnya dengan nada lembut, berusaha menenangkan kekacauan yang dirasa Ganesa.

Ganesa menggeleng pelan. "Nggak, Feby. Tolong tinggalkan aku sendiri." Pinta Ganesa

"Tapi, Mas..."

"Please..."

Mendengar nada permohonan yang keluar dari bibir Ganesa membuat Feby mau tak mau mengurungkan niatnya untuk menenangkan laki-laki yang terlihat frustasi di depannya itu. Perlahan, Feby beranjak dari sofa itu lalu berjalan meninggalkan Ganesa.

Ganesa mencengkeram kemeja tepat di dadanya, meremasnya dengan kuat. Berusaha menghentikan rasa aneh yang meliputi dadanya. Rasa yang sudah bertahun-tahun ia sembunyikan, dan berusaha ia bunuh. Tatapan Jean, entah mengapa bisa begitu mengusiknya. Mengusiknya hingga kembali hati Ganesa sakit.

"Argghhh!" Ganesa memukul meja kayu yang menjadi saksi kesakitannya kembali muncul dengan keras. Tidak peduli dengan suara ketukan pintu ruangan Ganesa yang terketuk oleh seseorang. Mungkin seseorang yang mendengar pukulan keras itu membuatnya memberanikan diri untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam ruangan itu. Namun, Ganesa tidak peduli. Ia segera bergegas menuju meja kerjanya, mengambil ponsel dan juga tas kerja lalu beranjak meninggalkan ruangan itu.

Saat laki-laki itu keluar dari ruangannya, semua orang yang telah kembali ke kubikelnya masing-masing justru menatap Ganesa dengan tatapan aneh. Pasalnya, tidak biasanya atasannya itu berlagak seaneh hari ini. Sapaan ringan yang biasa ia lontarkan pada setiap karyawan yang ditemuinya pun sama sekali enggan untuk keluar dari bibirnya.

"Pak Ganteng kenapa itu?" tanya Hera yang merupakan salah satu karyawan di perusahaan itu.

"Nggak tau, Her. Mungkin lagi PMS." Ujar Tito asal.

Hera menjitak kepala orang yang bernama Tito itu dengan cukup keras. "Mulutmu, To!"

"Ya elu sih, nanyanya aneh. Sudah pastilah si Bos lagi marah." Ucapnya seraya mengusap pelan kepala yang berhasil kena jitakan mesra dari rekannya.

"Hhh, nggak biasanya gitu. Biasanya kalo pun dia lagi bad mood, tetep nyempetin senyum. Walau pun tipiis."

"Ceritanya lo kecewa gitu?"

Hera menggedikkan bahunya, malas menjawab pertanyaan Tito.

***

Ganesa menghentikan laju mobilnya dan melirik sekilas tempat yang ia datangi. Marina Club. Entah mengapa ia malah berakhir di tempat ini. Yang jelas saat ini ia ingin menjernihkan pikiran dan kalau bisa hatinya juga.

Sudah berapa lama ia tidak menginjakkan kakinya di tempat ini. Sejak kepergian Ferdy ke London mungkin. Ferdy adalah teman seperjuangan Ganesa di SMA sampai kuliah S1. Dan saat laki-laki itu memutuskan untuk mengambil S2-nya di London, Ganesa jadi tidak ada gairah lagi walau hanya untuk sekadar nongkrong di tempat hiburan itu. Dan saat ini, kembali ia saling menyapa dengan beberapa pegawai yang ada di tempat itu. Tidak banyak berubah, mungkin hanya beberapa karyawan baru yang belum ia kenal.

Ganesa melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Pukul dua lebih enam menit. Ganesa kemudian mengambil posisi duduk di dekat meja bar, ia pun segera meminta segelas minuman beralkohol yang segera di berikan oleh sang bartender.

Ganesa meminum minuman beralkohol itu dengan sekali tegukan dan kembali meminta beberapa gelas. Entah sudah gelas keberapa, Ganesa kembali melirik ke arah arlojinya. Pukul lima lebih tiga belas menit. Ganesa memutuskan untuk pulang, walau dengan keadaan setengah sadar, ia masih merasa yakin untuk menyetir kendaraannya sendiri. Barry yang merupakan rekannya di club itu sebenarnya sudah melarang lelaki dewasa itu untuk berkendara di saat keadaannya seperti sekarang, namun Ganesa dengan kekeraskepalaannya membuat Barry mau tak mau membiarkannya. Bahkan godaan perempuan-perempuan di club itu tak mengurungkan niat Ganesa untuk segera pulang. Sementara mulutnya terus bergumam tak jelas.

"Aku harus pulang, aku harus jelasin semuanya!" cerocos Ganesa.

Ganesa menggeleng pelan, berusaha mengfokuskan penglihatannya. Selama di perjalanan, Ganesa terus bergumam tak jelas. Berusaha mengeluarkan semua ucapan-ucapannya yang tertahan akhir-akhir ini.

"Betapa menyedihkannya sosok Ganesa!" gumam Ganesa pelan. "Maaf, Je."

Tiba-tiba penglihatan Ganesa menghitam. Hal terakhir yang ia tangkap dari indera pendengarnya hanyalah bunyi tabrakan yang membuat kepalanya terbentur cukup keras.

***

Jean mengusap pelan lengannya sembari berjalan mondar-mandir di teras rumah menantikan kepulangan suaminya. Ia tahu, sangat tahu ada yang tidak beres dengan suaminya itu tapi berusaha ia tahan. Mungkin saja ia suudzon kan? Dari pada ujung-ujungnya bertengkar, Jean lebih memilih untuk bungkam saja.

"Je, masuk, Nak. Di luar dingin." Panggil mami.

"Sebentar lagi, Mi. Nanti kalo Mas Gaga pulang, aku masuk." Ujar Jean sambil tersenyum lembut.

"Masmu pasti pulang kok, Nak. Tunggu di dalam saja, ya." Pintah mami.

Baru saja Jean akan menanggapi ucapam mami, tiba-tiba ponsel yang sedari tadi digenggamnya bergetar. Di layar benda pipih itu tertera nomor baru, membuat kening Jean mengerut. Awalnya Jean tidak mengidahkan, namun nomor baru itu terus menelponnya, dan akhirnya setelah dua kali mengabaikan, Jean mencoba men-dial panggilan itu.

"Assalamualaikum, halo?"

"..."

"Ya, benar. Siapa ini?"

"..."

"APA?"

***

Apdet! Apdet! Beuh, akhir-akhir ini rajin apdet yes, wkwkwk.

Hayoloh, siapa yang nelpon Jean? Kok kaget gitu? Hihihi...


Jangan lupa, follow akun IG-ku (@windyharuno)

Oke deh, ditunggu vote, komentar, kritik dan sarannya.

P.S: Cek typo guys.


Love,

Windy Haruno

J E A N [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang