Prolog

5.5K 163 8
                                    

23 Mei 2018

Katakan saja aku penyusup. Memasuki kamar kakakku secara diam-diam hanya untuk mengambil cokelat yang selalu dibawanya saat pulang kuliah. Tidak, aku bukan untuk mencurinya. Akan kukatakan nanti jika cokelat itu sudah masuk ke dalam perutku seluruhnya. Kakakku itu sangat menyukai cokelat, begitu pula aku. Hanya saja aku lebih sayang uangku jika dibuat untuk membeli cokelat.

Aku yakin, saat ini kakak sedang mandi dengan diiringi nyanyian dari penyanyi Beyonce. Dia tidak akan mendengar langkah kakiku. Aku berlari kecil menuju meja belajarnya untuk mengambil tas berwarna cokelat tua disana. Kubuka satu-satu, dan ya, aku menemukannya. Kali ini, kakakku membeli cokelat yang dibungkus seperti permen kecil. Itu bukan masalah, yang menjadi masalahnya adalah kakakku sepertinya sudah selesai mandi. Suara Beyonce sudah hilang dari balik pintu kamar mandi. Aku cepat-cepat menutup resleting tasnya dan berlari keluar. Akhirnya, aku bebas dari kakakku itu.

°°°

Pagi ini, aku harus kembali mendapat tatapan tajam dari kakakku. Dia mengetahui aksiku dari kakakku yang lain. Oh ya, aku mempunyai kakak kembar. Mereka laki-laki, tapi sangat menyukai kebersihan dan sifatnya juga berbeda. Untuk Kak Ardo Pramudya, dia sangat protektif kepadaku dan anti sekali dengan masalah-masalah kecil. Untuk Kak Ardi Pramudya, dia sangat benci ketika aku mengambil cokelatnya dan orang yang bisa kuandalkan untuk berbagi cerita selain Mama dan Papa.

Tidak ada yang istimewa di keluargaku. Semuanya sederhana, tapi aku sangat menyukainya. Bisa kukatakan keluarga harmonis. Aku tidak pernah melihat mama dan papa bertengkar dan jangan sampai bertengkar. Mungkin yang lebih sering bertengkar adalah aku dengan kakak kembarku.

"Ardi, udah dong. Kasian tuh Lely jadi ciut liat kamu."

Tidak. Aku biasa saja, tidak merasa takut ataupun ciut seperti yang dikatakan Mama.

"Dia yang mulai duluan, Ma."

"Aku kan udah bilang kemarin, Kak," kataku membela diri sendiri.

"Ish, kalian tuh pagi-pagi udah berantem."

Papa menurunkan korannya, lalu mengambil alih cangkir berisi kopi di hadapannya. Kak Ardo berdeham, menginterupsi untuk tidak berdebat lagi. Mama tersenyum ke arahku, sedangkan Kak Ardi hanya bisa mendengus, lalu kembali menyantap sarapannya.

Aku terkekeh. Wajahnya sangat lucu jika sedang kesal. Aksiku mengambil cokelat secara diam-diam dimulai dari tiga bulan lalu, saat Kak Ardi mendapat cokelat dari temannya yang baru pulang dari Malaysia. Dia mengatakan akan memberi cokelatnya kepadaku, tapi sampai pagi tiba, cokelat itu belum sampai di tanganku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan mencari cokelat itu diam-diam. Dua hari setelah kejadian tersebut, Kak Ardi baru mengetahui jika pelakunya adalah aku. Itu saja aku yang berinisiatif untuk mengaku padanya.

Setelah menghabiskan sarapanku, aku berlari kecil menaiki anak tangga untuk mengambil tas. Kulihat sebentar ke jendela kamar, anak tetangga sepertinya belum bangun. Aku mengambil ponsel, lalu meneleponnya untuk memastikan. Kucoba berkali-kali ketika suara operator yang menjawab teleponku.

"LEL, BARENG KAKAK DULU YA? PAPA ADA URUSAN!"

"IYA, PA!"

Aku menghembuskan napas perlahan, kulirik sekali lagi jendela tersebut. Masih sama, tertutup rapat dengan gorden hitam yang menutupinya. Kapan anak itu bisa bangun tepat waktu?

Seharusnya aku tidak memikirkan hal tersebut. Itu sudah menjadi kebiasaannya setiap hari. Bahkan saat akhir pekan tiba, anak itu bisa saja bangun jam sebelas siang. Mandi sebentar lalu makan, dan kembali tidur lagi.

Aku menutup pintu kamar dan berlari kecil menuruni anak tangga. Di ruang tamu, Kak Ardo sudah menungguku dengan satu kaki terlipat di atas paha yang lain. Untung saja hari ini Kak Ardo ada kelas pagi, jadi aku tidak repot-repot untuk berdebat dengan Kak Ardi. Dengan cepat aku memakai sepatu yang berada di rak sebelah garasi dan menyuruh Kak Ardo untuk mengeluarkan motornya.

Sekolahku tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu sekitar tujuh menit untuk sampai di sekolah dengan mengendarai motor kecepatan normal. Setelah berpamitan pada Kak Ardo, aku berjalan memasuki gerbang sekolah. Aku bukan murid yang terkenal pintar seperti Talia anak XI-IPA-1, bukan murid yang cantik seperti sahabatku bernama Kara, juga bukan murid yang suka melanggar aturan seperti Andin anak XI-IPS-3. Aku hanya murid biasa yang tidak terlalu dikenal orang. Mungkin hanya anak satu kelas, petugas PMR, dan anak yang pernah satu kelas denganku saat kelas X.

"Eh, Lely dah dateng!"

Aku menoleh, mendapati Reza Syaifullah atau yang akrab dipanggil Saipul sedang bersandar di kursinya.

"Kenapa?" aku menaruh tas di kursiku.

"Lel, ntar kalo ketemu Bara, bilangin gue yang traktir," ucapnya sembari menghampiriku.

"Kenapa nggak lo aja? Kan lo satu tim sama dia."

"Gue sama yang lain nunggu di lapangan basket indoor. Males kalo harus ke kelasnya, beda arah."

Aku berdecak. Selalu saja begini. Hanya karena aku adalah sahabat Bara dan sekaligus tetangganya, mereka seenaknya saja memyuruhku. Dan yang menjadi masalah juga, aku tidak pernah bisa menolaknya. Aku benar-benar tidak bisa menghilangkan kebiasaanku untuk tidak peduli dengan hal-hal kecil. Kadang aku ingin menjadi seperti Kak Ardo yang sangat anti dengan masalah kecil, sepertinya menyenangkan.

"Bilangin, Lel. Kalo ket–"

"Kalo nggak ketemu?" aku memotong kalimatnya.

"Yaudah."

Lalu Saipul pergi kembali ke tempat duduknya dan mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Untung saja aku tidak memegang benda apapun, kalau saja aku sedang memegang sepatu, aku yakin sudah melemparkannya tepat di wajah Saipul sialan itu.

Mutia Lely Anjani, itu nama lengkapku. Panggil saja Lely. Masih berusia enam belas tahun dan bernapas setiap detiknya.
















Hei hei hei! Ah, nggak kerasa udah nulis cerita yang keenam. Alasan satu-satunya yang mendasari aku membuat cerita adalah, aku sangat hobi mengarang cerita. Apalagi kalo pas mengkhayal jadi istrinya Ceye, hadeh.

Terima kasih untuk pembaca setia atau baru di ceritaku. Terima kasih juga yang selalu kasih vote, komentar, ataupun semangat kepadaku. Makasih juga buat temen-temen yang selalu dukung dan kasih saran, kadang bukan saran yang aku dapet, tapi malah kesel. Udahlah nggak papa, otaknya emang gitu. Maafin juga kalo ada typo atau kalimat yang tidak jelas. Kalian bisa komen dan kasih kritik.




OH YA! Selamat menjalankan ibadah puasa ya bagi yang muslim.

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang