28

161 21 1
                                    

Waktu bagi sang bintang berkerlip sudah habis, kini giliran matahari yang akan kembali menampakan dirinya yang saat ini tengah malu-malu. Di saat orang lain masih bergelut dengan selimut di atas kasur yang nyaman. Pria dengan garis wajah tegas itu malah tengah berdiri di atas balkon kamarnya sembari menelanjangi bangunan-bangunan yang bisa di jangkau oleh irisnya.

Jika kalian berpikir bahwa pria itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya, kalian salah, karena faktanya pria yang masih lengkap dengan jaket boomber dan celana jins panjang hingga mata kaki itu sudah berdiri di sana sejak malam kepulangannya dari acara pensi hingga matahari yang baru berencana untuk terbit.

Sejak malam, hingga terbitnya sang mentari, tidak selangkahpun  Revan melangkahkan kakinya dari tempatnya berpijak, hanya posisinya saja yang terkadang berubah, mungkin untuk menghalang pegal.

Sedangkan pikirannya berkelana, di malam yang paling dinantikannya, malam di mana semua Rencana yang di usulkan sang kakak Evelyn yang terdengar begitu sempurna dan begitu mustahil untuk gagal, dan pada nyatanya rencana yang sudah di susun dan di perkirakan dengan 95% diterima dan 5% di tolak,  begitu di luar ekspetasinya.

Bagaimana mungkin, kemungkinan terkecil yang bahkan hanya 5% bisa mengalahkan besarnya angka 95%?

Dan Revan berpikir bahwa pepatah yang mengatakan Tidak ada yang mustahil itu ternyata benar adanya.

Bagaimana mungkin di saat Renata tengah tersenyum kearahnya dengan airmata yang mengenang di kedua pelupuk matanya, yang Revan sangat yakin bila Renata begitu terharu dan akan luluh, pada akhirnya hanya melengos pergi begitu saja meninggalkan lapangan yang di penuhi ratusan manusia yang tengah menyorot kearah mereka.

Renata memang tidak mengatakan apapun, hanya melengos pergi tanpa menjawab pertanyaan Revan. Renata tidak mengatakan bahwa dia menolak Revan ataupun menerimanya, dan itulah yang membuat pria itu terus bergulat dengan hati dan pikirannya sejak dirinya turun dari atas panggung dan meninggalkan harga dirinya disana, meninggalkan rasa percaya dirinya bahwa perasaan Renata masih sama, bersama dengan tetesan airmata yang jatuh dari kedua kelopak mata yang selalu membuatnya terpana.

Dan meskipun Renata tidak menjawab apapun, tapi melihat bagaimana cara Renata melengos pergi begitu saja, Revan meyakini bahwa Renata---Sudah menolaknya.

Pria itu mengacak rambutnya frustasi, diikuti erangan tertahan dari kedua bibirnya hingga membuat giginya gemertak. Revan lalu berjalan memasuki kamarnya dengan langkah gusar, menuju kearah kamar mandi, dirinya perlu mendinginkan kepalanya dengan air sedingin es.

Dan di saat Revan sudah meyakini pada dirinya sendiri bahwa Renata sudah menolaknya, di tengah langkahnya menuju kearah pintu putih yang menghalangi kamar mandi di baliknya, suara hatinya membuat keyakinannya kembali goyah dan harapan yang dikirannya sudah lenyap, kini kembali menampakan diri.

Lalu, untuk apa dia menyunggingkan senyum semanis madu yang akan terus awet dan tatapan seteduh angin yang berhembus lembut pada langkah kepergiannya?

***

Mobil sport berwarna dark blue itu sudah sejak lima belas menit yang lalu bertengker manis di depan sebuah rumah mewah yang sudah tidak asing baginya. Revan terus memandang kearah samping kiri kaca mobilnya, memandang rumah yang tertutup oleh tembok setinggi 3 meter.

Revan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, pukul 12:27, lalu pria itu menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum tangannya membuka pintu mobil yang mesinnya sudah dimatikan sejak kuda besi dark blue itu menyentuh aspal depan rumah Renata. Ya, Revan sedang berada di depan rumah Renata saat ini.

Dia tidak boleh terus tenggelam dalam prasangka-prasangka yang kebenarannya masih abu-abu. Dan berkat dorongan kuat dari Evelyn yang menyuruhnya agar bersikap sebagai mana sejatinya seorang pria, Revanpun dengan membawa segala dugaannya berhasil menginjakan kaki di tempat ini.

Not Like YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang