31

147 19 13
                                    

“...Dan sejak saat itu, Riko jadi lebih sering kambuh. Mama sama papa bingung harus apa, mereka nggak mau membawa Riko kerumah sakit jiwa karena mereka nggak mau keberadaan Riko terekspos, bagi mereka Riko adalah aib yang hanya akan mempermalukan mereka dan mencemarkan nama mereka. ‘apa kata teman-teman bisnis papa dan teman-teman sosialita mama kalo sampe mereka tau anak kita ada yang gangguan jiwa?’ itu adalah perkataan mama yang membuat hati gue sakit, karena bagaimanapun keadaannya gue adalah orang yang paling dekat dengan Riko, gue menyayangi dia.” Niko menarik napas sesaat sebelum melanjutkan ceritanya.

“Seminggu kemudian, Riko menghilang. Dia kaubur, mama sama papa adalah orang yang paling khawatir saat itu, mereka takut kalo keberadaan Riko terekspos. Tapi setelah sebulan hilangnya Riko, keadaan baik-baik aja sampai mama dan papa sudah melupakannya. Tapi enggak dengan gue. gue terus nyari tau keberadaan Riko, gue sampai pergi ke rumah dokter yang selama ini nanganin Riko. Tapi saat gue sampai di sana, pengurus rumahnya bilang bahwa dokter itu udah pindah keluar negeri seminggu sebelumnya. Kata penjaga rumahnya dokter itu pergi bersama anak perempuannya dan anak laki-laki yang katanya mirip gue, hanya saja wajahnya lebih pucat. Dan dari situ gue udah berhenti nyari tau tentang Riko karena menurut gue dia aman karena selama pengamatan gue, Dokter itu peduli pada Riko, dan gue tau bahwa Riko akan baik-baik saja bersamanya.”

Niko terdiam sejenak,  agak ragu mengatakannya. Tqpu mau tidak mau,  dia harus menyerukan apa yang diyakininya.

“Riko terobsesi dengan Renata sejak dulu, dan melihat foto itu, gue yakin bahwa Riko yang udah nyulik Renata.”

Jelas Niko panjang lebar, sedangkan orang-orang di sekitarnya menunjukan ekspresi terkejut, kecuali Celine tentunya.

***

Bodoh, pikirnya. Seandainya saja malam itu dia berlari dengan senyum bahagia dan mengatakan bahwa dia menerima Revan kembali.

Seandainya saja malam itu gengsi tidak menggerogotinya.

Seandainya saja wajah Evelyn yang tengah tertawa bersama Revan saat memasuki cafe tidak melintas di kepalanya.

Seandainya malam itu dia menunggu di mobil hingga Bela kembali dan tidak sembarangan menaiki taxi yang jelas-jelas aneh karena terparkir di depan gerbang sekolahnya.

Seandainya saja malam itu dia tidak berbalik dan membohongi perasaannya sendiri, mungkin dia tidak akan menyesal dan hidupnya tidak akan pernah hancur.

Gadis itu terdiam dengan wajah merah padam menahan emosi dan mata yang sembab tanda habis menangis. Tangannya sudah tidak terikat seperti pagi tadi dan gaun tidur putih yang tadi di gunakannya sudah tidak lagi membalut tubuhnya. Kini hanya sebuah selimut tebal berwarna putih yang membungkus tubuhnya hingga ke leher membuat hanya kepalanya terlihat menyembul di baliknya.

Renata meringkuk, bersandar di kepala springbad berukuran king size itu dengan pandangan kosong, lalu gertakan dari giginya kembali terdengan akibat emosi yang terlalu besar yang tak kunjung padam, malahan semakin lama semakin memuncak. Apalagi ketika matanya melirik bercak-bercak darah yang seperti noda permanen yang terpampang jelas di atas seprei putih di depan kakinya.

Tidak ada setetes air matapun yang keluar dari balik mata yang memerah itu. Hanya ada tatapan dingin yang kosong, mungkin karena pasokan air matanya sudah mengering.

Tangannya mencengkram lebih kuat kedua lututnya yang tertekuk di balik selimut tebal itu. Seakan merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Jika tadi pagi keinginan terbesarnya adalah bagaimana cara agar dirinya bisa keluar dan terbebas dari ruangan sialan itu, keni tidak lagi.

Saat ini apa yang memenuhi pikirannya adalah cara apa yang harus dia lakukan untuk mengakhirinya hidupnya yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping tanpa sisa, karena hartanya yang paling berharga sudah di rengut paksa  oleh seorang psikopat gila.

***

“Sebahagia itukah?” Gadis dengan kedua sudut bibir yang mengembang cerah itu menghampiri pria yang juga memasang senyum tak kalah bersinarnya. Pria itu berdiri dengan pandangan mengarah pada kolam renang yang ada di halaman belakang rumah itu dari balik balkon.

“Akhirnya dunia gue tiba, berada bersama gue dan bisa gue miliki seutuhnya.”

Gadis berparas cantik dan terkesan manis dan polos itu tertawa, tawa yang menggemaskan sebenarnya jika dalam keadaan yang--- normal.

“Gimana rasanya?”

“Luar biasa.” Ujar pria itu, “Lo kayaknya harus cepet-cepet bawa cowok yang kata lo bisa mengumbar tawa kesemua orang itu kesini deh Vin.” Sambungnya.

Mendengar itu, gadis itu langsung mencengkram leher pria di sampingnya lalu mendorongnya kuat hingga punggung pria itu membentur tembok di belakangnya dengan sangat keras.

“Dengerin gue ya, Enrickho Erlandio.” Tegas gadis itu dengan suara yang bisa membuat siapa saja yang mendengarnya akan bergidik ngeri dan akan takluk begitu saja pada gadis ini karena ketakutan apalagi di tambah dengan sebuah cengkraman kuat pada salah satu tempat saluran oksigen mereka. Yah, setdaknya pernyataan itu hanya untuk mereka yang kewarasannya tidak diragukan.

“Nama gue sekarang adalah Dhea Wulandari. Arvina Gieska Kendard udah mati!” tegasnya sekali lagi.

“Nama itu udah ikut TERKUBUR bersama Veranda Kendard di bawah tanah yang tertutup lantai dengan air di atasnya.” Jelasnya dengan penuh penekanan dan nada yang sangat mengerikan, dengan pandangan menusuk dan sekali melirik kearah kolam renang yang berada di bawah mereka ketika dirinya menyebut kata ‘terkubur’ dengan penuh penekanan.

Bukannya meringis atau pada keadaan normal, orang yang berada pada situasinya pasti akan memohon, meminta tolong atau bahkan merontak dan berteriak agar dilepaskan, Riko malah tertawa nyaring di balik tenggorokannya yang terhimpit dari luar oleh kuatnya cengkraman tangan Dhea.

Hal itu membuat Dhea berdecak kesal dan melepaskan cengkramannya ketika menyadari jika apa yang di lakukannya hanya sia-sia dan membuang waku dan tenaga saja, karna hal kecil seperti sangat mustahil untuk menjinakan seorang Enrickho Erlandio.

Riko masih tertawa meski di iringi dengan sedikit batuk karena oksigen yang di hirupnya masih sedikit tersendat.

“Oke-oke, Dhea Wulandari.” Adalah kalimat pertama yang di ucapkannya ketika batuk dan tawanya mereda dan tentu saja saat oksigen sudah lancar melewati kerongkongannya.

Riko berdecak, “Ck, sepertinya lo harus cepet-cepet dapatin tuh cowok deh, supaya lo gak semakin sadis kayak gini.” Lanjutnya dengan sedikit menyindir, sedangkan orang yang disindirnya hanya memutar bola matanya malas.

“Dasar, psikopat masokis.” Ujar Dea dengan nada mengejek membuat tawa Riko kembali menggelar.

Oh god, look at yourself, who are you heh?” Riko mengangkat sebelah alisnya lalu kembali melanjutkan kalimatnya yang tak mendapat jawaban sebelumnya, “Apa lo adalah seorang gadis polos tanpa dosa yang tiba-tiba saja kesurupan lalu dengan sadis mengajak pasien tetap ibunya sendiri untuk membunuh seorang dokter psikologis terkenal dan menguburnya di dalam kolam renang rumahnya sendiri?” ejeknya membuat Dhea kembali memutar bola matanya malas.

Shut up.” Ujarnya sembari berbalik dan berjalan meninggalkan Riko yang notabane-nya adalah sahabat sekaligus partnernya dalam segala hal mengingat mereka memiliki masalah yang sama mengenai, well—entah Dhea harus menyebutnya apa.

“Setidaknya gue gak gila.” Lanjutnya ketika melewati pintu balkon yang tidak di tanggapi oleh Riko.

Baru beberapa langkah menjauh, gadis itu kembali namun kali ini hanya berdiri di pintu kaca yang membatasi antara bagian dalam rumah dan balkon.

“Oh ya, kalau cara halus gue nggak mempan, lo harus gantian bantuin gue.” Ujarnya dengan mata memicing kearah punggung Riko.

Sedangkan Pria itu hanya mengangkat kedua bahunya acuh.

“Dengan senang hati.”

Not Like YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang