Empat Belas

718 55 1
                                    

30 Mei 2018

"Bye!"

Aku mendengus kesal, menatap Mama dan Papa yang sudah memasuki mobil. Malam ini, mereka akan pergi ke rumah temannya untuk membicarakan soal bisnis. Sedangkan Kak Ardo dan Kak Ardi ada kuliah sore, jadi aku sendiri di rumah. Sebenarnya tidak sendiri, ada Galih disini.

"Mau ngomong apa?" tanyaku sembari masuk ke dalam rumah lagi.

Pintu aku biarkan terbuka, agar tetangga tidak membicarakan hal negatif. Galih mengikutiku, duduk berseberangan di ruang tamu.

"Soal perjodohan."

Aku berdecak, "Kenapa lagi?"

"Emang lo setuju?"

"Ya nggak lah!"

Galih membuang pandangannya ke pintu rumah. Dia bersandar di sofa, beberapa kali menghembuskan napas berat. Seperti ada yang mengganjal di hatinya, tapi aku tidak berani menanyakan.

"Gimana sama Bara?" tanyanya tiba-tiba.

Tubuhku menegang sebentar saat Galih menyebut nama Bara. Aku dan Bara sudah tidak berkomunikasi sejak insiden dia naik ke kamarku. Bahkan terakhir kali aku melihat Bara, saat dia berdebat dengan Kara di kantin. Semuanya terasa asing, seperti tidak saling mengenal. Egoku masih sama, tidak mau menemui Bara untuk saat ini. Biarkan hatiku beristirahat.

"Sori, gue nanya itu. Soalnya, ada yang beda..." ucap Galih lagi dengan kalimat yang menggantung.

Aku memiringkan kepala, menunggu kalimat Galih selanjutnya. Tapi Galih tetap diam, membuatku semakin penasaran. Jadi, aku memutuskan untuk berpindah ke samping Galih, menyuruhnya untuk meneruskan kalimat yang menggantung tadi.

"Apa, Gal?" tanyaku mengambil bantal sofa di sebelah Galih.

Galih melirikku, seperti memberi isyarat bahwa dia tidak mau memberi jawaban. Ah, tidak seru. Aku memutar bola mata malas, menyentil pipi kiri Galih.

"Apa sih!?" Galih sedikit memundurkan kepalanya, membuatku tertawa saat melihat ekspresi kesalnya.

"Bara nggak cerita apa-apa?" tanyaku masih penasaran.

Galih menggeser duduknya agar lebih jauh dariku, "Nggak."

Aku hanya bergumam, memikirkan apa yang dilakukan Galih saat berada di kelas dengan Bara. Padahal mereka satu kelas, tapi tidak terlalu dekat. Lebih baik aku tidak terlalu mencari tau tentang hubungan mereka.

"Gal, suka film action nggak?" tanyaku.

Galih melirikku sebentar, "Hm."

"Gue ada nih, tapi ini yang–"

"Ngga papa."

Aku menaikkan kedua alis. Ya sudah, jika Galih maunya yang seperti itu, aku menurutinya. Lagi pula, tidak enak jika keadaan canggung seperti ini. Apalagi kami juga hanya berdua di dalam rumah. Baiklah, aku akan mengambil laptop untuk menonton film.

°°°

"Woi!"

Aku mendongakkan kepala saat Kak Ardi berusaha mengagetiku. Dia berjalan melewatiku sambil membawa laptop dan beberapa kertas, lalu duduk di bawahku dan menaruh laptopnya di meja. Kami sedang berada di ruang keluarga, tidak ada kegiatan apa-apa setelah makan malam dan belajar.

"Galih tadi pulang jam berapa?" tanya Kak Ardi sambil membuka laptopnya.

"Jam setengah tujuh. Itu juga gue usir," jawabku kembali sibuk menunduk memainkan ponsel.

"Istri gila."

Aku langsung mengangkat kepala, menatap Kak Ardi yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya dengan tatapan tajam. Siapa yang disebut istri tadi?

"Lo ngomong apa?" tanyaku sinis.

"Istri gila. Lo istri gila," jawabnya santai.

Apa dia bilang?! Aku langsung menaruh ponsel di sofa, lalu memukul punggung Kak Ardi dengan keras. Dia merintih kesakitan, tapi aku tidak peduli. Aku malah mengambil bantal sofa, lalu memukul kepalanya tersebut. Aku tidak suka disebut 'istri gila'. Pertama, aku masih SMA, dan aku belum menikah. Kedua, aku juga tidak menyukai Galih. Ketiga, aku tidak gila.

"Lo apain lagi tuh anak?" tiba-tiba suara berat Kak Ardo membuat perkelahianku dengan Kak Ardi berhenti.

Aku melempar bantal sofa ke samping tubuh Kak Ardi, lalu menghempaskan diri ke sofa. Kak Ardo mengambil duduk di sampingku, kemudian menyodorkan kotak makan kepadaku.

"Balikin. Ini kan punya Bara," Kak Ardi meletakkan kotak makan itu di pahaku.

Aku merapikan rambut sebentar, lalu mengernyit saat melihat kotak makan tersebut. Aku ingat, waktu itu Bara memberiku puding cokelat dengan kotak makan ini. Ck, kenapa harus aku yang mengembalikan?!

"Sekarang nih?" tanyaku tak yakin.

Kak Ardo mengacak rambutku sebentar, "Tahun depan ya, Sayang."

Aku mengerucutkan bibir, "Kak Ardi aja."

"Kok gue?! Nggak, sebagai calon istri yang baik, lo–"

"Lo nyebut gue istri lagi, gue siram tuh laptop!" kataku menyela dengan kesal.

Kak Ardi langsung diam, kembali sibuk mengetik sesuatu disana dan beberapa kali melihat ke kertas di sampingnya. Aku mendengus, bangkit dari duduk untuk pergi ke rumah orang yang beberapa hari ini hubungannya denganku mulai merenggang. Tidak, aku harus bersikap biasa saja.

Aku berjalan dengan pelan, lebih tepatnya sedikit gugup. Aku masih tidak berani menatapnya, apalagi berbicara dengannya. Semoga saja yang membukakan pintu adalah Tante Mira, Mama dari Bara.

Setibanya aku di depan pintu, aku menelan ludah dengan susah payah. Mengontrol napas, dan sedikit merapikan rambut. Kuketuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Masih belum ada jawaban. Kuketuk lagi, kini diketukan kedua suara pintu terbuka membuatku menghentikan tanganku dan mundur satu langkah.

"Malam, Ta–"

Aku langsung menutup mulut dengan rapat. Terkejut mendapati Bara yang sedang memakai kaos putih dan celana jeans selutut, seperti biasanya, terlihat santai. Aku segera menguasai diri, membasahi bibir lalu menyodorkan kotak makan itu.

Bara berdeham, "Masuk dulu, Lel."

Aku kembali menurunkan kotak makan tadi, "Eh, anu, tapi gue... Ini kan udah malem, gue–"

"Gue pengen ngobrol."

"Hah?"

Bara tersenyum tipis, lalu menggerak dagu untuk memberi isyarat masuk. Aku menggigit bibir bawah, tidak siap menghadapi Bara. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri, jika aku rindu momen ini. Mengobrol di rumah Bara sampai Mama harus menjemputku untuk pulang. Huft, aku menghembuskan napas perlahan.

Baiklah, aku akan masuk.

























Pagi! Uh, badanku beneran ini sakit semua, nggak tau deh kenapa. Biar sakitnya ilang, kalian kasih vote dan komen ya! Gomawo.

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang