Dua Puluh Tiga

1.2K 81 1
                                    

04 Juni 2018

Galih kembali dengan membawakan sepiring nasi beserta lauknya, dan tak lupa pula air putih segelas. Dia meletakkannya di meja dan menyuruhku untuk memakan ini. Sebenarnya Galih itu pengertian, hanya saja sikap dinginnya mampu menutupi dengan sempurna. Aku bangkit untuk duduk, lalu mengambil piring itu dan langsung memakan makanan disana.

Kulirik Kak Ardo yang berjalan sambil membawa tasnya, sepertinya akan berangkat kuliah. Dia menghampiri kami berdua dan duduk di sebelahku sambil mengelus rambutku pelan.

"Jagain Adek gue ya," ucapnya pada Galih yang dijawab dengan anggukan.

Kak Ardo menoleh padaku, "Istirahat. Badan lo lumayan panas nih," dia menyentuh dahiku dengan punggung tangannya.

Aku hanya mengangguk, melanjutkan acara makanku. Kak Ardo sempat mengobrol sebentar dengan Galih sebelum akhirnya dia pamit untuk berangkat kuliah. Pintu dibiarkan terbuka, agar tidak ada kesalahpahaman.

"Lo udah makan?" tanyaku tanpa melirik Galih.

"Udah, pas lo pingsan tadi."

Aku tidak menghiraukan, sibuk dengan makanan yang kusantap saat ini. Beberapa menit kemudian, aku telah selesai menghabiskan makanan. Galih langsung mengambil alih piring dan gelasku untuk dibawa ke dapur. Sebenarnya aku merasa merepotkan dia, tapi Galih selalu menolak jika aku melakukan aktivitas hari ini.

"Tidur sana!" katanya setelah kembali dari dapur.

"Nggak ngantuk."

Aku mengambil remote TV dan menyalakannya. Kupilih siaran yang sekiranya dapat menghiburku.

"Soal Rafi."

Galih tiba-tiba berucap, membuatku langsung menoleh padanya, "Oh iya!" aku mengganti posisi dudukku menyamping untuk menghadap Galih, "Nanti malem kita kesana ya!?"

"Gak!"

Aku mengernyit, padahal dia yang membahas soal ini duluan, "Kan nan–"

"Lo sakit."

Benar juga. Tapi aku tidak selemah itu. Aku menarik napas, menghembuskannya perlahan, lalu menatap Galih dengan senyuman lebar.

"Galih, gue cuma kecapekan. Nanti kita at–"

"Jadi nyesel gue bahas itu," potongnya langsung.

Aku merapatkan bibir. Aku sangat penasaran dengan pencuri itu, lebih baik aku ikut Galih untuk menangkap pencuri tersebut.

"Gal, nanti kesana ya?"

Galih melirikku, kemudian mengambil bantal sofa dan langsung duduk di sebelahku sambil menyandarkan punggungnya ke sofa, "Hm. Gue sendiri," katanya tegas.

Aku berdecak kesal, meninju pelan pundak Galih, "Gue ikut. Oke? Oke deh!"

°°°

Tatapan Galih padaku membuatku benar-benar risih. Dia menatapku sangat sinis karena aku memaksa ikut dengannya setelah memaksa Mama dan Papa untuk mengizinkanku pergi bersama Galih. Awalnya Mama dan Papa tidak memperbolehkan aku ikut, tapi aku menggunakan alibi kalau aku merindukan Galih, mereka akhirnya dengan terpaksa mengizinkanku keluar malam ini.

Menjijikkan sekali alasan itu, tapi aku terpaksa.

Seperti saat ini, aku menelepon Galih untuk datang ke rumahku. Dia sempat tidak mau, karena sudah pasti aku akan mengajaknya pergi ke sekolah malam ini. Galih terus saja melirikku sinis ketika aku masih menggunakan flat shoesku.

"Apa?" tanyaku ketus.

Galih berdecih, lalu membuang pandangannya menatap pekarangan rumahku. Dia membawa motor hari ini, bertujuan untuk membujukku agar aku tak ikut ke sekolah. Tapi aku tidak mudah terpengaruh dengan itu.

"Ck, lo masuk aja!" katanya sembari beranjak berdiri dan berjalan menuju motornya.

Selesai. Aku langsung berlari kecil mengikuti Galih dari belakang. Badanku sudah tidak terlalu panas, kepalaku juga sudah tidak pusing, jadi tidak ada yang perlu untuk dikhawatirkan. Galih mengeluarkan motornya dari pekarangan rumah, lalu menyuruhku untuk cepat naik ke atas motornya.

"Kalo nggak ikhlas, gue naik taksi aja!" ucapku sambil mengerucutkan bibir sebal dengan Galih yang mengabaikanku.

"Naik!"

Aku mendengus kesal, tapi tetap menaiki motor Galih. Baru saja Galih menyalakan motornya, tiba-tiba Bara datang dengan napas tersengal sehabis berlari. Entah dorongan dari mana, aku langsung mencengkram erat jaket Galih dengan kedua tangan. Galih sempat menoleh sedikit ke belakang, tapi aku hanya diam dan berusaha menyesuaikan diri saat Bara tiba di sampingku.

"Kalian mau kemana?" tanyanya to the point.

Aku berdeham sebentar, "Gu-gue, mau keluar sebentar," jawabku merendahkan intonasi suara.

"Bukannya lo sakit? Kenapa harus keluar malem-malem gini? Lo harus istirahat, Lel! Jaga kesehatan lo, gue bener-bener kaget waktu dapet kabar dari Bunda kalo lo sakit. Bahkan gue rela–"

"STOP, BAR!" aku berteriak kesal.

Ini yang membuatku harus kembali terseret ke masa lalu. Saat Bara akan menjelma sebagai ibu-ibu yang mengkhawatirkan anaknya yang sedang sakit. Saat Bara benar-benar peduli padaku sampai lupa dengan kesehatannya sendiri. Saat Bara lebih mengistimewakan diriku saja. Tapi sekarang, kondisinya sudah beda.

Statusnya juga beda.

Bara sudah memiliki Kara. Aku juga sudah terikat dengan Galih. Semuanya sudah berubah. Bara juga jarang menghubungiku hanya sekedar menjahili lewat chat atau terkadang melempar gulungan kertas berisi nama panggilan aneh untukku ke jendela kamar. Aku benci mengakui kalau aku sangat merindukan seseorang yang jelas-jelas sudah punya dia di sampingnya.

"Kemana aja lo selama punya pacar!? Kenapa lo lebih peduli ke gue dari pada ke pacar lo?! Dan, kenapa lo berubah semenjak ada Kara di samping lo?!"

Aku mengeratkan pegangan pada jaket Galih. Ini benar-benar di luar kontrol emosiku, aku sudah muak dengan sikapnya. Apa dia hanya kembali padaku saat ada butuhnya?!

"Lel, ini–"

"Gue benci sama lo!" teriakku dengan suara serak yang siap saja menumpahkan air mata.

Bara mematung. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan terkepal kuat. Jika melihat Bara seperti ini, dia pasti sedang menahan emosinya agar tidak meledak. Aku juga mengakui kalau aku keterlaluan, tapi egoku lebih tinggi.

"Gal, cepet pergi!" ucapku sambil menahan isakan.

Galih sempat menoleh dan menundukkan kepalanya kepada Bara. Kemudian kami berdua pergi meninggalkan Bara yang kudengar baru saja berteriak frustasi. Napasku naik turun, semakin kueratkan pegangan ke jaket Galih. Hanya dia kekuatanku saat ini.

Tanpa bisa kutahan lagi, aku menangis terisak dan menyandarkan kepalaku di pundak Galih.


















Maunya si Bar Bar ini apaciih...? Ew.

Jangan lupa vote dan komennya! Selamat hari senin, coy! Semoga puasanya lancar, amin.

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang