Dua Puluh Empat

1.1K 72 1
                                    

04 Juni 2018

Kami berdua sudah sampai di pinggir sekolah sekitar sepuluh menit yang lalu, tapi tidak ada hal-hal yang mencurigakan disini. Setelah kejadian tadi, diriku menjadi lebih pendiam. Galih sempat menanyakan keadaanku, tapi aku menjawab tidak apa-apa. Galih juga hanya diam selanjutnya, tak mau melanjutkan perbincangan masalah Bara. Sepertinya aku keterlaluan tadi, huh.

Aku tersadar dari lamunan ketika Galih tiba-tiba menarik tanganku mendekatkan dirinya denganku. Aku hampir saja mendorongnya kalau tidak Galih menyuruhku diam. Dari sini aku bisa melihat, ada seorang cowok dengan jaket yang sama dan postur tubuh yang hampir mirip dengan Rafi sedang berjalan mengendap-endap ke arah sekolah. Dia mengenakan tudung jaketnya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket.

"Jangan lepasin!" kata Galih memperingatkan agar tetap bergandengan.

Sebenarnya aku risih, tapi lebih baik ikuti saja perintahnya saat ini. Aku dan Galih mencoba berjalan sesantai mungkin mengikuti orang tersebur agar tidak terlalu mencurigakan. Sesekali Galih tersenyum padaku sambil memasukkan tangannya yang menggandeng tanganku ke dalam saku jaketnya. Senter yang dia bawa juga ikut dimasukkan ke dalam saku jaket. Aku ikut tersenyum walaupun canggung, kami berdua sudah seperti orang gila.

"Anj–"

Galih langsung membekap mulutku saat aku hampir saja mengumpat. Galih melotot padaku, "Gak boleh ngumpat!"

Aku mengangguk pasrah dan melepas tangan Galih dari mulutku. Bagaimana tidak, aku terkejut saat orang itu mengambil linggis di dekat gerbang sekolah yang diletakkan di sebelah tong sampah besar. Aku meneguk ludah, lama-lama juga takut melihat orang itu.

"Apapun keadaannya, jangan lepasin ini," kata Galih mengingatkan sambil mengangkat tangan kami yang bergandengan.

Aku mengangguk, segera mengikuti Galih untuk ikut masuk ke dalam sekolah. Sial! Orang itu melompati gerbang dengan mudahnya, sedangkan aku harus bagaimana? Galih yang mengerti kondisi langsung berjongkok di depanku, menyuruhku untuk naik ke atas bahunya. Aku sempat menolak, tapi keadaan sudah tak memungkinkan lagi sebelum orang-orang mencurigai kami berdua.

Setelah berada di atas bahu Galih, perlahan aku menaiki tembok ini dengan hati-hati. Aku berusaha agar Galih tidak merasa keberatan dengan cara memegangi tembok ini dengan kuat. Sedikit lagi aku akan sampai, hanya melompat saja dari sini sudah memasuki wilayah sekolah.

"Langsung masuk!" perintah Galih.

Menggigit bibir bawah, aku sedikit takut untuk meloncat dari atas sini. Tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah, tapi aku harus segera meloncat sebelum kehilangan jejak pencuri itu. Sebelum itu, aku merapalkan doa dan mengatur pernapasan sebentar, dan pada saat itu juga aku meloncat dari atas tembok. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Galih sudah sampai di sampingku.

"Ayo!" Galih kembali menggandeng tanganku.

Kami berdua berlari menuju ruang guru dengan penerangan seadanya dari senter yang dibawa Galih. Suara berisik membuatku menoleh cepat ke arah tersebut, begitupun Galih. Aku menggigit bibir bawah, mencoba berpikiran jernih dan tetap bisa mengontrol diri. Galih mengarahkan senternya ke sumber suara tadi. Huh, ternyata hanya kucing.

"Gimana bisa orang itu tau tempat-tempat penyimpanan barang penting di sekolah ini?" tanya Galih setengah berbisik.

"Sesuatu yang bisa merekam," ucapku penuh keyakinan.

Apa lagi jika bukan itu? Maksudku, tidak mungkin dia mengetahui tempat penyimpanan barang-barang penting di sekolah setelah orang itu tertangkap kamera CCTV sedang mencuri. Pasti guru dan staf telah memindahkan barang tersebut ke tempat yang lebih aman dari sebelumnya.

"Pintunya kebuka!" bisik Galih saat kami sampai ruang Tata Usaha.

Kami berdua merapatkan diri ke tembok agar tidak terlihat oleh pencuri itu. Galih mematikan senter, karena ada penerangan dari senter pencuri tersebut, juga supaya tidak menimbulkan kecurigaan.

"Gal, dia pake topeng!" bisikku sambil menunjuk-nunjuk orang yang berada di dalam ruang tersebut.

Kami mengintip dari jendela. Disana, orang tersebut terlihat sedang mencari-cari sesuatu di lemari dan laci. Tidak ketinggalan pula meja-meja dan rak buku. Aku melebarkan mata saat orang tersebut berhasil menemukan uang dengan jumlah banyak di brankas. Lagi-lagi, aku heran dengan orang ini. Bagaimana bisa dia mengetahui password brankas tersebut dengan mudah, seperti sudah direncanakan? Kalau bukan orang asal sekolah ini, tidak mungkin dia tau letak brankas tersebut dan menemukannya dengan cepat.

Galih tiba-tiba menarikku untuk berjongkok. Benar saja, orang tersebut keluar dari ruang Tata Usaha dan menutup kembali pintunya dengan tangan membawa linggis dan senter. Beruntung cahaya senter itu tidak mengenai kami di bawah. Kini pencuri itu berjalan lurus ke arah sekitar ruang guru. Aku dan Galih mengikutinya perlahan dengan jarak yang cukup jauh juga.

"Gal, cepet lo selesaiin teori gue!" kataku mendesak Galih agar mengerti apa yang ada di pikiranku.

Sejujurnya aku juga bingung. Tapi, otakku mengatakan kalau ada yang merekam sudut-sudut ruangan agar orang tersebut bisa melancarkan aksinya.

"Kamera?" tanya Galih masih berjalan dengan hati-hati.

"Tapi, apa kamera bisa hidup sepanjang hari untuk merekam kecuali CCTV?" sepertinya Galih cukup bimbang dengan jawabannya.

Kami sampai di ruang guru. Lelaki itu mencongkel pintu menggunakan linggisnya. Dia sangat berhati-hati untuk membuka, membuatku bisa berpikir lagi mengenai sesuatu yang bisa merekam itu.

"Cuma ada CCTV yang bisa liat kejadian itu," ucapku kepada Galih.

Lelaki itu sudah berhasil membuka pintunya. Dia memasuki ruang guru perlahan, kami berdua juga mengikutinya. Sebelum itu, kami hanya mengintip dari jendela. Pencuri itu kembali mencari-cari barang berharga lainnya. Betapa kagetnya aku ketika melihat orang itu dengan mudahnya menemukan laptop dan ponsel sitaan milik siswa. Padahal letaknya saja di sebuah kardus mie instant yang diletakkan di bawah meja dengan kain perca yang menutupinya.

"Sesuatu yang bisa merekam," gumam Galih mengajakku masuk ke dalam.

Kami tidak menyalakan senter, takut orang itu melihat kami dan langsung kabur. Saat masuk, kami memilih berjalan dengan berjongkok agar orang tersebut tidak mengetahui keberadaan kami. Sesekali kami harus bersembunyi di balik meja untuk menghindari cahaya dari senter tadi.

Aku mendongak ke atas, melihat sudut-sudut ruangan yang dipenuhi CCTV, tapi orang itu tetap kalem dan santai. Ah, aku jadi semakin bingung!

"Alat yang bisa..." aku berpikir sejenak, lalu melebarkan mata saat menemukan jawabannya, "Alat penyadap!"



















Ikutan tegang jadinya... Huh, selamat berbuka puasa ya!

Jgn lupa vote dan komen! Gracias.

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang