Tujuh Belas

1.2K 76 3
                                    

01 Juni 2018

Sudah tiga kali aku mengatakan ini kepada Galih, tapi dia bergumam malas dan terus memainkan ponselnya. Aku juga sudah berusaha meyakinkan Galih untuk percaya padaku, kalau jaket yang digunakan Rafi sangat mirip dengan jaket yang digunakan oleh pelaku itu. Dia memang kepala batu.

"Loh, kok pada diem-dieman gini sih?"

Aku memutar bola mata malas, kenapa Galih tadi mengajakku untuk pulang bareng? Kenapa juga aku tidak menolaknya? Aish! Mama dengan santainya menaruh dua gelas cappuchino ice dan sepiring kue kering di meja. Galih yang tadinya sibuk dengan ponselnya, kini menegakkan badan, melempar senyuman pada Mama yang duduk di depanku.

"Aku ke kamar dulu," ucapku langsung turun dari sofa.

Tapi sebelum itu, Mama sudah menahannya, membuatku harus terduduk kembali ke sofa. Mama memberiku tatapan tajam dengan mulut terbuka mengatakan 'Hormati calon tunangan kamu!'. Ah, lagi-lagi harus menyangkut-pautkan masalah perjodohan.

"Eh, kalian lagi..." Mama tersenyum penuh arti, "Berantem ya?"

"Nggak!" aku refleks saja mengatakan itu.

Karena memang benar, kami sedang tidak bertengkar. Aku melirik Galih, dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari Mama. Dasar si keparat itu!

"Biasa kok, Tan," ucapnya membuatku geli.

Mama mengibaskan tangannya ke depan Galih, "Ih, jangan panggil Tante. Bentar lagi juga jadi menantu. Panggil Ma-ma."

"Ma!"

Astaga! Mama ini benar-benar membuat kepalaku semakin panas saja. Apalagi Galih yang meng-iyakan perintah Mama. Aku sudah merenggut sebal, sampai kakiku saja aku hentakkan ke lantai. Mama yang melihatku hanya tersenyum senang, lalu pergi pamit ke dapur untuk melanjutkan masak.

Setelah Mama menghilang dari ruang tamu, aku menoleh pada Galih. Dia dengan santainya memasukkan kue kering itu ke dalam mulutnya, lalu berkata, "Minum tuh. Biar nggak kepanasan."

Rasanya ingin sekali aku punya kekuatan seperti Do Bong Soon untuk meremukkan tulang rusuk Galih. Aku menarik napas dalam sembari memejamkan mata agar merasa tenang, kemudian kuhembuskan perlahan dan membuka mata. Aku kaget setengah mati saat wajah Galih sudah tepat berada di depanku.

Dengan gerakan spontan, aku menampar pipi Galih sampai dia terhuyung ke belakang. Galih sedikit berteriak, lalu mengusap-usap pipi kanannya yang baru saja aku tampar. Aku melebarkan mata dan membuka mulut sedikit lebar, pipinya benar-benar merah. Galih masih meringis kesakitan, sedangkan aku bingung harus bagaimana.

"Eung... Gal, aduh. Ck, lo... Ngapain sih barusan!?" tanyaku masih bingung harus bagaimana.

Galih menaikkan kedua kakinya ke sofa, meringkuk sambil mengusap pipinya itu. Apakah separah itu tamparanku?

"Lo... Pengen matahin tulang rahang gue ya?" tanyanya masih meringis kesakitan.

Aku mencuatkan bibir, lebih memilih meminum cappuchino ice ku dari pada mendengar tuduhan dari Galih. Karena tidak tega, aku berniat mengompresnya dengan air hangat, takut-takut itu akan berakhir memar.

"Sini!" aku memajukan diriku, menurunkan kedua tangannya perlahan, "Lebay lo!"

Galih menggigit bibir bawahnya ketika aku mengecek pipi kanannya itu. Memang benar, itu sangat merah dan ada bekas dua jari tanganku yang tertinggal disana. Aku saja juga ikut meringis melihatnya.

Dengan gerakan cepat aku berlari ke dapur untuk membuatkan air hangat untuk Galih. Mama sempat menanyakan apa yang terjadi, tapi aku hanya bilang tangan Galih terkena ujung meja dan sedikit memar. Beruntung Mama mempercayainya. Setelah siap, aku langsung berjalan cepat menuju ruang tamu. Disana, Galih berbaring dengan bantal sofa yang ditempelkan di bagian pipi yang kutampar tadi.

"Akhirnya gue jadi Do Bong Soon juga," kataku sambil duduk di karpet sebelah sofa.

"Do Bong Soon?" Galih menatapku, "Siapa?"

"Nggak perlu tau. Sini!"

Galih membalikkan tubuhnya jadi menghadapku. Kuperas handuk kecil itu, lalu kutempelkan pada pipi Gakih yang merah. Dia memejamkan matanya sambil menggigir bibir bawahnya, sepertinya menahan rasa perih.

Aku tertawa canggung, "Maaf ya. Elo sih, ngapain juga deket-deket gitu!" kataku meminta maaf sekaligus menyalahkan.

"Gue mau ambil bantal sofa di belakang lo."

Aku memasukkan kembali handuk tadi ke dalam wadah berisi air hangat, "Bilang dari tadi! Gue kan jadi bisa ngambilin bantalnya."

Galih hanya diam, tapi masih memejamkan matanya. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia tidak seperti cowok kebanyakan yang memiliki rahang keras dan wajah yang terlihat tegas. Tapi dia memiliki tatapan mata tajam dan bibir mungil yang terlihat imut.

Aku tersentak saat Galih menyentuh tanganku, lalu menggenggamnya. Aku ingin melepasnya, tapi Galih masih mencoba menahan dan malah mengambil tanganku yang lain.

"Maafin gue, Lel."

Aku mengernyit, merasa bingung sekaligus canggung saat Galih mendaratkan tanganku ke pipinya.

"Gue ngorbanin perasaan elo ke dalam masalah keluarga gue," Galih membuka matanya. Tatapannya bertemu denganku, benar-benar tajam.

"Sebenernya... Gue juga nggak tau apa yang gue rasain saat ini," balasku sambil menundukkan kepala, tidak berani membalas tatapan tajam Galih, "Tapi di sisi lain, gue pengen nolongin elo dari masalah ini. Apalagi... Dari awal, gue ngerasa kalo lo itu kesepian."

Khusus untuk kalimat terakhir, aku merendahkan intonasi suaraku. Karena memang, aku bisa merasakan kalau Galih sebenarnya kesepian dan membutuhkan teman. Hanya saja, Galih sendiri yang menarik diri untuk menjauhi pergaulannya. Apalagi kini dia harus beradaptasi dengan lingkungan dan teman yang baru.

"Gue emang kesepian," Galih melepas genggaman tangannya, "Tapi gue nikmatin itu."

Aku menaikkan sebelah alis, "Why?"

Galih menarik napas, lalu menatapku lekat dengan senyuman tipis di bibirnya, "Kadang, kita butuh waktu sendiri untuk nemuin jati diri kita."






















Selamat hari lahir Pancasila!!!

Jgn lupa vote dan komen rek! Tq :)

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang