Sembilan

1.4K 99 11
                                    

27 Mei 2018

Aku berjalan menyusuri koridor dengan lemas. Bara memiliki dampak besar untukku, buktinya, sekarang tubuhku benar-benar lemas. Kemarin aku tidak makan siang dan makan malam, lalu ditambah lagi Bara yang datang dan membuatku emosional. Bara tadi sempat mengajakku untuk berangkat bersama, benar-benar gila. Bagaimana jika Kara melihatnya? Oh tidak, bagaimana jika beberapa anak yang lain meskipun bukan Kara, ada yang melihat kami boncengan? Berita Bara dan Kara menjalin hubungan sudah menyebar, apalagi Kata memang terkenal cantik dan seksi.

Kini aku harus mengembalikan laptop milik kakak kelas di lantai tiga. Sebenarnya aku malas, hanya saja Wirdah tidak enak badan, jadi dia harus segera pulang. Aku dan Wirdah diberi amanat oleh Bu Erna untuk menyalin nilai ulangan harian Biologi ke laptop. Malas sekali sebenarnya, apalagi disana banyak kakak kelas yang belum pulang.

"Eh, Lely!" aku menoleh ke samping, mendapati seorang cowok bertubuh tinggi dan tegap menghampiriku.

"Kenapa, Kak?" tanyaku melirik beberapa lembar uang di tangannya.

"Gue titip ini dong," Kak Saka menyodorkan uang tersebut, "Kasih ke Galih. Tau Galih kan? Anak baru itu."

Aku mengangguk, "Iya. Kalo boleh tau, ini uang apa?"

"Tadi gue minjem buat beli keperluan basket. Oh ya, bilangin makasih dari gue," ucapnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk kembali, membiarkan Kak Saka pergi dengan dua teman yang menyusulnya dari belakang. Koridor kelas dua belas masih ramai, rata-rata dipenuhi cowok-cowok yang sedang memainkan ponsel atau sekedar menyanyi sambil memainkan gitar.

Sebenarnya aku risih saat melewati mereka, terlebih lagi dengan siulan untuk menggodaku. Sepertinya mereka ingin kudorong dari lantai tiga. Aku hanya cuek, menundukkan kepala dan terus berjalan menuju kelas XII-IPS-1.

"Lely?"

Aku mengangkat kepala, langsung tersenyum ketika melihat Kak Letta bersama temannya.

"Ini, Kak," aku mengambil laptop dari dalam tas, lalu menutupnya lagi, "Makasih banyak ya, Kak."

Kak Letta tersenyum, lalu mengajakku untuk pulang bersama. Di tengah jalan, selalu ada saja kakak kelas yang menyempatkan untuk menggoda kami bertiga. Kak Letta dan temannya terlihat biasa saja saat menghadapi mereka, sedangkan aku tidak. Beberapa kali aku menunduk, mengulum bibir agar tidak mengeluarkan emosi yang kutahan. Saat menuruni tangga, ada tiga cowok yang kuyakini dari kelas XII-IPS sedang berdiri menghalangi jalan kami. Mereka bertiga menyeringai, seperti menemukan mangsa yang siap untuk disantapnya. Aku sudah ingin maju, tapi ada sesuatu yang melingkar di sekitar bahuku. Kak Letta dan temannya sempat terpekik melihatnya, sedangkan aku hanya diam membeku. Siapa dia?

"Sorry, Kak," tidak salah lagi, ini pasti Galih, "Ada yang mau lewat nih."

Aku masih diam, berusaha menetralkan detak jantungku yang sudah melewati kecepatan normalnya. Kulirik Kak Letta dan temannya yang sedang menatap ketiga cowok itu dengan geram.

"Eh, anak baru udah songong!" kata salahsatu cowok tersebut.

Aku takut Galih tiba-tiba mengeratkan tangannya di bahuku. Aku yakin dia menahan marah. Tapi, nyatanya aku salah, Galih menoleh ke arahku dan sedikit menunduk, lalu berkata.

"Kamu ngapain disini, Yang?"

APA?! Aku meneguk ludah, sedikit mengerutkan dahi ketika Galih menyebutku dengan sebutan itu. Ah, aku akan mengikuti sandiwara ini.

"Aku mau balikin laptop Kak Letta," jawabku sedikit gugup. Oh, ralat, lebih tepatnya sangat gugup. Apalagi ketika Galih menampilkan senyumnya.

Galih kembali menoleh ke tiga cowok itu, "Jangan digangguin lah, Kak. Pacar gue kan nggak ganggu kalian," ucap Galih dengan santai.

Setelah itu, tanpa berucap apa-apa, ketiga cowok tersebut pergi meninggalkan kami berempat. Kak Letta dan temannya langsung menghampiriku, mengucapkan terima kasih kepada Galih lebih tepatnya. Aku hanya tersenyum kikuk membalasnya, kemudian memandang mereka yang melangkah menjauhi kami berdua.

Galih melepas rangkulan tangannya, tersenyum simpul kepadaku. Keadaan kami sekarang benar-benar canggung. Tapi dengan cepat Galih langsung mencairkan suasana lagi. Dan kali ini, dia mengajakku untuk pulang bersama.

"Pulang, yuk! Gue anterin."

°°°

Aku masih bingung dengan Galih, bagaimana bisa dia membaca pikiranku? Kini aku dan Galih sudah berada di warung Bu Lin dengan dua piring berisi nasi pecel dan dua gelas es teh. Galih benar, aku memang sangat lapar. Mengingat kemarin aku belum makan sama sekali dan tadi juga tidak sarapan. Aku meneguk ludah, menunggu Galih keluar dari dalam warung Bu Lin. Lama sekali, aku sudah siap untuk menghabiskan pecel ini. Dua menit kemudian, Galih keluar membawa obat maag dan segelas air putih di tangannya. Untuk apa?

"Minum dulu. Lo nggak makan kemarin, takut maag," katanya sambil menyodorkan obat tersebut kepadaku.

Aku menurut saja, menyecap pil itu seperti permen. Butuh beberapa menit untuk menghabiskannya, tapi Galih masih tetap menugguku. Setelah pil itu habis, aku meminum air putih tersebut, lalu menampilkan cengiran kepada Galih yang menatapku datar.

"Why?" tanyanya dengan kedua alis terangkat.

Aku menggeleng, lalu menaruh gelas itu di atas meja, "Tau aja sih?"

Galih mengedikkan bahu tak peduli, kemudian berbalik menghadap ke makanan di hadapannya, "Makan."

Aku mengangguk, menuruti ucapannya. Kami berdua menikmati pecel ini dalam hening. Seperti biasa, warung Bu Lin di sore hari hanya tersisa pelanggan yang pulang kerja atau sekedar mengopi sambil melahap gorengan yang disediakan. Beruntung, Bu Lin memberi aturan jika ingin merokok harus berada di luar warung.

"Emang bener ya?" ucapku, masih sambil mengunyah nasi.

"Kalo mau ngomong, habisin dulu makanan yang di mulut," potong Galih tanpa menatapku.

Aku mengunyah dengan cepat, lalu menelannya sedikit kasar, "Eman bener. Bahagia itu sederhana," aku menoleh ke arah Galih yang masih mnegunyah makanannya.

"Hm," Galih hanya menganggukkan kepalanya.

Aku tidak menjawab, lebih memilih menghabiskan pecel ini. Rasa makanan disini tak kalah enak dengan restoran-restoran yang pernah kukunjungi. Bahkan, aku berangan-angan untuk membedah warung ini dan menjadikan restoran yang bergaya tradisional. Tentunya atas persetujuan Bu Lin. Dari sini, aku bisa mengerti kalau Galih itu beda dari cowok kebanyakan. Mungkin saja, banyak orang yang merendahkan selera Galih. Tapi beda denganku, aku menganggap ini hal sederhana tapi mampu mengartikan banyak hal.
















Alhamdulillah nilai danem cukup memuaskan:)

Makasih banyak buat temen2ku yg udah doain. Jgn lupa votenya!

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang